Presentasi Kolonel Dr Samsul Bahri, dari Sub-Direktorat Amerika, Eropa dan Afrika, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI. Pada Seminar terbatas GFI bertema: Telaah Strategis dan Kritis tentang Konsepsi Indo-Pasifik, di tengah semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina (Perspektif Politik Luar Negeri Bebas-Aktif). Selasa, 15 Oktober 2019 di Jakarta.
Bicara konsep Indo Pasifik dan BRI berarti bicara dengan bagaimana masifnya uang yang digelontorkan. Kita bisa lihat Cina yang berinvestasi hingga ribuan dolar guna membangun sistem BRI-nya. Berkenaan dengan Geliat Sang Naga dalam ‘’membangun dunia’’, saya teringat dengan apa yang terjadi di Kongo. Saya menyaksikan langsung bagaimana Cina berinvestasi luar biasa dalam membangun infrastruktur di sana hingga menjamah ke pelosok.
Namun uniknya, sederet pembangunan itu pada awalnya diberi cuma-cuma oleh Cina. Cara itu digunakan demi perlahan menarik simpati hingga mampu membuka celah berdagang di sana. Saya tahu betul bagaimana pengusaha tambang Cina yang disokong bantuan modal dari negaranya berhasil mengeruk potensi sumber daya yang kemudian menjadi awal jebakan utang. Dengan cara itu, muncullah debt trap yang membelit Afrika dan sekonyong-konyong Cina berkuasa di sana. Setidaknya itu yang jadi ciri modus operansi BRI ke depan.
Lalu bagaimana dengan Indo Pasifiknya AS? Jelas konsep ini bukan sebatas ruang hidup untuk negara-negara inisiator (AS, Jepang, Australia, dan India), tapi juga bakal menyasar negara lain. Saya dengar Indonesia sudah dapat tawaran soal itu. Misal sekiranya Indonesia ingin membangun seaport, AS siap membantu.
Perlu digarisbawahi, yang menjadi perbedaan pembangunan Indo-Pasifik dengan BRI kelak akan terlihat daya ekspansinya. Cina terlihat lebih menggarap semua proyek di banyak negara dan jarang selektif. Beda halnya dengan AS yang terlampau memilih. Tren itu bisa kita lihat dalam geliat pembangunan di Afrika, yang mana Cina jauh lebih unggul dari AS.
Sejauh ini AS, lebih mentitikberatkan Indo-Pasifik sebagai suatu ruang hidup dalam pemenuhan kepentingan militer. Bisa kita lihat dari perubahan nomeklantur USPASCOM yang berubah menjadi INDOPACOM.
Berkaitan dengan kepentingan militer, saya juga berkeyakinan BRI bukan sebatas pemenuhan kepentingan ekonomi, melainkan juga militer. Cina berpikir dengan memperkuat kapabilitas ekonomi, maka kekuatan militer akan otomatis mengikuti.
Atas pertarungan agenda Indo Pasifik versus BRI ini, lantas di mana posisi ASEAN? Saya harus katakan, ASEAN harus berada di tengah-tengah. Lewat ASEAN Way, kita harus optimistis mampu menjadi penyeimbang antara Cina dan AS, meski manuver kedua negara ini kian hari kian progresif.
Berkenaan dengan itu, kita bisa tengok dengan masifnya pembangunan dan kuatnya diplomasi ekonomi Cina di belahan dunia. Bahkan yang bergerak bukan saja aktor negara, tapi juga aktor non-negara. Untuk soal ini, AS lewat Central Inteligence Agency (CIA) sudah memperhatikan gerak-gerik mereka. Karena geliat aktor non-negara ini berhasil melumpuhkan kemapanan investor-investor AS dalam mendapat proyek.
Memang seperti itulah cara negara-negara kuat dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya. Tepat di sini, Indonesia harus mengambil peran sebagai pemain kunci yang bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, sehingga mampu membawa ASEAN sebagai penyeimbang dalam percaturan politik dunia. Karena sejatinya, kohesivitas ASEAN bermasalah menyusul dukungan beberapa negara semisal Singapura yang berkiblat kepada kepentingan AS. Belum lagi negara-negara yang punya kekuatan lemah dalam segala aspek, misal Laos, Myanmar dan Kamboja yang notabenenya rawan tersandera konflik kepentingan antara Cina dan AS.
Lepas dari semua realitas yang ada, saya pernah mendengar langsung dari salah satu pejabat tinggi negara ASEAN, bahwa Indonesia adalah ‘big brother for ASEAN’. Tentu hal itu menjadi modal penting demi kembali menegakkan prinsip-prinsip ASEAN dan menunjukkan ASEAN Way di tengah dualisme yang sedang berkecamuk.