Salah satu negara di kawasan Asia yang sepertinya luput dari perhatian para pemerhati hubungan internasional adalah Mongolia. Sejak AS melancarkan Invasi ke Afghanistan pada 2001 dan Irak pada 2003, Mongolia secara proaktif memberikan bantuan terkait operasi-operasi militer AS dan sekutu-sekutunya terhadap Afghanistan dan Irak. Hal itu sudah terlihat sejak tahun 2019 ketika Mark Esper, menteri pertahanan AS ketika itu, menetapkan Mongolia sebagai salah satu dari lima negara Asia yang ia kunjungi selain Korea Selatan, Jepang, Australia dan Selandia Baru.
Sehingga kunjugan Mark Esper ke Mongolia pada 2019 lalu, dipandang sebagai pertanda adanya pergeseran prioritas baru di Pentagon (Kementerian Pertahanan AS) di kawasan Asia. Menariknya lagi, dalam pandangan pemerintah AS pada era kepresidenan Donald Trump, Mongolia dinilai sebagai sekutu militer AS yang solid dan konsekwen.
Pertanyaan pentingnya adalah, masihkah persekutuan militer AS-Mongolia dipertahankan atau sama intensifnya di era kepresiden Joe Biden saat ini? Ternyata persekutuan yang terjalin secara erat di era Trump, berlanjut di era kepresidenan Joe Biden. Pada 2023 lalu, AS-Mongolia menandatangani Open Skies Agreement and Transportation Memorandum. Perjanjian ini akan memfasilitasi konektivitas udara yang lebih besar antara Amerika Serikat dan Mongolia dan akan menyediakan kerangka hukum untuk penerbangan penumpang nonstop.
Baca: United States, Mongolia Sign Open-Skies Agreement and Transportation Memorandum
Agenda tersembunyi di balik persekutuan AS-Mongolia tersebut adalah menggalang Mongolia masuk dalam Skema Neoliberalisme Ekonomi AS. Seperti tersurat dalam perjanjian tersebut, AS meliberalisasikan pasar penerbangan internasional bersama-sama 132 mitra asing lainnya di seluruh dunia. Lebih parahnya lagi, AS melalui skema perjanjian Open Skies Agreement and Transportation Memorandum tersebut, AS dan negara-negara sekutunya dari Uni Eropa, Open Skies Agreement telah memperluas peluang bagi transportasi udara penumpang dan kargo internasional ke dan dari Amerika Serikat dengan menghilangkan campur tangan pemerintah dalam keputusan maskapai komersial tentang rute, kapasitas, frekuensi, dan harga, sehingga maskapai penerbangan dapat menyediakan transportasi udara internasional yang lebih terjangkau, nyaman, dan efisien bagi konsumen, mempromosikan peningkatan perjalanan dan perdagangan, dan memacu penciptaan lapangan kerja berkualitas tinggi dan pertumbuhan ekonomi.
Kelihatanya memang ideal dan menguntungkan dalam kerja sama timbal-balik AS-Mongolia. Namun pada kenyataannya, kesepakatan tersebut menghilangkan kedaulatan nasional Mongoloia. Frase kalimat dalam perjanjian tersebut tersebut seperti “menghilangkan campur tangan pemerintah dalam keputusan maskapai komersial tentang rute, kapasitas, frekuensi, dan harga,” nampak jelas bahwa perjanjian tersebut mewakili kepentingan bisnis korporasi multinasional yang sejatinya sangat menentang adanya campur-tangan pemerintah dalam urusan ekonomi dan perdagangan. Karena bagi korporasi multinasional, utamanya korporasi yang bergerak di sektor industri penerbangan, bukan negara yang mengatur ekonomi dan perdagangan, melainkan pasar.
Dalam skema kerja sama AS-Mongolia seperti tersurat dalam Open-Skies Agreement and Transportation Memorandum, pada perkembanganya kerja sama tersebut juga akan diperluas lingkupnya menjadi persekutuan militer seperti telah diupayakan AS terhadap dua negara berkembang lainnya di Asia yaitu Filipina dan Indonesia. Sehingga menjadi benih dan bibit terciptanya ketegangan dan meningkatnya kemampuan offensive dan ekspansif persekutuan kolektif AS dan sekutu-sekutu Barat-nya di Asia Pasifik. Khususnya di negara-negara Asia yang berbatasan langsung dengan Republik Rakyat Cina.
Para pemimpin pemerintahan di Mongolia nampaknya tidak membayangkan konsekwensi terburuk jika semakin bergantung dalam persekutuannya dengan AS dan negara-negara barat. Selain mengundang rasa permusuhan dengan negara-negara Barat, pada perkembanganya juga akan menyebabkan Mongolia terancam terisolasi dalam ekonomi.
Selain dari itu, Uni Eropa pun juga semakin mendorong masyarakat Mongolia untuk menganut nilai-nilai Barat, terutama agar Mongolia semakin solid menerapkan Skema Neoliberalisme bukan saja di bidang ekonomi, melainkan juga di bidang politik. Misalnya pada Mei 2024 lalu, duta besar Jerman untuk Mongolia, Helmut Kulitz, mengisyaratkan Jerman akan mendorong secara proaktif agar Mongolia membangun masyarakat bebas sebagai bingkai kemitraan strategis Jerman-Mongolia. Sehingga kerja sama Jerman-Mongolia di bidang perdagangan, investasi, pendidikan dan kebudayaan, bisa dipastikan akan dilaksanakan berdasarkan skema Neoliberalisme AS-Uni Eropa.
Baca: Mongolia-EU Relations Are Gaining Momentum
Maka itu, selain perlu mencermati secara intensif dampak buruk dari Skema Neoliberalisme AS terhadap tradisi dan nilai-nilai Asia (Asian Values), kiranya juga perlu secara jeli dan penuh perhatian mencermati aktivitas-aktivitas para pendukung pendekatan Neoliberalisme dan nilai-nilai Barat (yang mengusung isu demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lingkungan hidup) dalam mempengaruhi sikap dan perilaku para elite Mongolia baik di bidang politik maupun bisnis.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)