Marco Rubio, menteri luar negeri Amerika Serikat kali ini bukan diplomat karir, juga bukan berlatarbelakang teknokrat, melainkan politisi. Aspek lain yang penting ditelisik terkait profil Marco Rubio selaku menteri luar negeri pemerintahan Donald Trump, adalah asa-usul kota kelahiranya, Miami, dari negara bagian Florida. Provinsi AS yang terletak di Selatan ini merupakann basis kelompok sayap kanan dan kelompok konservatif yang sebagian besar masyarakatnya penganut partai republik alih-alih partai demokrat.
Meskipun Presiden Trump memilih Marco Rubio menggunakan frase kata “orang yang sangat dihormati” atau a respected person, namun Trump yang sejatinya pebisnis dan berbakat membaca watak seseorang entah dia suka atau tidak suka, pastilah menangkap talenta-talenta lain dari Rubio yang lebih strategis. Hal itu, sepertinya tergambar lewat rekam jejak karir politiknya sebagai anggota kongres dan ahli hukum. Lahir di Miami, Florida, Amerika Serikat, 28 Mei 1971. Marco merupakan anak dari seorang imigran dari Kuba yang merantau ke AS pada 1956. Klas sosialnya pun bisa dibilang tidak termasuk klas menengah apalagi klas atas.
Mengenyam pendidikan tingginya di jurusan Ilmu Politik University of Florida hingga 1993. Pada 1996, melanjutkan ke program studi pascasarjana. Kali ini, mengambil program studi hukum. Setelah lulus pada 1997, nampaknya bidang hukum menjadi fondasi Marco Rubio membangun karir politiknya. Terbukti seketika itu juga lulus pascasarjana bidang hukum, Rubio terpilih menjadi anggota Komisi Kota Miami Barat.
Bahkan tak hanya sampai di situ. Pada 1999, Rubio ia terpilih menjadi anggota DPR di negara bagian Florida. Rubio mengemban jabatan tersebut sejak tahun 2000 hingga 2008. Sebagai pemula di ranah politik, lumayan lama menduduki jabatan sebagai anggota DPR yang tugas pokok dan fungsinya adalah: Pengawasan kinerja pemerintahan eksekutif, penyusunan undang-undang baru atau revisi undang-undang yang sudah ada, dan penyusunan anggaran pendapatan dan pengeluaran negara.
Dengan itu, kapasitas keahliannya yang berlatar bidang hukum, pastinya Rubio jadi aktor politik yang punya harga tawar tinggi. Apalagi ketika mulai 2009 Rubio mulai mengincar posisi yang tak kalah besar pamornya dibandingkan anggota DPR, yaitu anggota senat negara bagian. Rupanya keberuntungan memang sedang berpihak padanya. Pada 2010 ia terpilih sebagai anggota senat AS.
Nah, melalui jabatan publiknya yang baru inilah, haluan politiknya semakin menarik untuk dianalisis. Misalnya, Rubio sempat mendukung kebijakan AS untuk menormalisasi hubungan dengan Kuba. Menurut saya, meski menurut beberapa pemerhati politik di AS kebijakan yang digulirkan Rubio ini kontroversial, namun sepertinya Rubio didorong oleh aspirasi geografis-nya, Miami, Florida. Sejak Fidel Castro dan Che Geuvara merebut kendali kekuasaan di Kuba seturut tergulingnya rezim sayap kanan Fulgencio Batista pada 16 Februari 1959, Florida menjadi daerah basis kelompok-kelompok sayap kanan Kuba anti-Batista di Amerika.
Jadi, hasrat kuat Rubio untuk menormalisasikan hubungan AS-Kuba, bukan didasari simpati kepada Castro atau sosialisme ala Kuba, melainkan lantaran dorongan emosionalnya sebagai imigran Kuba di AS yang melekat dengan aspirasi geografis Florida yang memang banyak jadi tempat pelarian warga masyarakat Kuba yang anti-Castro dan Geuvara.
Begitupun, sosoknya sebagai politisi kiprahnya memang tidak tanggung-tanggung. Betapa tidak. Pada 2016, ketika Trump kali pertama mencalonkan diri sebagai presiden, sebenarnya Rubio pun bermaksud mencalonan diri sebagai capres. Hanya saja partai republik memilih Donald Trump. Namun, di sini terlihat bahwa meski Rubio urung mencalonkan diri sebagai presiden, rekam jejaknya sebagai politisi klas satu mulai masuk radar perhatian berbagai elemen strategis.
Urung jadi calon presiden, Rubio kembali terpilih anggota senat period kedua pada 2016. Pada 2022, Rubio bahkan terpilih lagi jadi anggota senat pada periode ketiga. Bisa jadi, lantaran pamornya yang begitu kuat sebagai politisi partai, anggota DPR dan anggota Senat, banyak kalangan yang mendorong dirinya maju sebagai calon wakil presiden dari partai republic, mendampingi Donald Trump. Namun partai republik memutuskan memilih JD Vance sebagai pendamping Trump.
Tentu saja buat ayah dari empat anak itu, gagal jadi wakil presiden pendamping Trump bukan akhir segalanya. Trump memilih dirinya sebagai menteri luar negeri. Jabatan kabinet yang dari dulu dianggap prestisius yang peringkatnya dipandang lebih tinggi dibandingkan posisi kementerian-kementerian lainnya.
Kompetensinya sebagai ahli hukum dan rekam jejaknya yang begitu lama berkiprah di DPR dan Senat AS (gabungan keduanya disebut Kongres), kiranya cukup beralasan bagi negara-negara sesama adikuasa seperti Cina dan Rusia, maupun sekutu-sekutu-nya yang tergabung di Uni Eropa dan NATO dari Eropa Barat, untuk bersikap hati-hati dan waspada. Apalagi sedari awal Rubio terang-terangan menyebut Cina sebagai lawan yang cukup berbahaya.
Sebab menlus AS kali ini, bukan diplomat karir maupun teknokrat, melainkan politisi. Oh ya, satu lagi. Rubio juga pernah duduk sebagai anggota senat menangani komisi kebijakan luar negeri dan intelijen.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)