Sejak Presiden Donald Trump secara resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada Januari 2025 lalu, ia berulangkali menyerukan agar AS mengendalikan Greenland. Hanya sayangnya banyak kalangan pemerhati hubungan internasional kurang menaruh perhatian terhadap implikasi kebijakan luar negeri AS bukan saja terhadap Denmark sebagai sekutu AS yang tergabung dalam NATO, melainkan terhadap kawasan Eropa Barat pada umumnya.
Betapa tidak. Hingga kini Denmark masih tergabung sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), bahkan merupakan salah satu pendirinya. Selain anggota NATO, Denmark juga merupakan bagian integral dari Uni Eropa, dan merupakan salah satu aktor penting dalam penyusunan kebijakan pertahanan Uni Eropa.
Selain itu, isu tentang Greenland erat kaitannya dengan bagaimana strategi global dan kebijakan luar negeri AS memandang kawasan Arktik.
Belajar dari penyikapan kebijakan luar negeri Trump dalam berurusan dengan Ukraina maupun Meksiko, muncul satu pertanyaan krusial: apakah Trump masih berkomitmen untuk membangun hubungan luar negeri yang kosntruktif antara AS dan Denmark terkait Arktik, dengan tetap memelihara hubungan yang solid dengan sekutu-sekutu AS di Eropa Barat, atau jangan-jangan ini merupakan siasat Trump dengan memainkan langkah awal permainan catur geopolitik AS untuk meraup keuntungan dengan menguasai hak atas Sumber Daya Alam khususnya mineral, di kawasan Arktik.
Baca juga:
US Policies in the Arctic Are Changing but the Extent Remains to Be Seen
Seperti kita ketahui, hubungan AS-Denmark menjadi krusial lantaran Greenland termasuk dalam wilayah kedaulatan Denmark. Greenland meskipun merupakan wilayah semi-otonom yang menjadi bagian dari Kerajaan Denmark, tetapi memiliki otonomi yang luas dalam urusan dalam negeri.
Greenland merupakan pulau kaya mineral, dan lokasi geografisnya pun letaknya sangat strategis. Lantaran Greenland terletak di antara Samudra Arktik dan Samudra Atlantik, di sebelah Timur Laut Kanada. Secara geografis, pulau ini merupakan bagian dari benua Amerika Utara, namun secara politik dan budaya, ia memiliki hubungan erat dengan Eropa, khususnya Denmark.
Jika Trump memang serius punya ambisi geopolitik di Greenland, bukan saja hubungan AS dengan Denmark akan memburuk, bahkan bisa membawa implikasi berbahaya bagi prospek persekutuan AS dengan Eropa Barat di masa depan.
Namun di tengah-tengah banyak pertanyaan terhadap manuver politik luar negeri Trump dan apa agenda strategisnya dalam menggulirkan isu Greenland, ambisi geopolitik AS di Samudra Arktik memang cukup jelas dan nyata. Misalnya, di Arktik seperti di tempat lain, AS akan menolak kebijakan mitigasi perubahan iklim yang bertujuan untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan akan mendukung ekstraksi dan penggunaan bahan bakar fosil.
Maka seiring dengan perkembangan tersebut, nampaknya para “Pemangku Kepentingan Kebijakan Luar Negeri” baik yang saat ini secara langsung berpotensi terkena dampak buruk kebijakan luar negeri AS di kawasan Arktik, maupun negara-negara lain yang dalam kaitan kawasan Arktik tidak berkepentingan secara langsung, seperti negara-negara berkembang termasuk Indonesia, haruslah memantau dan memonitor formasi tim strategis yang ditempatkan Trump di kementerian luar negeri AS. Karena di tangan para pejabat eselon satu dan eselon dua kementerian luar negeri itu lah, yang akan memainkan peran dalam menentukan bagaimana AS akan bertindak di badan-badan internasional seperti Dewan Arktik, serta menentukan kepentingan AS dalam kebijakan-kebijakan yang terkait dengan Samudra Arktik – seperti regulasi pengiriman, polusi, atau penangkapan ikan.
Tugas Dewan Arktik sebagai forum utama kawasan tersebut, semasa berlangsungnya krisis Ukraina praktis tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adapun Negara-negara anggota Dewan Arktik adalah Kanada, Denmark (termasuk Greenland dan Kepulauan Faroe), Finlandia, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat.
Dengan bergabungnya Finlandia dan Swedia ke dalam NATO, tujuh dari delapan anggota Dewan Arktik tergabung juga dalam NATO. Kecuali Rusia yang tidak tergabung dalam NATO. Sehingga selama krisis Rusia-Ukraina sejak 2022, ketujuh negara anggota Dewan Arktik yang tergabung dalam NATO tersebut secara bersama-sama mengisolasi dan mengucilkan Rusia.
Sekali lagi, yang harus dicermati dari manuver AS adalah ambisi geopolitiknya di kawasan Arktik. Sejauh ini negara-negara anggota Dewan Arktik (kecuali Rusia) agar mendukung prakarsa penelitian berbasis sains dan kebijakan terkait lingkungan dan perubahan iklim. Akankah AS mengizinkan pekerjaan itu berlanjut?
Satu lagi isu strategis yang perlu kita cermati, akankah Trump mengakomodasi aspirasi masyarakat adat dan pribumi? Sebab dalam masalah Arktik, khususnya di Negara Bagian Alaska, penjangkauan dan penyertaan pandangan Masyarakat Adat memainkan peran penting dalam pengembangan dan implementasi kebijakan.
Pemerintah AS boleh saja menolak mendukung penelitian iklim di Arktik, tetapi itu tidak sama dengan menyangkal bahwa iklim sedang berubah dan karenanya memerlukan adaptasi lokal. Sekalipun pelepasan emisi karbon bukan fokus perhatian pemerintah AS, namun pemerintah federal mungkin mengakui perlunya mengatasi runtuhnya jalan dan bangunan di Alaska.
Oleh karena itu, Negara-negara Arktik perlu bersabar sementara berbagai kebijakan AS menjadi lebih jelas seiring perkembangan waktu. Karenanya seperti saya sampaikan tadi, kiprah dan manuver diplomatik para pejabat kunci kementerian luar negeri di Washington kiranya sangat berperan penting dalam mengajukan konsep-konsep kebijakan mereka kepada Gedung Putih tentang beberapa topik ini dengan harapan dapat memengaruhi perumusan posisi kebijakan luar negeri AS yang lebih jelas dalam beberapa bulan mendatang.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)