Menarik sekali mencermati dinamika politik di Amerika Serikat (AS) pasca pemilihan presiden (pilpres) dan jelang inagurasi Joe Biden, presiden terpilih. Bahwa di ujung pengabdian selaku Presiden AS ke-45, langkah diplomasi Donald Trump terbilang out of the box dalam menggiring opini publik bahkan menyodorkan fetakompli (fait accompli) atas eksistensi Israel sebagai negara. Ini kerja dan aksi luar biasa. Apa pasalnya, bahwa banyak negara termasuk Indonesia selama ini menganggap Israel baru sebatas bangsa saja, bukan sebuah negara. Kenapa begitu, faktor perilaku geopolitik Israel terhadap negara tetangga terutama ekspansi ke Palestina yang mengundang protes dan kecaman publik khususnya dunia muslim. Dunia paham tentang hal itu.
Kuat disinyalir bahwa aksi Trump kali ini, barangkali merupakan manuver pamungkas agar ia terus melaju dua periode sebagai presiden. Inilah prolog sekaligus hipotesa catatan ini.
Sekurang-kurangnya, sudah empat negara di seputaran Jalur Sutra (Bahrain, Uni Emirat Arab atau UEA, Sudan, Maroko) mendukung fetakompli Trump. Apakah manuver Trump berhenti pada 4 negara di atas, atau terus menggelinding laksana snowball process yang kian lama bertambah besar? Yang jelas, no free lunch. Tidak ada makan siang gratis atas fait accompli tersebut. UEA misalnya, ia diizinkan membeli jet siluman F-35 buatan AS; atau Maroko kini mendapat dukungan AS atas berlarutnya konflik dengan Sahara Barat (Baca artikel: “Konflik Maroko Versus Sahara Barat: Pola Kolonialisme Melestarikan Wilayah Tak Bertuan di Jalur Sutra“). Entah nanti Bahrain dan Sudan. Memang belum ada publisitas, tetapi diyakini ada “kompensasi” juga dari Paman Sam sebagaimana dukungan terhadap UEA dan Maroko.
Pertanyaan menggelitik muncul, “Bagaimana dengan Indonesia?”
Tak pelak, Adam Boehler, CEO US International Development Finance Corp menyatakan, bahwa Indonesia akan diberi bantuan (investasi finansial) 2 Miliar US Dollar atau setara Rp 28,46 Triliun jika bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hal tersebut dipertebal oleh statement Trump, ia berjanji mengucurkan 2 Miliar Dollar untuk Indonesia bila bersedia melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.
Sebagai fenomena, hal ini cukup menarik. Kenapa? Jika merujuk hasil pilpres kemarin, kiprah Trump akan berakhir pada 20 Januari 2021 tatkala Joe Biden dilantik. Akan tetapi, semangat diplomasi Trump di ujung pengabdiannya sungguh menakjubkan. Sepertinya Trump punya keyakinan, meski tuntutan hukumnya berkali-kali ditolak, tapi Tim Penyelidik Kecurangan yang ia bentuk diharapkan mampu mengungkap kecurangan (klaim sepihak Trump) dalam pilpres 2020.
Kembali ke Indonesia. Terkait fetakompli di atas, Menlu Retno menyatakan:
(1) sejauh ini Indonesia tidak berniat membuka hubungan diplomatik dengan Israel;
(2) dalam isu Palestina, Indonesia tetap berpegang pada solusi dua negara dan parameter internasional lain yang telah disepakati. Untuk itu, Indonesia akan terus mendukung kemerdekaan Palestina.
Pertanyaan selidik bergulir: “Kenapa Indonesia ditawari hingga nilainya mencapai Rp 28,46 Triliun?”
Banyak hal sebenarnya. Namun satu dan lain hal, contohnya, selain memiliki leverage berupa geoposisi silang di panggung global, pasar potensial karena faktor demografi, sumber raw material dan lain-lain juga faktor negara muslim terbesar di dunia (the biggest moslem populated country). Agaknya, suara Indonesia cukup diperhitungkan dalam dinamika geopolitik global sehingga kompensasi —meski masih sebatas tawaran— terlihat lebih besar ketimbang negara lainnya.
Ada doktrin politik menyebut: “Tujuan menghalalkan segala cara” (Niccolo Machiavelli, 1469 – 1527). Kendati doktrin tersebut sempat menuai kritik dan protes sebab dinilai amoral, tetapi pada masanya toh dipraktikkan juga oleh para penguasa bahkan hingga sekarang (?).
Tujuan menghalalkan cara itu ibarat, fetakompli adalah ujud sikap antisosial. Betapa seseorang/negara dihadapkan atau dijebak untuk setuju atas apapun yang diinginkan pihak lain dengan standar sepihak. Dalam dunia catur istilahnya “skak mat”. Maukah Indonesia?
Ya. Kedaulatan negara itu kehormatan dan harga diri bangsa. Dalam geopolitik, ia kerap berupa bertambahnya ruang (living space) atau berkurangnya lebensraum.
Sepertinya, Indonesia tengah di persimpangan jalan. Menerima tawaran Trump berarti ekonomi agak menggeliat di tengah pandemi di satu sisi, sedang Palestina adalah negara yang kali pertama mengakui kemerdekaan Indonesia pada sisi lain. Jika fetakompli ditelan tanpa pertimbangan, maka ibarat air susu dibalas dengan tuba, kata pepatah. Shame on you. Kalau ditolak, bakal hilang investasi Rp 28,46 Triliun, tetapi Indonesia tegak berdiri penuh kehormatan sebagai bangsa dan negara.
Wait and see!
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments