Sesi Sastra geopolitik
Dalam dunia politik praktis, ada istilah “dicincang”. Ya, dicincang dalam arti dipromosikan, atau dicincang untuk dikorbankan alias ditumbalkan. Inilah fenomena yang kini marak di Bumi Pertiwi. Mengapa begitu, ujaran leluhur tentang (sastra) perpolitikan berbunyi: “Pakar politik itu tidak ada bedanya dengan makelar kambing di hari raya korban”.
Maksudnya, bagaimana?
Hari raya itu semacam kesenangan sesaat. Jadi, entah ujudnya adalah kemenangan pemilu, misalnya, atau kemegahan jabatan, kemewahan fasilitas dan lain-lain, itu makna hari raya yang sifatnya sesaat, karena esok pagi —suatu saat— pasti turun dari panggung. Entah masa jabatan usai, pensiun, atau sebab lain; sedang makna makelar adalah demi “perut”-nya sendiri dan kelompok. Boleh ditafsir sendiri. Contoh sudah berserak di publik; kemudian arti kambing di sini adalah sosok atau si objek yang dijadikan sasaran dalam rangka menggapai tujuan melalui modus “cincang” di atas. Entah dipromosi atau dikorbankan.
Sastra lain berbunyi: “Permainan politik itu ibarat seutas tali yang bundel di bagian ujung”. Kata bundel memiliki makna, bahwa kepentingan politik itu bermuara pada uang dan uang. Kalau dalam geopolitik disebut geoekonomi.
Adagium politik menyiratkan, bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan. Di sini, arti “kepentingan” tidak lain dan tak bukan ialah sesuatu yang bernilai uang atau geoekonomi.
Merujuk judul di atas, bahwa isu benur (benih lobster) yang viral di publik kemarin adalah potret buram di dunia politik (praktis), bahwa sekelas menteri pun —di dunia makelar kambing— bisa dicincang. Mana buktinya? Ya, kemarin si kambing (dapat promosi) menjadi menteri, namun tidak lama kemudian ia pun dikorbankan alias dijadikan tumbal. Apalagi sekelas Gubernur, Kapolda, Pangdam atau level di bawahnya?
Pertanyaan menarik muncul, bagaimana praktik “percincangan” di ranah geopolitik global?
Ternyata serupa tetapi tak sama. Sebenarnya, ketidaksamaan hanya soal kebutuhan dan ruang lingkup. Dan bahasan ini, duduknya ada di teori ruang (lebensraum) atau living space. Salah satu dimensi dari empat dimensi geopolitik.
Ya. Bila ruang diperluas, ada yang diuntungkan dan dirugikan. Dan jika ia sudah tak memiliki nilai strategi, maka ruang akan dicampakkan. Itu poin inti teori ruang. Pemerintahan Mobutu di Kongo, misalnya, saat Cold War (Perang Dingin) dirangkul oleh Amerika (AS) sebagai aliansi karena dibutuhkan guna membendung gerak laju Uni Soviet. Tak peduli ia seorang koruptor dan diktator sekalipun. Yang penting setia kepada AS. Ketika Perang Dingin usai yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, Mobutu dicampakkan oleh AS atas tuduhan pelanggaran HAM. Akhirnya berturut-turut pula beberapa (kepala) negara di dunia ketiga berjatuhan setelah ruang yang mereka kuasai tidak lagi bernilai strategi bagi AS, dan hal itu termasuk Indonesia dengan lepasnya Timor Timur serta ambruknya Orde Baru.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments