Beberapa waktu berselang, pada 3 September 2014, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop, menyatakan Australia berniat mencegah kehadiran Presiden Vladimir Putin dalam KTT G-20 yang menurut rencana akan digelar di Brisbane pada pertengahan November mendatang. Menariknya lagi, meski forum G-20 kita ketahui bersama merupakan forum ekonomi berbagai negara dari lintas kawasan, namun manuver Menteri Luar Negeri Julie Bishop tersebut dilakukan melalui forum pertemuan tingakat tinggi anggota organisasi pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO). Yang merupakan Pakta Pertahanan di bawah persekutuan strategis AS dan beberapa negara-negara Eropa Barat.
Sepertinya gagasan yang mendasari Australian sebagai bagian integral dari persekutuan strategis AS-Inggris adalah soal keterlibatan Rusia di Ukraina, menyusul kejatuhan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych pada Februari 2014. Yanukovych dipandang Washington dan sekutu-sekutu baratnya sebagai “orang dekat” Rusia.
Namun hingga kini Amerika dan NATO nampaknya masih kalang kabut mengatasi krisis multidimensi di Ukraina yang dimulai oleh AS, dalam upaya untuk meredam pengaruh Rusia di Eropa, namun kini perkembangan situasi di Ukraina malah semakin tidak terkontrol. Justru arus balik perkembangan situasi di Ukraina malah menguntungkan Rusia.
Pada awalnya, melalui Ukraina, Washington berupaya mengepung dan menangkal pengaruh rusia di Eropa. Yang di luar perkiraan, manuver itu gagal. Sebaliknya, Presiden Barrack Obama justru telah menciptakan kondisi yang menyudutkan posisi Ukraina ke ambang keruntuhan ekonomi, politik dan sosial. Karena tidak punya cara lain, maka satu-satunya cara adalah menyalahkan Rusia atas berbagai kerusakan yang terjadi di Ukraina.
Padahal, Moskow telah berulangkali menyerukan diakhirinya kekerasan dan dilakukan pemulihan perundingan. Tapi seruan Moskow sama sekali tidak memuaskan Washington. Karena skema yang hendak dilakukan AS adalah dengan menerapkan solusi yang sama sepertri yang diberlakukan Washington di Irak, Afghanistan, Libya dan Suriah. Yaitu dengan mendukung dan mendorong terbentuknya format negara yang mengondisikan negara selalu dilanda kericuhan dan ketidakstabilan politik, di mana permusuhan etnik atau antar agama terus berlangsung, sehingga memberi alasan kuat bagi AS untuk menghadirkan pasukan militernya maupun pengadaan fasilitas pangkalan-pangkalan bagi tentara AS bisa didirikan atas persetujuan pemerintahan Ukraina. Dengan kata lain, skema AS dan Uni Eropa adalah hendak menjadikan Ukraina dalam Kondisi Ketergantungan Kolonial yang permanen.
Skenario AS dan Uni Eropa tersebut sejauh ini harus diakui gagal total. Sehingga dalam posisi terdesak, sekarang Washington maupun Kiev tak punya banyak pilihan kecuali menyalahkan Putin atas segala kerusakan yang sebenarnya dimulai oleh Washington. Lebih dari itu, AS dan Uni Eropa, termasuk Australia yang dalam KTT G-20 mendatang akan bertindak sebagai Tuan Rumah, telah memunculkan isu “Invasi Rusia” untuk mengalihkan perhatian dunia internasional. Yang tentu saja tuduhan AS bahwa Rusia telah mengirim pasukan untuk membantu warga pro Rusia yang terlibat dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah di daerah Donetsk dan Lushank sejak April 2014. Telah disangkal sepenuhnya oleh Moskow.
Peran Strategis Rusia di G20 dan Sikap Indonesia
Maka dari itu, manuver diplomatik AS dan beberapa negara yang tergabung dalam kelompok ekonomi G-7(Uni Eropa) untuk menghalangi Rusia agar supaya tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh G-20, merupakan sebuah kesalahan besar. Mengingat fakta bahwa peran Rusia dalam ikut serta memperbaiki perekonomian global dipandang cukup penting dan strategis. Sehingga manuver AS, Australia dan sekutu-sekutu perekonomiannya di Uni Eropa, pada perkembangannya akan berakibat buruk tidak saja bagi Eropa, melainkan juga negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Dan yang lebih buruk lagi, akan membawa dampak buruk terhadap kerjasama perekonomian yang berada dalam skema BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan). Sehingga dengan menyingkirkan Rusia dari forum G20, pada perkembangannya akan mendorong terciptanya dominasi yang menguntungkan bagi AS dan Uni Eropa di forum G20. Padahal kalau merujuk pada rencana awal, forum yang melibatkan Rusia di dalamnya, dimaksudkan untuk membantu memperbaiki perekonomian dunia yang lebih berkeadilan dan saling menguntungkan secara timbal balik antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Sehingga dengan disingikirkannya Rusia dalam keikutsertaannya dalam menentukan kebijakan-kebijakan strategis perekonomian global di forum G20, pada perkembangannya juga akan mengurangi efektifitas kerjasama internasional di bidang ekonomi.
Maka dari itu, sikap politik luar negeri RI pun kiranya harus jelas dan tegas, agar tidak mengikuti dasar pertimbangan Australia dalam menghalangi keikutsertaan Rusia dalam forum G20. Indonesia harus jeli dalam mencermati dan memanfaatkan peran strategis negara-negara seperti Rusia dan Cina yang bermaksud membuat satu gerakan untuk meninggalkan pola konservatisme yang diperagakan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G-7.
Dalam konteks ini, Indonesia harus menyadari bahwa Rusia memiliki kebijakan yang berbeda dengan negara-negara yang tergabung dalam G-7, yang notabene merupakan persekutuan ekonomi antara AS dan Eropa Barat. Sehingga dengan tetap mempertahankan peran dan keberadaan Rusia di G20, pada hakekatnya akan menguntungkan Indonesia dan negara-negara berkembang pada umumnya, sebagai “Kekuatan Penyeimbang” terhadap persekutuan ekonomi AS dan Eropa Barat.
Penulis adalah peneliti Geopolitik, Global Future Institute (GFI)