Logika Sesat di Tengah Badai

Bagikan artikel ini
(Tanggapan atas opini Sutoyo A yang berjudul: KERUSAKAN INSTITUSI POLRI AKIBAT KEBIJAKAN PRESIDEN YANG SALAH, 20.08.2022)
Pasca badai Duren Tiga yang menghancurkan public trust dan citra Polri, trending topic di publik kini mulai bergeser ke wilayah politik praktis, yaitu reformasi total di Polri.
Dan agaknya, beberapa pendapat pakar, elit politik, pengamat dll di ruang publik cenderung menggiring opini agar Polri dikembalikan ke TNI (di bawah Panglima TNI), misalnya, atau di bawah Kemendagri, Kemenham dan seterusnya. Hal itu sifatnya reaktif dan dianggap kesalahan dalam menyusun logika berpikir yang tepat dalam sebuah argumen. Akibatnya, kualitas pendapat hanya sekelas clometan. Sekedar berteriak tak beraturan, saling bersaut-sautan antara satu dan lainnya. Apakah kelak ujud reformasi total di Polri hanya berdasar clometan di publik?
Polri memang sexy. Khas tugasnya yang bersentuhan langsung di masyarakat di satu sisi, kemudian negara memberi kewenangan setinggi langit-sedalam lautan pada sisi lain. Ini pengejawantahan filosofi leluhur: Tata Tenteram Kerta Raharja. Siapa ingin raharja (sejahtera) harus bekerja (kerta), maka dalam kerta harus ada situasi aman (tenteram). Dan semuanya perlu pengaturan (tata). Itu filosofi leluhur yang dijadikan falsafah tugas Polri.
Secara struktural, Polri mutlak harus independen serta bebas intervensi manapun agar profesionalitasnya berjalan optimal dalam melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat, menjaga kamtibmas, serta penegakkan hukum dalam rangka mengawal pembangunan. Sungguh mulia. Bahkan ilmuwan Islam, Ibnu Tamil, pernah berpendapat tentang polisi, kurang lebih begini: “60 tahun kamu memiliki polisi yang jelek, jauh lebih baik daripada satu malam saja tidak ada polisi” Bayangkan, dalam semalam negara bisa chaos karena marak pencurian, perampokan, pembunuhan dan lain-lain karena ketiadaan polisi.
Gilirannya, kewenangan diskresi pun dilekatkan ke anggota Polri di lapangan semata-mata demi kepentingan umum. Tak lain. Tetapi secara personal, jika Polri dalam genggam bad cops (polisi-polisi buruk), dengan kewenangan dan lingkup tugas yang luas ia mampu menciptakan malapetaka dan bencana kemanusiaan di masyarakat. Ini keniscayaan peradaban.
Ciri khusus kiprah Polri yang spesifik, bahwa perilaku oknum pasti berimbas langsung kepada (citra) institusi. Itu konsekuensi profesi bahkan menjadi keniscayaan di ladang pengabdiannya. Retorika pun muncul, “Seandainya di Senayan banyak terjadi korupsi, apakah berarti institusi (DPR)-nya buruk?”
Beranjak dari sejarah reformasi yang diawali lengsernya Pak Harto dan jatuhnya Orde Baru, bahwa pemisahan Polri dari TNI melalui dua Ketetapan (Tap) MPR, antara lain: (1) Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri; (2) Tap MPR VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Tak boleh dielak, terbitnya dua Tap MPR di atas, selain disebabkan koreksi sejarah terhadap struktur Polri di bawah Panglima ABRI, juga yang paling pokok ialah mewujudkan kemandirian tugas dan profesionalitas Polri di panggung pengabdian. Kenapa? Tak dapat dipungkiri, kemandirian dan profesionalisme Polri di era Orde Baru dinilai kurang optimal.
Nah, dari kedua Tap MPR tadi kemudian terbit UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dimana struktur Polri langsung di bawah Presiden. Jadi, struktur Polri di era reformasi tidak jatuh dari langit, tetapi ada proses tidak sederhana. Selain koreksi sejarah juga didukung dua Tap MPR tadi.
Karenanya, adanya clometan beberapa pihak yang ingin mengembalikan struktur Polri di bawah Kementerian, atau di bawah Panglima TNI, itu pemikiran reaktif, emosi, dan tergolong set back (langkah mundur) dalam sistem ketatanegaraan.
Retorikanya begini, “Jika ada tikus di lumbung padi, kenapa lumbungnya yang dibakar?” Harusnya tikus-tikusnya diberantas hingga ke sarang, bukan dibakar gudangnya.
Secara manajemen, pengembalian citra dan kepercayaan publik terhadap Polri wajib dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ini semangat siapapun stakeholders yang menginginkan citra Polri pulih kembali. Dan itu hanya bisa dilaksanakan dengan pemberantasan ‘tikus-tikus’ sampai ke sarang. Potong ekor, tebas kepala, bakar potongan badannya. Ini opsi pertama. Cepat, tepat, efektif lagi efisien. Tak perlu banyak waktu dan anggaran.
Opsi kedua, Polri di bawah Kementerian tertentu misalnya, proses ini akan memakan waktu lama dan budget yang tidak sedikit, sedang semangat pembersihan dan pemulihan citra Polri adalah: ‘dalam tempo sesingkat – singkatnya’.
Kenapa?
Karena pada opsi kedua, selain perlu merivisi dahulu UU 2/2002, mutlak juga harus menganulir dua Tap MPR di atas tadi. Pertanyaan menggelitik muncul, “Apakah MPR kini masìh bisa menerbitkan Tap MPR guna menganulir dua Tap sebelumnya (Tap MPR VI-VII/2000) sedangkan ia kini bukan lagi lembaga tertinggi negara, hanya lembaga tinggi selevel BPK, MK, DPA?”
Sudah barang tentu, clometan agar Polri di bawah Kementerian, kembali di bawah Panglima TNI dan seterusnya selain memakan budget besar dan tempo yang lama, juga yang paling pokok harus mengembalikan dulu kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. singkat kata, kembalikan UUD 1945 ke Naskah Asli terlebih dahulu agar kedudukan MPR kembali sebagai lembaga negara tertinggi, barulah dua Tap MPR di atas dapat dianulir.
Dengan demikian, beredarnya isu reformasi total di Polri dengan mengubah struktur Polri di bawah Kementerian atau di bawah Panglima TNI adalah logika sesat (logical fallacy) di tengah badai. Selain dicetuskan oleh kelompok kepentingan yang hendak men- downgrade kewenangan Polri sebagaimana cerita masa lalu, ojo direken. Anggap saja angin lalu.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com