Membaca Amandemen UUD 1945 Dari Perspektif Filsafat

Bagikan artikel ini
Bermenung secara meta-filsafat atas dampak dari praktik amandemen UUD 1945 empat kali (1999-2002) yang membikin negara ini super gaduh, liberal lagi kapitalistik. Namun, pada Sidang Paripurna DPD RI hari Jumat (14/7/2023) menyepakati penguatan sistem bernegara dengan kembali kepada sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa.
Asumsi penulis, bahwa DPD RI periode 2019-2024 pimpinan LNyalla Mattalitti memahami hulu permasalahan bangsa. Inilah prolog tulisan.
Kesepakatan dalam Sidang Paripurna DPD tersebut muncul karena menyadari adanya studi dan kajian akademik yang menyatakan bahwa perubahan konstitusi 1999-2002 silam justru menghasilkan konstitusi yang telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi.
Maka, pertanyaan filosofi yang muncul ialah, “Bahwa isu (amandemen empat kali) tersebut merupakan peristiwa yang bersifat:
Pertama, apakah amandemen UUD itu malapetaka alias bala bagi bangsa ini;
Kedua, apakah hal ini bentuk dari peringatan bagi segenap tumpah darah Indonesia; atau
Ketiga, apakah amandemen UUD merupakan ujian untuk bangsa demi naik derajat ke posisi yang lebih baik di masa yang akan datang (Indonesia Emas 2045)?”
Setiap diri, kelompok dan golongan niscaya memiliki persepsi dan jawaban berbeda atas retorika di atas, kenapa? Sebab, pengetahuan dan wawasan itu bertingkat-tingkat. Ada level es de, es em pe, misalnya, atau S1, S2, S3, ataupun syariat, tharikat, hakikat, makrifat dan lainnya, kecuali persekongkolan alias permufakatan jahat. Dalam persekongkolan, tidak ada tingkatan, tetapi melebur sesuai masing-masing peran, contohnya:
1. Terdapat peran sebagai penebar isu (isu KKN misalnya);
2. Ada peran yang menggebyarkan tema/agenda (lengserkan Orde Baru); dan
3. Ada yang bertugas menancapkan skema (mengganti konstitusi).
Dan acapkali, personel di tiap-tiap tingkatan/peran justru tak saling mengenal. Mereka digerakkan oleh kekuatan powerful.
Itulah contoh serta gambaran ketiadaan tingkatan dalam permufakatan jahat. Setiap tingkatan melebur menjadi gerakan dalam satu tarikan napas: “Isu – Tema/Agenda – Skema” (ITS). Dan inilah pola peperangan asimetris (asymmetric warfare) pada kolonialisme gaya baru. Isu ditebar; agenda digelorakan; kemudian skema ditancapkan.
Dalam praktik, ada golongan yang menyebut peristiwa tersebut (amandemen UUD) sebagai bala atau bencana. Sah-sah saja. Bahwa ‘kudeta konstitusi’ —Presiden RI ke-6 SBY malah menyebutnya sebagai silent revolution— terhadap UUD 1945 Naskah Asli oleh asing dinilai sebagai malapetaka. Sebuah kesalahan fatal yang dilakukan oleh para elit politik dan anggota MPR RI silam yang hanyut oleh euforia ‘asal bukan Orde Baru’, lalu mengganti pasal-pasal dalam Batang Tubuh sampai 97% (hasil penelitian Prof Kaelan, UGM) tanpa diawali Naskah Akademik. Bahkan Ketetapan/TAP MPR untuk UUD NRI 1945 Produk Amandemen tertanggal 10 Agustus 2002 pun tidak bernomor alias kosong akibat MPR terlanjur diturunkan statusnya (down grade) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara selevel BPK, MA, DPR dan lainnya sehingga ia tidak lagi berwenang menerbitkan TAP yang bersifat regeling (mengatur). Sangat sembrono. Mengubah struktur organisasi atau menambah saja butuh kajian (Naskah Akademik) atau minimal dibuat latar belakang serta pokok-pokok pikiran. Lha, ini mengganti konstitusi negara tanpa kajian sama sekali. “Ngeri-ngeri sedap”.
