Kegagalan sistemik tatanan kapitalis yang dipicu oleh virus corona telah memperkuat kesadaran yang berkembang bahwa ketidaksetaraan kekayaan yang sangat mencolok adalah karakteristik mendasar dari sistem tersebut. Sehingga sistem ini memberikan peluang yang besar kepada pemilik modal dan menekan siapa pun yang tidak memiliki modal besar. Semoga “teologi” kapitalisme ini tidak mudah tumbuh subuh di negara kita.
Sistem kapitalis seolah menjadi realitas mengerikan yang mengakibatkan adanya degradasi, dehumanisasi dan ketimpangan sosial yang tertanam dalam sistem tersebut. Jutaan orang terlempar dari pekerjaan, rantai pasokan global pun terganggu, triliunan menghilang di kasino kapitalis yang secara halus disebut pasar saham … Respons “latah” dan kurang responsif oleh banyak negara terhadap persebaran COVID-19 telah memberikan pelajaran yang mahal dalam politik (kelas) di banyak negara.
Menurut Ajamu Baraka, kediktatoran kelas kapitalis bisa terus bertahan karena realitas kelas telah dikaburkan. Semua ini bisa kita dapati dari terbatasnya ruang gerak demokrasi, tumbuh suburnya sosial demokrasi, dan menguatnya nasionalisme, terutama dari kelas kulit putih dalam bentuk patriotisme, kompromi pascaperang antara modal dan tenaga kerja, subsidi negara untuk perluasan kelas menengah kulit putih, konsumsi yang digerakkan oleh utang, dan penindasan kelas putih terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Sekali lagi, inilah yang memberikan dasar material dan ideologis bagi kelangsungan kediktatoran yang nyaris selama dua abad terakhir.
Pertanyaannya adalah apakah tatanan kapitalis mengalami kegagalan sistemik yang dipicu oleh virus corona. Pertanyaan ini mudah dijawab bahwa persebaran virus corona oleh elite global telah memperkuat kesadaran warga dunia bahwa ketidaksetaraan kekayaan yang sangat mencolok mencirikan karakteristik mendasar dari sistem tersebut.
Lihat saja misalnya, debat yang terjadi menjelang pengesahan undang-undang oleh Kongres untuk membahas dampak COVID-19 secara dramatis mengekspos agenda kelas kapitalis yang secara objektif menentang kepentingan seluruh kelas pekerja, kaum miskin, dan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Masyarakat dunia melihat bahwa miliaran dolar dialokasikan demi kepentingan bisnis sementara jutaan orang lainnya menghadapi situasi yang semakin membuat mereka putus asa. Mereka harus menghadapi periode yang sulit terkait pemenuhan kebutuhan hidup mereka, belum lagi harus mengikuti instruksi untuk tinggal di rumah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lagi, demi menerima segala bentuk bantuan. Padahal tagihan rakyat yang harus mereka bayar terus meningkat. Sementara pada saat yang sama, perusahaan multinasional mendapatkan dana segar demi kelangsungan hidupnya.
Di AS sendiri misalnya, pembayaran sewa dan hipotek April jatuh tempo sementara semua orang harus memenuhi kebutuhan hidupnya meski dengan lebih sedikit pendapatan yang mereka peroleh, dan sebagian yang lain berharap ada “belas kasih” dari pemerintah.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute