Melalui Skema Indo-Pasifik, Inggris Berencana Membangkitkan Kembali Imperium Lamanya di Asia Pasifik

Bagikan artikel ini

Saat Amerika Serikat (AS) mulai muncul sebagai negara adikuasa baru menggantikan Inggris setelah usainya Perang Dunia II, benarkah kerajaan Inggris kemudian meredup sebagai negara imperialis yang mulai merintis kejayaannya pada abad ke-16? Sebagai kekuatan adidaya di bidang ekonomi mungkin memang AS memang sudah menggeser Inggris sejak usainya Perang Dunia II. Namun sebagai kekuatan strategis di bidang politik dan keamanan, kekuatan Inggris nampaknya masih harus tetap diperhitungkan sampai hari ini. Meski AS saat ini kekuatan digdaya di bidang ekonomi dan militer, untuk strategi geopolitik dan pendekatan Soft Power, Inggris masih merupakan mentor strategis AS. Bukan itu saja.

Hampir semua negara-negara eks-koloni Inggris utamanya di Asia dan Afrika, masih terikat komitmen dengan Inggris di bawah payung Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran (Common Wealth). Jajahan Inggris membentang di Asia Tenggara Seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Dari Asia Selatan meliputi India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka dan Nepal. Dari kawasan Afrika hampir semua Afrika Sub-Sahara dulunya jajahan Inggris seperti Nigeria, Ghana, Mesir, Sudan, dan lain sebagainya. Yang luput dari jajahan Inggris di Afrika hanya Pantai Gading.

Tak berlebihan jika wilayah jajahan Inggris di luar Eropa mencapai seperempat dari total jumlah penduduk dunia. Koloni Inggris pertama di luar kawasan Eropa ya yang sekarang kita kenal sebagai Amerika bagian Utara alias AS saat ini. Setelah itu meluas ke Karibia, Afrika, Asia, dan, nah ini yang para pakar politik internasional atau sejarawan sering abaikan, yaitu kawasan Pasifik.

Menelisik pertaruhan kepentingan Inggris yang begitu besar di kawasan Asia dan Pasifik inilah, bisa dimengerti jika selain AS, Inggris pun sangat berkepentingan untuk bersama-sama AS mendukung dirilisnya Strategi Indo-Pasifik AS pada 2017, saat periode pertama pemerintahan Presiden Donald Trump. Kalau tidak mau dikatakan merupakan konseptor dari belakang layar dalam menyusun Strategi Indo-Pasifik AS 2017. Sepertinya, di balik skema Indo-Pasifik, Inggris sejak abad ke-15 selalu gusar ketika menghadapi hambatan dari segi lokasi geografis.

Hal tersebut bisa ditelisik bagaimana Inggris sangat gusar secara geopolitik ketika Turki Ustmani sejak 1453 berhasil merebut kota Konstantinopel yang sebelumnya dikuasai Romawi Timur. Sebab dari sudut pandang lokasi geografis, Konstatinopel yang saat ini bernama Istambul dan berada dalam kedaulatan Turki Ustmani, kota tersebut menjadi penghubung dua kawasan. Antara Asia dengan Eropa.

Secara faktual hal itu menggambarkan betapa bagi Inggris, kawasan Asia dan juga Pasifik, bukan saja jadi pertaruhan penting dari segi nilai strategis geopolitik-nya. Bahkan kemudian jadi obyek kolonialisme dan imperialisme Inggris sejak abad ke-16 dan ke-17. Maka Inggris mulai bergerak menguasai India (waktu itu India, Pakistan, Bangladesh masih jadi satu), Sri Lanka (Ceylon), Burma (sekarang Myanmar), dan Semenanjung Malaya (gabungan wilayah Malaysia, Singapura, dan Brunei jadi satu).

Maka itu menarik ketika dalam pemilihan umum pada Juli 2024 lalu bergulir perdebatan mengenai dua isu strategis kebijakan luar negeri Inggris. Apakah pemerintah Inggris mengutamakan pemulihan hubungan yang memburuk dengan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa, atau justru lebih berfokus menjalin kerja sama strategis dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

Menurut pandangan saya, perdebatan politik di Inggris ihwal apakah kerajaan Inggris harus berpaling ke Asia Pasifika atau Eropa, hanya sekadar kamuflase belaka. Sejatinya Inggris dari dulu hingga saat ini bersama AS sebagai sekutu tradisionalnya, tetap berupaya mempertahankan hegemoni dan dominasinya di Asia Pasifik bersama sekutu-sekutunya dari Eropa Barat yang sehaluan dalam strategi global dan kebijakan luar negerinya.

Di sinilah Strategi Indo-Pasifik AS yang mulai digulirkan sejak 2017 pada periode pertama pemerintahan Presiden Trump,sejatinya merupakan bagian integral dari tujuan strategis Inggris juga. Bergabungnya Inggris bersama AS mendorong Strategi Indo-Pasifik yang dimotori bersama antara AS, Australia, Jepang dan India, jejak-jejak agenda strategis Inggris untuk tetap membangun basis pengaruh di Asia dan Pasifik tergambar jelas.