Mengapa?
“Ngeri,” oleh sebab nyawa manusia seolah tidak berharga vide kematian ratusan petugas KPPS dalam Pemilu 2019 silam. “Sedap”, karena pasca UUD diamandemen timbul peristiwa demi peristiwa (kegaduhan) nyaris di semua lini. Ya, “ngeri-ngeri sedap”.
Mari flashback lalu membanding sejenak. Sebagai padanan isu, bahwa mengubah satu pasal pada konstitusi di Negeri Paman Sam dan Australia harus melalui referendum.
Konsekuensi atas perspektif filsafat di atas, ada persepsi kelompok bahwa amandemen UUD 1945 ialah bentuk peringatan karena dinilai sebagai sumber kegaduhan di republik ini. Apakah peringatan? Yaitu kesalahan yang masih dapat diikhtiari alias diubah sesuai dengan kadar serta upaya. Dasarnya jelas, yaitu:
” ..Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri .. ” (Cuplikan QS Al Ar-Ra’d: 11).
Sekali lagi, kenapa disebut peringatan?
Sebab, sejak awal dioperasionalkan sudah memunculkan kontroversi. Selain membelah bangsa, money politic, biaya tinggi, juga timbul pro kontra di antara sesama aktor atau pelaku amandemen itu sendiri. Menarik. Ada aktor pelaku yang insyaf lalu berupaya untuk mengembalikan ke UUD Naskah Asli; ada yang ingin terus mempertahankannya karena mereka justru menikmati, misalnya, tokoh sekelas AR, Ketua MPR RI saat terjadi amandemen pun sudah menyadari kekhilafan. Ia menyatakan naif atas kekeliruan turut mengganti UUD 1945 Naskah Asli. Akan tetapi, tidak sedikit tokoh malah berupaya keras melestarikan. Hal ini ditandai:
  • Selaku penikmat amandemen (kaum liberal) berselancar di tengah kegaduhan tanpa ada niatan untuk kembali ke UUD 1945. Asal bergaduh-ria atas nama demokrasi, korupsi, politik dinasti dan seterusnya. Padahal, hulu persoalan bangsa yakni amandemen UUD 1945, justru tidak disentuhnya;
  • Dalam narasi kudeta konstitusi, ada pelaku kudeta (JT) malah meneguk manfaat atas kegaduhan bangsanya dengan “mengilmiahkan” tindakan kudeta tersebut. Ia justru mengambil desertasi (S3)-nya di Leiden University, Belanda, bertopik pergantian konstitusi.
Di luar persepsi “bala” dan “peringatan” di atas, ada sedikit orang menilai bahwa amandemen UUD 1945 sebagai suatu ujian. Ya, ujian untuk bangsa ini. Apakah ujian? Tak ada kesalahan signifikan, tiba-tiba terjadi kudeta konstitusi yang hakikinya ialah gerakan meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi (DPD RI, 14 Juli 2023).
Kelak, jika bangsa ini mampu melewatinya masa kritis ini niscaya akan mendapat hadiah. Ya. Hadiah dari Tuhan atas putaran/kehendakNya setiap 100 tahun sebagaimana termaktub dalam QS Al Baqarah 259:
Atau, seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunannya) telah roboh menutupi (reruntuhan) atap-atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah kehancurannya?” Lalu, Allah mematikannya selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (kembali). Dia (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, (tetapi) lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang) dan Kami akan menjadikanmu sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging (sehingga hidup kembali).” Maka, ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Aku mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Jadi, Indonesia Emas 2045 atau penulis lebih suka menyebut sebagai Indonesia Mercusuar Dunia ialah keniscayaan/kehendak dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Takdir geopolitik Indonesia.
Inilah perspektif meta (fisika) filsafat membaca amandemen UUD 1945 dari tiga sifat peristiwa tadi yaitu bala, peringatan, dan ujian. Sebelum mengakiri catatan sederhana ini, penulis teringat ucapan Plato, Filsuf Yunani Kuno, bahwa:
“Tidak ada yang lebih dibenci daripada orang yang mengatakan kebenaran”.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com