Sebuah Sastra Kalabendu
Manakala fabrikasi narasi serta bombardir isu begitu masive diproduksi nyaris tanpa jeda, intinya adalah penggaduhan publik di hilir persoalan agar segenap anak bangsa abai terhadap permasalahan hulu yang memagut negaranya.
Insting geopolitik mengendus, bahwa ada agenda besar tengah digelar oleh asing beserta para proxinya di republik tercinta ini. Silahkan cermati dinamika narasi.
Di sini, geopolitik membaca bahwa agenda global tengah berproses. Pertanyaan selidiknya, “Apakah itu terkait skenario ‘kepunahan Indonesia’ —meski cuma sasaran antara— dalam desain besar menuju peperangan antara tiga raksasa global yaitu Amerika – Rusia – Cina pada tahun 2030 kelak seperti bunyi tesis PW Singer and August Cole dalam science fiction bertajuk Ghost Fleet (Armada Hantu)?
Waspadai hidden tik-tok games. Tersirat agenda agar kapitalisme semakin meraksasa di satu sisi, dan komunisme kian membesar di sisi lain. Jika terjadi konflik, ujungnya mogo botongo. Tiji-tibeh. Sebagaimana tesis Singer, punah. Ini tersamar pada narasi: “Berpura-pura ke kiri padahal ke kanan mentok; atau, pura-pura ke kanan sedang tujuannya ke kiri plus”. Ya. Unrestricted warfare alias peperangan tak terbatas berlangsung senyap berbasis persenyawaan hegemoni. Tanpa letusan peluru namun mampu merampas kehidupan.
Lantas, jika merujuk pada (segitiga) bandul politik: “Jogja adalah laborat, Jakarta hanya etalase, sedangkan Jawa Timur merupakan barometer,” maka melihat sikap para raja di lingkar bandul tersebut, kemungkinan keberangkatan “Bus Besar” akan dinegosiasi ulang. Entah batal atau ditunda, tidak ada jawaban pasti. Kapok. Armada Hantu sudah kepergok lalu dilucuti oleh massa.
Ini sekedar ungkapan sastra, katanya sich publik sudah jenuh dengan teori-teori dan dalil kaku yang cenderung text book.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
