Membaca Konflik Suriah Dari Perspektif Arab Spring dan Stigma Bergerak

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil Proxy War di Suriah

Membaca larinya Bashar al-Assad ke Moscow, Rusia dan kemenangan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah, harus dilihat dari beberapa perspektif:

1. Kronologi Arab Spring semenjak ia bersemi di Tunisia (2010);

2. Teori “Stigma Bergerak” mulai dari isu al Qaeda – ISIS – Jabhat al-Nusra, dan terakhir isu HTS;

3. Strategi Proxy War alias perang perpanjangan tangan melalui pihak ketiga.

HTS inilah yang dianggap sukses menumbangkan Rezim Assad di Suriah setelah bercokol sekitar 50-an tahun apabila dihitung dimulai dari kekuasaan Hafez al-Assad —ayah dari Bashar al-Assad— sejak 22 Februari 1971.

Tanpa melihat dari tiga perspektif di atas, jika kurang cermat, selain bisa keliru dalam membaca kondisi yang terjadi di permukaan, publik juga dapat terjebak dengan apa yang disebut false flag operation (operasi bendera palsu) atas nama turbulensi geopolitik.

Sekilas Kiprah Arab Spring

Kita mulai dari Arab Spring atau Musim Semi Arab alias Kebangkitan Dunia Arab.

Tak bisa dipungkiri, Arab Spring merupakan peperangan asimetris (perang nirmiliter) atau asymmetric warfare yang digelar oleh Barat di Jalur Sutra (khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara) sejak 2010 hingga awal 2012-an melalui gerakan massa. Jadi, dalam gerakan tersebut tidak ada letusan peluru, tanpa asap mesiu. Ya. Arab Spring bertujuan ganti rezim di jajaran Jalur Sutra.

Gerakan Arab Spring dimulai sejak 18 Desember 2010 di Tunisia kemudian merambat ke Mesir, Libya, Bahrain, Suriah, Yaman, Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Oman, Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, Sahara Barat dan lainnya. Gerakan tersebut bergerak secara simultan dengan intensitas —besar dan kecilnya— berbeda.

Apa dan bagaimana ouput dari Arab Spring di Jalur Sutra?

Singkat kata, gelombang protes di Tunisia dinamai media massa sebagai Revolusi Melati. Ia meletus karena dipicu aksi bakar diri Mohamed Bouazizi (26 tahun) terhadap sikap pejabat setempat. Massa pun bergerak sistematis dan masif. Tak pelak, aksi ber-isu-kan kemiskinan, korupsi, kebebasan dan demokrasi tersebut mampu memaksa Zine al-Abidine Ben Ali, Presiden Tunisia, mundur dan lari ke luar negeri (14 Januari 2011).

Ketika Revolusi Melati merambat ke Mesir, ia mampu menumbangkan Presiden Husni Mubarok yang telah berkuasa 30 tahun. Sukses di Tunisia dan Mesir, gelombang massa (Arab Spring) berlanjut ke Yaman, Bahrain, Libya, Suriah pada Januari, Februari dan Maret 2011.

Tidak semua metode gerakan massa berjalan sukses, meski di Yaman juga mampu menjatuhkan Presiden Ali Abdullah Saleh, lalu diganti oleh Wakil Presiden Abdullah Rabbuh Mansur Hadi. Tak pelak, peristiwa di Yaman itu mirip kasus 1998 di Jakarta, dimana Pak Harto lengser oleh gerakan massa kemudian digantikan Pak Habibie. Bahkan ada pendapat bahwa gerakan massa di Jalur Sutra itu meniru gerakan reformasi di Jakarta.

Balik ke Jalur Sutra. Tatkala Arab Spring tiba di Libya, Suriah dan beberapa negara lain, namun dianggap gagal karena selain kurangnya respon rakyat, juga kemampuan pemerintah setempat mengendalikan aksi unjuk rasa.

Gagal melalui gerakan massa, khusus di Libya dan Suriah, tensi gerakan dinaikkan oleh Barat menjadi manuver bersenjata alias pemberontakan sipil. Nah, pada peristiwa tersebut terlihat perbedaan kepemimpinan antara Muammar Khadafi dan Bashar al-Assad. Pada konteks ini, Bashar mampu “mengayun” pemberontakan sipil hingga konflik berlarut sampai tiba kejatuhannya (2024) tetapi tanpa melalui resolusi PBB, sedangkan Khadafi jatuh akibat resolusi PBB. Ia terpancing dalam menghadapi pemberontakan sipil dengan mengerahkan mesin-mesin perang modern.

Di sinilah blunder Khadafi. Bombardir mesin perangnya dinilai sebagai pelanggaran HAM. “Tidak seimbang antara aksi dan reaksi.” Atas dasar laporan puluhan NGO Libya yang berafiliasi ke Barat, terbitlah Resolusi PBB Nomor 1973 tentang No Fly Zone. “Zona Larangan Terbang”. Namun, praktiknya justru bombardir NATO terhadap Libya hingga luluh lantak. Dunia diam membisu. Khadafi dinyatakan “tewas”, kekayaannya di luar negeri dibekukan (entah kini dimiliki siapa), sumber daya alam (SDA)-nya menjadi bancaan asing, dan Libya sekarang seperti negara tak bertuan.

Pertanyaan lebih dalam ialah, apa hakiki Arab Spring di Jalur Sutra?

Singkat kata, ia sejenis Revolusi Berwarna (Color Revolution) yang pernah terjadi di Semenanjung Balkan atau istilahnya Balkanisasi. Meski Balkanisasi itu sendiri merujuk pada:

1. Pecahnya Kekaisaran Ottoman setelah Perang Dunia I; dan

2. Pecahnya Yugoslavia dari 1991 hingga 1992.

Namun, kita bahas topik balkanisasi pada sesi lain. Terlalu panjang. Sekarang kita bahas soal Stigma Bergerak sebagaimana clue dalam tulisan ini.

Stigma Bergerak dan Kiprahnya

Memang belum ada definisi dan keterangan text book tentang “Stigma Bergerak”. Maka ia perlu realita kasus, sedikit pendalaman, dan contoh peristiwa, misalnya, Irak di era Saddam Hussen silam (2003). Sebelum diserbu oleh koalisi militer Barat pimpinan Amerika Serikat (AS), ia dituduh “menyimpan senjata pemusnah massal.” Katakanlah, ini isu permulaan atau stigma pertama terhadap Irak yang dituduhkan AS.

Ketika isu senjata pemusnah massal tidak terbukti, namun Irak terlanjur porak-poranda, stigma pun berubah menjadi isu “menegakkan demokrasi.” Nah, ini stigma alias isu kedua.

Dan setelah Saddam dihukum gantung lalu pemerintah Irak dalam kendali koalisi militer asing, stigma pun berubah menjadi “menjaga stabilitas”. Ini isu ketiga atau terakhir.

Gambaran perjalanan atau perubahan stigma mulai isu pertama (senjata pemusnah massal), isu kedua (menegakkan demokrasi), hingga isu terakhir (menjaga stabilitas) disebut: “Stigma Bergerak”. Isu tersebut bergerak menyesuaikan situasi dan kondisi terbaru di negara target.

Demikian pula dengan apa yang terjadi di Syria kini. HTS itu isu paling terakhir setelah stigma permulaan yakni isu al-Qaeda “kalah” dalam peperangan di Afghanistan (2001-2011) dimana gembong teroris Osama bin Laden dinyatakan “tewas” diserbu Navy Seal, pasukan elit AS, di Pakistan. Secara tersirat, War on Terrorism dinyatakan tutup buku oleh Barat. NATO ditarik dari Afghanistan.

Bubarnya al-Qaeda tidak serta merta selesai, ia pun berganti kelamin menjadi ISIS di bawah komando Abu Bakr al-Badaghdadi; namun, ISIS pun kalah dalam proxy war di Suriah dan kemudian mlungsungi menjadi Jabhat al-Nusra; dan terakhir Jabhat al-Nusra berganti menjadi HTS yang mampu menjatuhkan Bashar al-Assad sehingga Assad lari ke Moscow, meminta suaka politik.

Selanjutnya, antara keempat isu di atas (al-Qaeda, ISIS, Jabhat al-Nusra dan HTS) sebenarnya serupa tetapi tak sama. Serupa dalam hal pola, tidak sama pada modus dan aktornya. Lalu, apa target dan motif stigma bergerak tersebut? Satu kata: Minyak!

If you would understand world geopolitics today, follow the oil,” kata Deep Stoat, salah satu pakar strategi AS. Bila ingin memahami dunia geopolitik hari ini, ikuti kemana minyak mengalir. Atau, kata Guilford: “When it comes to oil 90% about politics, 10% is about oil itself“.

Retorika filosofi dalam ujung catatan ini ialah, “Seandainya Suriah hanya penghasil kurma dan nasi kebuli, apakah mungkin stigma bergerak ada (being), nyata (reality) dan berperan (existence) di negeri lintasan pipa minyak dan gas (geopolitical pipeline) antarnegara tersebut?”

Inilah sedikit ulasan singkat tentang proxy war di Suriah. Let them think, let them decide. Siapa pemenang dan siapa kalah dalam perang proksi di Suriah korbannya adalah rakyat Suriah.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com