Masri

Bagikan artikel ini
Ia sebenarnya ingin menetap di negeri orang bukan karena gaji yang diterimanya lebih besar bila dibanding bekerja di Indonesia. Lebih dari sekadar gaji ia sudah merasa klop dengan kawan-kawan kerjanya di sebuah lembaga riset di Australian National University, tempat ia memperoleh Ph.D antropologi tahun 1966.
Tapi tahun 1973 ia bertemu Sukadji Ranuwihardjo dalam suatu seminar di Australia. Rektor Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, itu berusaha kuat membujuknya kembali ke almamater. Untuk menggodanya pak rektor menjanjikan akan mendirikan lembaga riset yang diinginkannya. Mendengar rencana itu ia tak sanggup lagi mengelak.
Tahun itu juga Masri Singarimbun (1931 – 1997) pulang dan langsung mengajukan proposal pendirian Pusat Penelitian Kependudukan. Sukadji harus membangun gedung besar untuk lembaga baru itu yang kelak menjadi pusat riset garda depan UGM. Dihitung dari jumlah publikasi hasil penelitian mereka masih yang terbanyak dari semua pusat riset lain di universitas itu.
Meski disiplinnya antropologi publik lebih mengenalnya sebagai pakar demografi. Ia kombinasi sempurna seorang ilmuwan dan kolomnis

hebat
Sepanjang tahun 1980-an kolomnya di majalah Tempo termasuk kolom yang ditunggu-tunggu pembaca. Gaya bahasa pakar yang mendapat julukan “bapak kondom” ini memikat tanpa banyak menyertakan istilah teknis demografi.
Hasil risetnya yang masyhur (bersama David H. Penny, ahli ekonomi pertanian Australian National University): Population dan Poverty in Rural Java, Some Economic Arithmatic from Sriharjo, Jogjakarta (1973) mendapat respons kurang sedap dari pemerintah. Buku itu dianggap memberi citra buruk pembangunan ekonomi orba yang di klaim pemerintah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan secara masif.
Hasil penelitian kedua pakar itu membuktikan desa Sriharjo yang subur dan punya pengairan dan hubungan pasar yang baik justru mengalami kemiskinan akibat tekanan penduduk dan lahan-lahan pertanian berkurang tiap tahun “hingga luas tanah pertanian, termasuk lahan yang ditanami pohon-pohon, yang tersedia bagi tiap keluarga merosot…” tulis mereka.
Sejak buku itu terbit (tiga tahun kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia: Penduduk dan Kemiskinan, Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa) nama desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, Jogjakarta, mendadak tersohor di kalangan akademisi. Desa Modjokuto, yang aslinya bernama Pare di Jawa Timur itu, yang dipopulerkan Clifford Geertz dalam disertasinya The Religion of Java sekarang punya partner setara di Jogja.
Kelebihan Sriharjo beberapa tahun kemudian para peneliti meriset ulang untuk mengetahui perkembangan desa tersebut. Hasilnya beberapa variabel bergeser. Secara keseluruhan desa itu semakin merosot dengan luas lahan subur yang kian menyempit. Belum terdengar perkembangan mutakhir Sriharjo jauh setelah Masri dan Penny menemukan “keganjilan” di situ.
Darwati Utieh, wartawan senior

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com