Tinjauan Singkat Konstitusi
Minggu kemarin, ada fenomena unik lagi menarik di publik. Dan implikasinya pun bergulir hingga kini. Apa pasal, sekitar 200-an pensiunan jenderal TNI plus kolonel dari tiga matra (AD, AU dan AL) yang menamakan diri Forum Purnawirawan Prajurit TNI, merilis Pernyataan Sikap yang terdiri atas 8 (delapan) poin ditujukan kepada MPR dan Presiden Prabowo Subianto. Cukup sangar dan bergetar baik isi tuntutan maupun dampaknya di satu sisi. Namun pada sisi lain, Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), termasuk PPAL (Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut) dan juga PPAU (Udara) —selaku organisasi resmi— yang mewadahi para pensiunan TNI justru ‘tak terlibat’ dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI tadi. Ini terlihat dari Pernyataan Sikap ketiga organisasi resmi pensiunan TNI (PPAD, PPAU dan PPAL) dimana inti sikapnya bahwa aktivitas Forum Purnawirawan bukanlah pernyataan yang mewakili seluruh purnawirawan TNI. Ya, sepertinya PPAD, PPAL dan PPAU tidak mau ikut-ikut. Entah kenapa. Apakah karena Pernyataan Sikap forum purnawirawan di atas terlalu keras, menohok, atau karena faktor ‘tegak lurus’?
Inilah poin inti dari Delapan Pernyataan Sikap yang beredar di (media sosial) publik, antara lain:
- Kembali pada UUD 1945 Asli;
- Mendukung program kerja Kabinet MP, kecuali melanjutkan IKN;
- Menghentikan PSN PIK2, Rempang dan kasus-kasus serupa;
- Menghentikan TKA yang masuk ke NKRI dan mengembalikan tenaga kerja China ke negeri asalnya;
- Penertiban pengelolaan tambang berbasis Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945;
- Melakukan reshaffle terhadap menteri yang diduga korupsi dan masih terikat dengan kepentingan Presiden ke-7;
- Mengembalikan Polri pada fungsi kamtibmas di bawah Kemendagri;
- Pengusulan penggantian Wapres RI kepada MPR.
Di sini, saya tak hendak menganalisis kenapa antara organisasi resmi pensiunan (PPAD, AL dan AU) dengan Forum Purnawirawan Prajurit TNI berbeda pandangan —kalau tidak boleh menyebut ‘terbelah’— tetapi, penulis hanya membaca efek lanjutan atas Pernyataan Sikap di publik dari sisi konstitusi (UUD 1945).
Secara konstitusi, poin 2 (dua) hingga poin terakhir pada delapan Pernyataan Sikap oleh forum purnawirawan di atas hanyalah persoalan/permasalahan hilir semata. Sekali lagi, poin dua hingga delapan cuma residu dari permasalahan hulu bangsa.

Lantas, mana masalah hulunya?
Tak lain, masalah hulunya justru di poin ke-1 yakni Kembali ke UUD 1945 Asli. Retorika pembuktiannya sederhana, contoh:
- Apabila MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara membidani GBHN, maka siapapun elemen bangsa niscaya loyal terhadap program kerja kabinet sepanjang ia menjalankan GBHN;
- Apakah mungkin GBHN membidani PSN yang merugikan rakyat?
- Mungkinkah akan terpilih Gibran sebagai Wapres jika sistem pemilihan presiden dilakukan di MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara?
- Dan lain-lain.
Implikasi lain yang gaduh, bahwa pelbagai elemen publik seperti digiring dan tergiring menyorot poin terakhir (butir ke-8) yakni soal usulan penggantian Wapres. Isu pemecatan Gibran digoreng, padahal isu tersebut selain hal hilir, mekanisme impeachment pada UUD hasil amandemen sangat bertele-tele, mbulet, juga memakan waktu lama. Ini berbeda dengan isu kembali ke UUD 1945 Asli, misalnya, cukup adanya konsensus nasional atau diterbitkan Dekrit Presiden sebagaimana tahun 1959 dahulu. Lebih simpel namun berdampak strategis.
Katakanlah, seandainya isu pemecatan Gibran terjadi maka tidak otomatis berdampak terhadap poin-poin lainnya bakal terlaksana; akan tetapi, jika isu kembali ke UUD 1945 terlaksana dipastikan ke-7 poin lain akan bisa dirasakan. Memang tergantung kemauan politik dan political action rezim penguasa.
Seyogianya energi bangsa ini dipakai untuk mengupayakan dan menyelesaikan isu-isu hulu terlebih dulu daripada berkutat di tataran hilir yang nampak mewah di atas permukaan, namun tidak menyentuh pada pokok Kepentingan Nasional RI.
Demikian adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments