Pokok-Pokok Pikiran (Geopolitik) ala Barat
Sebelum membahas pokok pikiran geopolitik ala Barat, perlu dicermati terlebih dahulu dua isu aktual di panggung global, antara lain:
Pertama, ada pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik sehingga abad ke-21 disebut sebagai “Abad Asia Pasifik”;
Kedua, ajuan anggaran 3 triliun dolar oleh militer AS guna ‘melawan Cina’ disetujui oleh Joe Biden.
Ya. Meski banyak cara pandang dan pemikiran geopolitik, dalam telaah ini — penulis ingin menyampaikan tujuh pokok pikiran (geopolitik) ala Barat dalam membaca konflik di Myanmar.
Adapun pokok pikiran dimaksud antara lain sebagai berikut: 1) teori ruang (living space) atau lebensraum; 2) teori adu kekuatan; 3) teori ras; 4) hukum yang menentukan takdir suatu bangsa; 5) geografi sebagai sarana untuk membenarkan ekspansi; 6) economically integrated large space areas theory (wilayah yang terintegrasi secara ekonomi); 7) frontier.
Bahwa konsep dasar teori ruang (lebensraum) ala Barat —ini inti geopolitik— cenderung ekspansif sebagai kebutuhan biologi. Manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup. Hal itu sah-sah saja, karena dalam geopolitik — negara selaku organisme (biological necessity in the lives of state) yang lahir, berkembang, menyusut dan mati. Nah, konflik Myanmar merupakan benturan antar – lebensraum yang dikembangkan baik oleh Cina maupun AS melalui masing-masing proxi. Dalam hal ini, (asumsi) junta militer ialah proxi Cina pada satu sisi, sedang Aung Sun Suu Kyi merupakan proxi AS di sisi lain.
Tanpa mengecilkan peran ASEAN yang telah bersidang dan menelorkan butir-butir kesepakatan di Jakarta kemarin, kemungkinan niat menyelesaikan konflik di Myanmar bakal menemui jalan buntu. Mengapa begitu? Selain Piagam ASEAN menyuratkan kebijakan non-intervensi terhadap urusan internal di antara sesama anggota, juga sebenarnya — ASEAN itu sendiri terbelah. Ya. Sebagian anggota ikut Commonwealth (Barat), sebagian berafiliasi ke Cina melalui Belt and Road Initiative (BRI) atau sebelumnya dikenal dengan istilah One Belt One Road (OBOR).
Retorikanya begini, “Sedang PBB yang memiliki otoritas lebih luas lagi kuat serta mampu menekan melalui resolusi tak digubris oleh Myanmar, apalagi ASEAN?”
Sekali lagi, itulah ujud (teori) adu kekuatan, perebutan kekuasaan atau penguasaan posisi dan dominasi yang digelar kedua adidaya di Myanmar. Istilahnya “proxy warfare” dalam arti kurusetra (war theatre) alias medan tempur.
Asumsi berikutnya ialah teori ras. Bahwa berbasis bakat, sifat potensi bangsa atau ras tertentu di suatu bangsa dianggap berhak memimpin bangsa lain. Hal ini pernah dilakukan Hitler sehingga menjadi faktor penyebab Perang Dunia II. Dan tampaknya, Cina mengembangkan dogma leluhurnya “Chungkuok Tianshi” —Cina di bawah langit. Hanya Cina di bawah langit, semua negara di bawah Cina— pada satu pihak, sedangkan Paman Sam mengamalkan ‘teori polisi dunia’ di pihak lain. Dan lagi-lagi, ini juga bentuk benturan teori (ras) kedua adidaya di panggung geopolitik global.
Hukum-hukum yang menentukan takdir suatu bangsa atau negara (deterministik) dan (seolah-olah) berdasarkan the fulfilment of the will of providence. “Memenuhi suruhan Tuhan”. Hanya bangsa unggul yang mampu bertahan hidup serta langgeng dan melegitimasi hukum ekspansi, kata Frederich Ratzel. Buktinya mana? Diabaikannya Rezim UNCLOS 1982 oleh Cina via nine dash line di Laut Cina Selatan (LCS), misalnya, merupakan bukti riil atas teori Ratzel. Ya. Cina merasa sebagai bangsa unggul sehingga melegitimasi (hukum) ekspansi di LCS.
Dan menyoal ekspansi, petualangan militer Paman Sam hampir tak terhitung di muka bumi. Hanya saja ia memakai (geo) strategi melalui isu-isu seperti HAM, misalnya, demokrasi dan seterusnya sehingga seolah-olah tindakannya benar secara hukum (internasional). Ibarat permainan biadab namun dilakukan dengan tata cara (seolah-olah) beradab.
Geografi sebagai sarana untuk membenarkan agresi atau ekspansi. Kenapa? Secara geografi, wilayah Cina (menyatu) dengan Myanmar dan hampir tidak terpisahkan baik oleh lautan, lembah, maupun gunung-gunung. Ini menjadi alasan kuat Cina untuk mengkooptasi Myanmar secara geografis.
Teori economically integrited large space areas (wilayah yang terintegrasikan secara ekonomis). Hal ini juga pengembangan teori di atas, bahkan langsung mengarah kepada substansi (geoekonomi).
Pembenaran dalam the principle of geographical unity. Dalam argumen dan proponennya memeluk geographical determinisme dan konsep geopolitik yang kabur tentang natural frontiers. Dan tak boleh disangkal, dalam praktik serta implementasi geopolitik — para pihak kerap berupaya mempertebal atau justru mempertipis frontier karena tidak diantisipasi. Inti frontier ialah sejauhmana pengaruh asing di perbatasan, dan sejauhmana kepentingan nasional para pihak terpenuhi. Frontier dibuat kabur karena para pihak tidak konsisten untuk semua bangsa dan keadaan serta hanya menguntungkan pihak sendiri. Dalam hal ini, Cina di satu sisi dan AS pada sisi lain — sama-sama ingin melebarkan serta meluaskan frontiernya di Myanmar.
Sampailah pada simpulan tulisan ini, antara lain sebagai berikut:
1. Hakiki konflik di Myanmar ialah perang perpanjangan tangan (proxy war) antara Cina versus AS melalui masing-masing proxi untuk akses ke energi;
2. Kiprah PBB apalagi ASEAN pada konflik tersebut, kemungkinan besar tidak akan berjalan optimal atau formalitas belaka;
3. Kemungkinan besar, konflik Myanmar akan terus berlarut sebagaimana peperangan di Syria yang sudah berlangsung 10-an tahun, kenapa? Berbanding lurus dengan pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik di abad ke-21, agaknya tersirat pula perpindahan “medan tempur” dari Timur Tengah cq Syria ke ke Asia Pasifik cq Myanmar, sementara para pengendali konflik di balik layar tidak berubah/sama.
Demikian telaah singkat berbasis pokok-pokok pemikiran geopolitik ala Barat ini diakhiri. Tidak ada maksud menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak-pihak berkompeten melainkan sekedar sharing pengetahuan serta berbagi analisis.
Apa boleh buat. Selain terbentur waktu, sedikit referensi, terbatasnya kemampuan penulis, juga telaah ini masih jauh dari akurasi atas hakiki peristiwa. Kritik dan saran akan kami perlukan guna perbaikan materi agar kajian ini mendekati kebenaran.
Demikian, terima kasih.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments