Libya Senasib Irak: Barat Bertanggungjawab Atas Banjir Darah di Libya?

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Moammar Kadhafi memang sudah kalah meski belum menyerah. Tetapi, apakah itu berarti Libya bakal memasuki era baru yang lebih baik? Tanda-tanda yang ada justru memperlihatkan sebaliknya: Negeri kaya minyak itu berada di ambang perpecahan dan pertumpahan darah.

Tanda-tanda tersebut terlihat dari “pembangkangan” pasukan pemberontak yang bergerak di lapangan terhadap kepemimpinan Dewan Transisi Nasional (NTC). NTC adalah organisasi yang memayungi kubu anti-Kadhafi dan telah diakui lebih dari 30 negara sebagai pemerintah Libya yang sah.

Kepada The Independent kemarin, pasukan pemberontak yang menjaga Misrata, kota di sebelah timur Tripoli, misalnya, jelas-jelas menyatakan tak akan mematuhi perintah NTC. Contoh lain yang lebih gamblang tersaji pada 28 Juli lalu.

Abdul Fattah Younes, komandan pasukan pemberontak, tewas secara mengenaskan setelah dibujuk untuk meninggalkan garis depan pertempuran. Sampai sekarang belum jelas pembunuhnya, tetapi bisa dipastikan berasal dari kalangan pemberontak sendiri.

Kematian mantan orang dekat Kadhafi yang membelot Februari lalu itu saja bisa memicu friksi berkepanjangan. Sebab, kalangan internal pemberontak sudah pasti saling tuding. Belum lagi ancaman pembalasan dari suku asal Younes, Obeidi, yang hingga kini menuntut penjelasan atas kematian tokoh kebanggaan mereka itu.

Nah, kalau terhadap komandan sendiri para pemberontak tega membunuh, bagaimana nasib para pejabat dan rakyat biasa yang selama ini loyal kepada Kadhafi” Tak ada yang bisa menjamin bahwa tak akan ada pembantaian terhadap mereka.

Karena itu, satu per satu pejabat Kadhafi melarikan diri begitu tanda-tanda kejatuhan sang kolonel terlihat. Terakhir, Menteri Perminyakan Libya Omran Abukraa membelot ke Tunisia. “Tiap darah yang jatuh akibat pemberontak adalah tanggungjawab dunia Barat,” ujar Moussa Ibrahim, juru bicara rezim Kadhafi, seperti dikutip Associated Press.

Tetapi, pedulikah NATO, yang merupakan representasi Barat, dalam konflik Libya itu? Sepertinya tidak. Mereka hanya berkepentingan melengserkan Kadhafi, itu saja. Apalagi, mereka tak punya mandat untuk menerjunkan pasukan darat sehingga tak mungkin bisa mencegah gerak pasukan pemberontak jika mereka bermaksud melakukan “pembersihan” orang-orang Kadhafi.

Jadi, sangat mungkin Libya bakal bernasib seperti Iraq pasca-invasi pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat: dari mulut harimau ke mulut buaya. Saddam Hussein -yang seperti Kadhafi, juga tidak populer di mata rakyatnya saat itu- memang bisa digulingkan, bahkan dihukum gantung.

Tetapi, toh perang bermotif sektarian tetap berkecamuk di Negeri 1001 Malam itu. Bahkan dalam skala yang lebih buruk jika dibandingkan dengan bentrok antara tentara-tentara Saddam dan pasukan multinasional dulu.

Atau, bisa jadi juga Libya bernasib lebih buruk daripada itu: seperti Afghanistan. Taliban yang digulingkan oleh Aliansi Utara dengan bantuan Barat pada 2001 memang dibenci warga negeri tersebut. Namun, pasca-Taliban, Afghanistan tetap tak henti dirundung perang.

Padahal, pasca-Saddam dan Taliban itu, Iraq dan Afghanistan masih disupervisi langsung pasukan Barat yang bebas bergerak di darat dalam jumlah besar. Itu saja masih kacau. Bagaimana Libya yang hanya dibantu lewat udara?

Seperti juga Iraq dan Afghanistan dulu, tak ada kepemimpinan yang jelas dan kuat di kalangan pemberontak Libya. Jadi, tiap-tiap pihak merasa berjasa. Apalagi, secara militer, kemenangan mereka sebenarnya bisa dibilang separo lebih karena faktor NATO. Maret lalu, andai pesawat-pesawat NATO tak menghancurkan gerakan pasukan Kadhafi yang menuju markas Benghazi, pemberontak bakal habis.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com