Tampaknya, ada 2 (dua) perspektif yang menonjol dalam diskusi di publik terkait kebakaran yang melanda Los Angeles (LA), California, Amerika Serikat (AS). Pertama, faktor fisik. Kedua, nonfisik alias faktor spiritual.
Sebenarnya ada faktor ketiga yakni teori konspirasi yang mengatakan bahwa LA sengaja dibakar oleh kaum pemilik modal karena hendak didirikan Smart City di LA pada 2028-an, namun abaikan dahulu teori tersebut sebab terlalu mengada-ada. Lebay. Kita fokus pada dua perspektif di atas tadi, yakni fisik dan spiritual (nonfisik).
Kecenderungan sisi fisik membahas perihal kelalaian manusia dan faktor alam semacam efek rumah kaca, contohnya, atau “puntung rokok”, LA tengah dilanda kekurangan air, dan yang paling logis ialah faktor Angin Santa Ana, yakni jenis angin kering dan panas yang terjadi di wilayah barat daya AS, terutama di California. Angin ini terbentuk ketika udara bergerak dari wilayah pegunungan ke dataran rendah dan dipanaskan serta dikompresi saat turun. Angin Santa Ana dapat meningkatkan suhu udara dan menyebabkan kelembaban relatif rendah yang sering kali memicu kebakaran hutan. Angin ini juga dapat menyebabkan gangguan cuaca dan memengaruhi kualitas udara. Itu sisi fisik.
Sedangkan sisi spiritual selalu dikaitkan dengan azab-Nya, kenapa? Viral Donald Trump mengancam akan me-“neraka”-kan Gaza bila Hamas tak segera melepaskan tawanannya sebelum ia dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari nanti. Apa yang terjadi setelahnya? Usai Trump mengancam, tiga hari kemudian LA justru terbakar hebat laksana neraka!
Tak pelak, kedua perspektif tadi (fisik dan spiritual) bertarung di permukaan baik melalui elektronika, media mainstream, offline, khususnya pertarungan netizen dua pihak yang berseberangan di media sosial.
Catatan ini tidak membahas hal-hal yang sudah berserak di lapangan tentang kerugian material, misal, atau korban jiwa, ataupun tak hendak membandingan nasib Gaza dan LA dan lain-lainl. Namun, langsung menukik sesuai perspektif tulisan ini yakni musibah.
Ya. Dalam hidup dan kehidupan, apapun musibah —peristiwa yang menyedihkan— selalu berangkat dari empat hal alias faktor, antara lain:
1. Faktor kelalaian;
2. Azab;
3. Durhaka/kualat;
4. Faktor roh.
Secara umum, faktor pertama (kelalaian) adalah sisi fisik dan logika. Sedangkan faktor kedua (azab), ketiga (durhaka) dan keempat (faktor roh) ialah faktor nonfisik alias spiritual.
Ketika anak manusia atau sekelompok manusia tertimpa hal-hal menyedihkan seperti ditabrak mobil, atau rumahnya kebakaran, sakit, dan lain-lain biasanya selalu dihubungkan, “Wah, saya lagi diuji. Dapat ujian dari-Nya!”. Inilah perilaku dan sikap mengkambinghitamkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Sah-sah saja. Akan tetapi, tatkala ditelisik bahwa mereka lalai mematikan kompor, atau tidak hati-hati dalam menyeberang jalan, tapi Tuhan terlanjur dijadikan kambing hitam. Sikap ini menggejala pada “komunitas agamis” yang lebih mengkedepankan rasa daripada logika. Kenapa? Agama itu logika, tetapi logika belum tentu agama. Ada hukum sebab akibat, bahkan hukum tanda-tanda sebagai indikator yang dapat dikaji secara akal sehat. Dengan kata lain, selama tidak ada fenomena yang unik dan ganjil dalam hukum sebab akibat, atau tanda-tanda, sebuah musibah tak boleh digebyah-uyah sebagai “ujian-Nya”. Itu sikap mengkambinghitamkan Tuhan. Tak elok.
Pertanyaan pamungkas, “Dalam musibah di LA, adakah fenomena ganjil mendominasi sebagai penyebab dan tanda-tanda sebelum kejadian, saat kejadian dan sesudah kejadian?”
Nah, interaksi sebab akibat dan hukum tanda-tanda inilah yang perlu didiskusikan di publik untuk menarik kesimpulan tentang musibah di LA, California.
Terima kasih.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments