Manuver diplomatik Wakil Menteri Luar Negeri AS, Kurt Campbell sebagai Wakil Menteri Luar Negeri AS terhadap kawasan Asia, termasuk Asia Tenggara, nampaknya patut mendapat sorotan khusus. Lantaran diplomat senior kementerian luar negeri AS kelahiran tahun 1957, sudah mendapat penugasan-penugasan strategis sejak era pemerintahan Presiden Obama.
Selain sebagai diplomat dan pengusaha, Campell juga tercatat juga berkiprah di bidang bisnis, sebagai CEO The Asia Group, didirikannya pada Februari 2013. Saat Obama menjabat sebagai Presiden AS, Campell diangkat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri Untuk Urusan Asia Timur dan Asia Pasifik antara 29 Juni 2009 hingga 8 Februari 2013. Berarti, saat berhenti dari jabatannya sebagai Wakil Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan Asia Pasifik, Campell mulai berkiprah di bidang bisnis dengan merintis The Asia Group.
Menariknya lagi, begitu mantan wakil presiden era Obama, Joe Biden, mulai menjabat sebagai presiden, maka pada Januari 2021 Campbell kembali bergabung berkiprah kembali di ring satu Gedung Putih. Kali ini, dipercaya Joe Biden sebagai Koordinator Dewan Keamanan Nasional Untuk Indo-Pasifik. Saat ini, Campbell bahkan menduduki posisi yang tak kalah strategis di Kementerian Luar Negeri AS. Yaitu Wakil Menteri Luar Negeri.
Maka itu pertemuan yang berlangsung antara Wakil Menteri Luar Negeri Campell dengan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Negara-Negara di Asia Tenggara (ASEAN) Kao Kim Hourn pada 10 Juni 2024 lalu, patut dicermati baik agenda terbuka maupun agenda tertutupnya.
Dalam agenda terbuka, pertemua Campbell -Kao sepertinya landai-landai saja, yaitu membahas implementasi kerja sama AS-ASEAN dalam bingkai ASEAN-US Comprehensive Strategic Partnership berdasarkan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-AS yang ke-36 di Washington beberapa waktu lalu. Yang mana AS mendukung Sentralitas ASEAN maupun prinsip dan tujuan dari the ASEAN Outlook on the Indo-Pacific. Selain membahas beberapa isu regional maupun global yang mana ASEAN maupun AS punya kesamaan kepentingan.
AS dan ASEAN juga bersepakat bahwa tahun ini Laos mendapat giliran menjadi tuan rumah US-ASEAN Summit. Pertanyaan pentingnya di sini, isu-isu global dan regional apa saja yang dipandang punya kesamaan kepentingan bagi AS dan ASEAN?
Baca:
Deputy Secretary Campbell Meets ASEAN Secretary-General Kao
Seturut dengan semakin gencarnya pemerintah AS sejak era Donald Trump hingga Biden dalam membuat lompatan-lompatan kegiatan strategis yang memerlukan pengeluaran biaya besar untuk meningkatkan perkembangan teknologi tingkat tinggi termasuk teknologi militer, maka untuk mendukung lompatan-lompatan kegiatan strategis dalam peningkatan dan pengembangan teknologi tingkat tinggi, maka Washington menetapkan prioritas utama dalam kegiatan Penelitian (Resarch), Pengembangan (Development) dan Rekayasa (Engineering). Atau yang kita kenal dengan R&D&E. Adapun serangkaian kegiatan penelitian, pengembangan dan rekayasa tersebut ditujukan untuk menciptakan terobosan-terobosan baru yang menghasilkan inovasi atau penemuan-penemuan baru (invention).
Oleh sebab pesatnya perkembangan teknologi biasanya erat hubungannya juga dengan pesatnya perkembangan teknologi militer atau industri pertahanan, pesatnya perkembangan di bidang Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan) yang berpotensi untuk pengembangan di bidang penelitian-penelitian terkait bio-teknologi dan pengembangan laboratorium bio-militer kiranya perlu mendapat perhatian secara mendalam oleh para korps diplomatik negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.
Baca juga :
Artificial Intelligence Sangat Potensial Dimanfaatkan Untuk Pengembangan Program Laboratorium Bio-Militer
Maka itu menjadi tanda-tanya besar ketika pertemuan Campbell-Kao di Washington pada 10 Juni lalu, baik Campbell maupun Kao sama sekali tidak menyingung topik khusus yang dewasa ini menjadi bahan pembahasan meluas di pelbagai sektor masyarakat. Yaitu Prospek Investasi untuk membantu lahirnya inovasi-inovasi atau penemuan-penemuan baru di bidang Artificial Intelligence Technology (Teknologi Kecerdasan Buatan).
Maka aneh jika Kao-Campell dalam membahas isu-isu strategis global dan regional yang mana AS dan ASEAN punya kepentingan yang sama, tidak menyinggung aspek Teknologi Kecerdasan Buatan dalam Skema Kerja Sama ASEAN-AS dalam US-ASEAN Dialogue di Laos tahun ini. Padahal Inovasi Teknologi Kecerdasan Buatan dan Bioteknologi bagi ASEAN, khususnya Indonesia, punya pengalaman buruk, ketika Angkatan Laut AS dengan berkedok lewat kerja sama dengan kementrian kesehatan Indonesia pada 1970 melalui skema NAMRU-2 AS, terungkap bahwa Angkatan Laut AS memanipulasi kerjasama kesehatan RI-AS sebagai sarana operasi intelijen pengiriman virus H5NI dari Jakarta ke luar negeri. Operasi terselubung NAMRU-2 AS baru terbongkar 30 tahun kemudian semasa Siti Fadila Supari menjadi menteri kesehatan pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.
Aspek lain yang tak kalah krusial, adalah arah kebijakan luar negeri AS yang selalu menerapkan Skema Neokolonialisme dalam menjalin kerja sama luar negeri dengan negara-negara berkembang. Termasuk di kawasan Asia Tenggara.
Menginga fakta bahwa Campbell pada awal pemerintahan Biden dipercaya sebagai Koordinator Dewan Keamanan Nasional Untuk Indo-Pasifik, maka dalam menggalang kerja sama dengan negara-negara ASEAN Campell dalam kewenangannya saat ini sebagai Wakil Menteri Luar Negeri AS, bisa dipastikan akan menerapkan Kerangka US Indo-Pacific Strategy atau Strategi Indo-Pasifik AS, yang mana misi utamanya adalah menggalang sekutu-sekutu potensial di Asia Pasifik, tentunya termasuk Asia Tenggara sebagai prioritas, untuk bersama-sama membendung pengaruh Cina yang semakin kuat di Asia Pasifik. Begitulah intisari doktrin dari Strategi Indo-Pasifik AS yang dirilis pada 2017 lalu.
Dengan menerapkan skema neokolonialisme terhadap negara-negara ASEAN dalam kerja sama di inovasi dan penemuan baru di bidangTeknologi Kecerdasan Buatan dan bioteknologi, Washington akan tetap mengajukan syarat-syarat yang bersifat politis sebagai dasar kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sejatinya non-politis itu.
Pertama, AS hanya bersedia membantu pengembangan inovasi Teknologi Kecerdasan Buatan dan Bioteknologi jika negara-negara ASEAN bersedia menjadi sekutu strategis AS dan negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO maupun Uni Eropa.
Kedua, dalam membangun kerja sama di bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi yang erat hubungannya dengan Teknologi Kecerdasan Buatan dan Bioteknologi, AS hanya bersedia mendukung skema tersebut dengan syarat tidak boleh melibatkan Cina dalam kerangka ASEAN-China Dialogue Partner.
Jika AS tetap memaksakan skema kerja sama dengan ASEAN berdasarkan bingkai Strategi Indo-Pasifik AS, maka hal itu sama saja negara-negara ASEAN tidak punya pilihan secara bebas menentukan kebijakan luar negerinya secara independen. Atau dalam istilah Indonesia, Politik Luar Negeri yang Bebas dan Aktif. Bahwa ASEAN hanya akan dapat bantuan ekonomi dan investasi jika bersedia digalang dalam persekutuan strategis membendung Cina di Asia Pasifik, Asia Tenggara khususnya.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)