Australia dan India, sebagai eks-koloni Inggris, masih tetap terikat komitmen bersama Inggris dalam kerangka Common Wealth. Maka itu tak heran meskipun hubungan Inggris dan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa masih dingin sejak keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada Maret 2019, Inggris senyatanya lebih condong berfokus ke Asia Pasifik. Kawasan yang mana Inggris pernah menjajah sebagian besar negara-negara di kawasan Asia maupun Pasifik. Bahkan lebih dari itu, justru lantaran sejak Maret 2019 memutuskan keluar dari Uni Eropa, Inggris memandang Strategi Indo-Pasifik AS merupakan alternatif Inggris di luar skema Uni Eropa.

Bahkan kalau menelisik kesejarahannya, Jerman dan Prancis yang sejak abad ke-18 dan ke-19 merupakan pesaing Inggris dalam perebutan wilayah jajahan di luar kawasan Eropa, keputusan Inggris untuk mengutamakan Asia Pasifik alih-alih Eropa Barat, malah harus dibaca sebagai langkah strategis mendahului Prancis dan Jerman dalam membangun sphere of influence wilayah pengaruh di Asia Pasifik. Dengan demikian, Inggris justru lebih berhasil dibanding Prancis dan Jerman, dalam memainkan peran globalnya di luar skema Uni Eropa.

Apalagi saat ini Inggris berhasil merebut posisi diplomatik penting dalam organisasi regional Asia Tenggara (ASEAN), dengan merebut status sebagai mitra dialog ASEAN. Ini merupakan kemenangan strategis mengingat fakta bahwa beberapa negara anggota ASEAN dulunya adalah eks jajahan Inggris seperti: Myanmar, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. ASEAN juga bernilai strategis sebagai kekuatan regional Asia Tenggara karena selama ini berfungsi sebagai jangkar pembentukan Arsitektur Ekonomi dan Keamanan di kawasan Asia Tenggara.

Baca juga:

The next UK government must bridge the Indo-Pacific and Europe

Konfigurasi kekuatan AS-Inggris semakin menguat dengan terbentuknya persekutuan empat negara (AS, Australia, Jepang dan India), yang kemudian diperkuat dengan terbentuknya persekutuan Tiga Negara (AUKUS) yang terdiri dari AS, Australia dan Inggris). Dengan itu, kerja sama strategis AS, Australia dan Inggris semakin solid tidak saja di bidang ekonomi, melainkan juga di bidang militer.

Baru_DR170170008

Maka masuk akal ketika persekutuan tiga negara tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan membantu Australia memperoleh kapal-kapal selam bertenaga nuklir, sehingga kemudian mengundang reaksi gusar dari Prancis. Adapun di bidang ekonomi, ikut sertanya Inggris dalam Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP), juga menjadi batu loncatan bagi Inggris kembali memperkuat pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik.

Secara geo-ekonomi, seperti prediksi Dr Sam Ratulangi dalam bukunya Indonesia dan Asia Pasifik, yang terbit pada 1930an, Asia Pasifik yang oleh AS dan Inggris sekarang disebut Indo-Pasifik, merupakan jantung industri manufaktur global, rute pelayaran internasional penting yang melintasi lautan yang diperebutkan secara sengit oleh negara-negara adikuasa seperti Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, dan pusat-pusat teknologi saat ini maupun masa depan yang dimotori Cina, India hingga Jepang maupun Korea Selatan.

Maka itu, dengan terpilihnya kembali Presiden Trump dan pemerintahan Inggris yang saat ini dikuasai partai buruh pimpinan Keir Starmer, nampaknya momentum membangun koordinasi antara Inggris dan Eropa untuk bersama-sama memperkuat kembali pengaruhnya di Asia Pasifik di bawah payung Strategi Indo-Pasifik AS, terbuka kembali.

Desakan Trump kepada NATO untuk meningkatkan anggaran militernya dari 2% menjadi 5 atau 6%, harus dibaca sebagai peristiwa paralel yang sejatinya sehaluan dengan rencana AS-Inggris untuk bersama-sama memperkuat hegemoni dan dominasinya kembali di Asia Pasifik baik di bidang ekonomi maupun perdagangan.

Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi, AS dan Inggris dalam skema AUKUS maupun QUAD, telah memperluas lingkup persekutuan militernya tidak hanya sebatas AS, Australia, Jepang dan India. Bahkan saat ini sudah meluas lingkupnya dengan melibatkan persekutuan Indo-Pasifik 4 yaitu, Australia, Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan. Sebelumnya juga sudah membentuk persekutuan antara AS, Jepang dan Filipina (JAPHUS).

Dengan menguatnya kembali “pancangan kaki” AS dan Inggris dalam skema Indo-Pasifik sejak 2017, Donald Trump nampaknya akan menjadi motor penggerak menyatukan AS-Inggris dan Uni Eropa (Prancis dan Jerman), untuk berbagi wilayah jajahan di Asia Pasifik persis seperti di masa silam.

Dengan itu, Indonesia dan negara-negara berkembang utamanya yang tergabung dalam ASEAN, harus kompak dan solid. Selain itu harus mempertahankan independensinya di bidang ekonomi, politik dan militer.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com