Manuver Intelijen dan Geopolitik atas Ledakan di Beirut

Bagikan artikel ini
Sebuah Clue Kecil
Hingga hari ini, kasus Beirut masih remang. Publik cuma disodori narasi kelalaian para petugas pelabuhan dan telah ditindak sesuai hukum. Selesai. Lalu, media pun diam.
Ini seperti isu Covid-19. Siapa pembuat dan penebar virus sampai ini hari simpang-siur. Dunia malah gaduh soal protokol kesehatan, penelitian vaksin, laris manis industri farmasi, bisnis IT, virtual dan seterusnya. Sedang isu awal — siapa penebar virus justru diabaikan, dilupakan orang.
Hari ini, masih menyisakan perang narasi antara Cina dan Amerika (AS) tentang siapa penebar dan pembuat virus corona. Keduanya tetap saling tuduh.
Pun demikian dengan isu Beirut. Hingga tulisan ini terbit, selain belum ada klaim tentang siapa pelaku, motif dan seterusnya, bahkan Hassan Nasralah, pemimpin Hizbullah menyatakan, bahwa mereka dan Israel tidak terlibat atas ledakkan yang bersumber dari 2.750 ton amonium nitrat (AN) pada 4 Agustus 2020 di pelabuhan Beirut dimana letusannya mampu menciptakan lobang sedalam 43 meter.
Juga, belum ada analisa tajam untuk membuat terang kasus tersebut. Agaknya isu Beirut masih silang sengkarut. Dunia masih menduga – duga siapa di balik isu tersebut.
Di dunia intelijen, sesuatu yang tak terlihat belum tentu tidak ada. Dan sebaliknya, sesuatu yang terlihat belum tentu seperti itu. Dunia abu-abu. Konon, kredonya pun tak lazim, “Berprestasi tak dipuji, mati tak dicari, gagal salah sendiri”. Seperti bercanda namun itulah yang kerap kali terjadi. Berbagai cara dan modus penyesatan (deception) ada pada intelijen serta jarang dipahami oleh khalayak awam. Bila muncul pun, semua seperti biasa saja. Datang tidak diundang, pulang tak dicari. Lenyap di persimpangan.
Mencermati isu Beirut dari perspektif intelijen, entah by accident (ledakan kecelakaan) atau by design —ledakan disengaja— telah menelan kerugian harta benda, luka-luka dan ratusan korban jiwa — bahkan Hassan Diab, PM Lebanon dan segenap kabinetnya undur diri. Luar biasa. Justru di tengah malapetaka sosial ekonomi dan pandemi Covid-19, pemerintahan seperti hendak lepas tangan. Lebih unik lagi, Presiden Lebanon justru menolak investigasi internasional atas kasus di Beirut. Entah kenapa.
Sepertinya kredo intelijen tengah bekerja secara silent sebagaimana prolog awal, “Sesuatu yang terlihat bukanlah seperti itu; dan sesuatu yang tak terlihat belum tentu tidak ada”.
Bom Bali misalnya, konon, pelakunya sendiri, Imam Samudra dkk justru terkejut atas ledakan yang dibuatnya sendiri. Kok sampai sedahsyat itu bom rakitan? Ada sisi misteri dalam kasus dimaksud. Premisnya ialah: sesuatu yang tidak terlihat ikut (menumpang) bermain sehingga yang terlihat (akibat) belum tentu seperti itu. Ada fakta lain di balik peristiwa. Ada agenda di atas agenda (si pelaku).
Kembali ke Beirut. Sinyalir ada “jejak Rusia” dalam isu Beirut 7 tahun lalu terkait AN sejumlah 2.750 ton, boleh-boleh saja. Apakah isu Beirut merupakan by design Rusia; atau jejak Rusia 7 tahun lalu telah tercium lalu “ditumpangi” sesuatu yang bekerja secara senyap; atau murni faktor kelalaian? Asumsi apapun sah-sah saja.
Pertanyaan besarnya begini, “Adakah kepentingan nasional Rusia di Lebanon?” Atau, jangan-jangan ada kepentingan nasional dari negara-negara di sekitarnya terkait geopolitik terhadap Lebanon? Hal ini mutlak dibreakdown demi merangkai puzzle yang berserak. Kenapa? Kerap kali, kepentingan nasional sebuah negara justru merupakan ancaman bagi negara lain. Itu sudah jamak di dunia geopolitik.
Kini meloncat ke geopolitik. Ya. Inti geopolitik adalah (dimensi) ruang. Meski ada 3 (tiga) dimensi lain yang tidak kalah penting seperti dimensi politik kekuatan, contohnya, atau frontier, ataupun dimensi keamanan negara dan bangsa. Namun lain waktu saja kita bahas.
Ruang sebagai inti geopolitik itu identik dengan labensraum, atau living space. Itulah “Ruang Hidup”. Ruang dalam arti fisik ialah wilayah atau teritori, namun secara nonfisik — ia bisa berujud sphere of influence, misalnya, atau hegemoni, ataupun rasa persatuan dan kesatuan.
Frederic Ratzel menyebut, hanya bangsa unggul yang berhak bertahan hidup serta melegitimasi hukum ekspansi.
Geopolitik mengajarkan, ruang bagi negara adalah segalanya. Berkurang atau bertambah ruang di suatu negara merupakan kehormatan bagi sebuah bangsa. Maka kerap terjadi peperangan di perbatasan antara dua negara cuma gegara sejengkal wilayah, misalnya, India-Cina adalah contoh aktual atas gesekan frontier di perbatasan, atau Nine Dash Line di Laut Cina Selatan, dan seterusnya.
Betapa sakral “ruang” dalam perspektif geopolitik. Dan Geopolitik menurut BK ialah sejarah, budaya dan filosofi. Dari penjabaran geopolitik menurut dua tokoh di atas, geopolitik mulai mengendus isu Beirut.
Dalam sejarah dan budaya, siapakah bangsa di dunia yang merasa sebagai bangsa/ras unggul?
Selanjutnya mengurai startegic objective atas suatu wilayah, menurut Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, clue-nya antara lain:
Pertama, tentukan titiknya kemudian ukur radiusnya untuk clear wilayah. Sapu bersih para preman, suku, kelompok dan seterusnya yang “beredar” di sekitar sasaran target wilayah;
Kedua, cari object triggernya. Ini bisa keributan dari dan antar kelompok, atau melalui kebakaran dan lain-lain tergantung skala besar wilayah yang akan dicapai. Nah, begitu sudah clear, segera PROTECT AND SECURE THE AREA;
Ketiga, mencermati isu Lebanon sepertinya ia dibikin tergantung impor gas dari negara tetangganya (Israel);
Keempat, ada dua blok migas di kawasan perairan sebelah timur titik ledakan. Dan disitu ditemukan cadangan migas sangat besar;
Kelima, akan dikembangkan oleh perusahaan negara sebelahnya berupa pipanisasi yang disambungkan ke receiving terminal di titik ledak itu.
Demikian clue pada isu Beirut. Catatan ini bukannya text book, namun sekedar merangkai puzzle yang berserak berbasis intelijen dan geopolitik.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com