Ngobrol Geopolitik dengan Ichsanuddin Noorsy di Tebb-Six Coffee, JakSel
Ada asumsi yang hingga kini masih berputar-putar di langit geopolitik global guna memperoleh jawaban, yaitu “Apakah pada internasionalisme Amerika Serikat (AS) terkandung nasionalisme predatoris AS?”
Ya, apa yang disebut “internasionalisme (politik) AS” ialah keterlibatan aktif AS dalam urusan global, pembentukan institusi internasional. Contohnya pada promosi nilai-nilai demokrasi/pasar bebas dan sebagainya. Sejatinya ia hanya rangkaian kedok atau cara untuk memajukan kepentingan nasional AS secara agresif dengan merugikan negara lain.
Berikut adalah rincian mengenai bagaimana argumen ini dikembangkan:
Internasionalisme sebagai Kedok
Definisi Internasionalisme AS ialah memandang dirinya sebagai pemimpin dunia yang menjamin stabilitas, mempromosikan demokrasi, menjaga keamanan, dan mendukung perdagangan bebas melalui institusi multilateral seperti PBB, WTO, NATO, dan lain-lain.
Itulah klaim dan dianggap sebagai justifikasi moral yang menutupi motif sebenarnya. Institusi dan perjanjian yang dibentuk pada dasarnya dirancang untuk mengabdikan diri kepada dominasi AS setelah Perang Dunia II.
Sifat Nasionalisme Predatoris
Artinya, bahwa kepentingan nasional AS (baik ekonomi, keamanan, maupun politik dan sebagainya) dipromosikan dengan cara yang agresif dan merusak, dan sering kali dengan mengorbankan negara lain.
Misalnya adalah:
- Dominasi Ekonomi (neo-kolonialisme). Sistem perdagangan bebas dan lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia) didorong oleh AS, akan tetapi menguntungkan perusahaan-perusahaan AS serta membuat negara-negara berkembang rentan terhadap eksploitasi dan utang;
- Penggunaan sanksi ekonomi sebagai alat kebijakan luar negeri dipandang sebagai bentuk pemaksaan ekonomi (koersi) untuk menghancurkan pesaing atau menundukkan negara yang tidak patuh;
- Intervensi Militer dan Keamanan. Dan kerap, atas nama “demokrasi” atau “melindungi hak asasi manusia” sering dinilai sebagai tindakan untuk mengamankan/mencaplok sumber daya (seperti minyak) atau menggulingkan rezim yang tidak bersahabat dengan kepentingan strategis AS sebagaimana kasus di Libya, Irak, Syria dan lain-lain;
- Kehadiran pangkalan militer AS di seluruh dunia dilihat sebagai alat untuk memprojeksikan kekuatan (show of force), bukan semata-mata menjaga perdamaian global;
- Proteksionisme Selektif. Meski AS mengadvokasi perdagangan bebas, namun ia tetap menggunakan proteksionisme (seperti tarif) ketika industri atau kepentingan strategis domestiknya terancam (seperti dalam kasus konflik dagang AS – Tiongkok). Ya. AS bermain dengan aturan ganda, bahkan dengan aturan bermuatan berlapis demi memenuhi ego keserakahannya.
Simpulan prematurnya, argumen tersebut menyatakan bahwa internasionalisme AS bukanlah bentuk altruisme global, melainkan bentuk agenda-politik tersembunyi (hidden agenda). Tujuan utamanya untuk memastikan keunggulan abadi AS dalam politik, militer, dan ekonomi global — sebuah agenda yang secara inheren bersifat predatoris terhadap negara-negara lain.
Aliansi Haram
Dalam geopolitik, berkembang istilah “Unholy Alliance” atau Tritunggal Haram. Dalam konteks keindonesiaan dapat diterjemahkan sebagai “Aliansi Busuk”, yaitu kritik yang sering digunakan untuk merujuk pada tiga institusi ekonomi global utama: IMF, World Bank (Bank Dunia), di mana IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) merupakan bagian darinya, dan WTO.
Kritik “Aliansi Busuk” muncul karena ketiga lembaga ini dipandang bekerja sama dan berbagi ideologi yang sama yaitu Neoliberalisme atau Konsensus Washington, yang intinya adalah mempromosikan kapitalisme korporat global. Ketiganya, alih-alih menjalankan mandat awal (stabilitas moneter, pembangunan, dan perdagangan yang adil), justru ketiga lembaga tersebut berfungsi sebagai “Polisi Keuangan” dengan cara:
- Memaksakan reformasi ekonomi (misalnya, privatisasi, deregulasi, pemotongan belanja publik) melalui pinjaman (khususnya IMF dan Bank Dunia), yang sering kali merugikan masyarakat miskin di negara berkembang;
- Membuka pasar di negara berkembang secara paksa (melalui aturan WTO) demi kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional dari negara-negara maju (terutama AS dan Eropa);
- Menyinambungkan ketidaksetaraan global antara negara kaya dan negara miskin.
Dengan demikian, sebutan “Unholy Alliance” atau “Aliansi Busuk” menegaskan bahwa kerja sama ketiga institusi ini secara efektif menjadi mesin dari nasionalisme predatoris AS (dan negara-negara Barat lainnya) dengan menggunakan klaim “internasionalisme” sebagai pembenaran untuk dominasi ekonomi global.
Demikian bacaan geopolitik tentang hubungan antara internasionalisme AS yang terkandung nasionalisme predatoris dengan Aliansi Busuk yang hingga kini terus menggejala sejak usai Perang Dunia II silam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments