M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Pernyataan Connie Rahakundini Bakrie (8/8/2012), pengamat militer dari Universitas Indonesia (UI) sekaligus Direktur EksekutifInstitute of Defense and Security Studies (IODAS) menarik disimak. Ia menilai, pergeseran kekuatan militer Amerika Serikat (AS) ke Asia Pasifik bukanlah hal sederhana. Bisa jadi 8 tahun ke depan, “perang” perebutan sumber daya alam dan jalur perdagangan akan beralih ke kawasan ini. Indonesia harus menyiapkan diri untuk menghadapinya!
Demikian pula dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit pun mengisyaratkan hal yang sama, bahwa akan terjadi geopolitical shift atau pergeseran geopolitik dari Jalur Sutra (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) menuju Laut Cina Selatan. Singkat kata, konflik bakal bergeser di Laut Cina Selatan!
Geopolitik Global Bergeser
Di satu sisi, Connie melihat arah “pergeseran” tersebut bermula atas pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Leon Panetta bahwa 60% kekuatan militer dan armada laut AS akan dipindah ke Asia Pasifik mulai 2012 hingga 2020, sedang geliat Paman Sam ialah perluasan (penguatan) pangkalan militer di Asia Pasifik seperti Diego Garcia, Christmas Island, Coco Island, Darwin, Guam, Subic, terus berputar hingga ke Malaysia, Singapore, Vietnam hingga kepulauan Andaman, Nicobar dan lainnya.
Tapi di sisi lain, GFI justru melihat geopolitical shift dari beberapa fakta, antara lain:
Pertama: Isu dan tema sentral atau “pembenaran ideologis” yang ditebar oleh Barat bukan lagi masalah kemiskinan dan korupsi yang merupakan bahan utama pergerakan massa (Arab Spring) di Tunisia, Yaman, Mesir, dan lain-lain. Atau soal demokratisasi dan kejahatan kemanusiaan sebagaimana ia stigmakan pada Suriah dan Libya. Tidak pula isu nuklir guna memprovokasi dunia untuk mengucilkan Iran dan lainnya. Isue pokok konflik Laut Cina Selatan kini bertema “sengketa perbatasan”. Inilah titik kritis (achilles) yang menjadi isu pergerakan para adidaya karena mudah diletuskan jadi konflik terbuka dalam rangka merebut skema baru dominasi, atau meraih kembali hegemoni yang mulai menurun, atau bahkan tata ulang kekuasaan di tingkat global;
Kedua: Aktor-aktor pagelaran di Laut Cina Selatan tidak lagi antara Iran dan aliansi versus AS dkk, tetapi berubah antara Cina Cs melawan AS dan sekutu. Sedang yang dimaksud dengan “sekutu Uncle Sam” disini bukanlah melulu kelompok Barat, “sekutu” dimaksud justru banyak dari kalangan negara Asia yang selama ini dalam orbit Paman Sam, terutama Commonwealth, atau jajaran negara persemakmuran bekas jajahan Inggris, dll. Itulah garis besar mapping konflik di Laut Cina Selatan kelak;
Ketiga: Anjuran “tindakan seragam” oleh Leon Panetta kepada Menhan se-ASEAN boleh dimaknai provokatif. Artinya agar negara-negara yang tengah bersengketa masalah perbatasan silahkan bersatu “mengeroyok” Cina, dan AS selaku “Polisi Dunia” akan mem-back up dengan kekuatan 60% armada laut. Jangan khawatir, sistem pertahanan rudal pun tengah dipersiapkan. Itulah bacaan tersirat anjuran “tindakan seragam” terhadap ASEAN dalam menyelesaikan soal sengketa batas di Laut Cina Selatan;
Keempat: Bagi AS dan sekutu, perpindahan lokasi konflik dari Jalur Sutra ke Laut Cina Selatan seperti mengulang modus kolonialisme “Utang Dibayar Bom” sewaktu AS dan NATO mengeroyok Libya berbekal Resolusi PBB No 1973 tentang Zona Larangan Terbang. Artinya utang AS kepada Cina sebesar US$ 1,107 triliun kelak bakal bernasib sama seperti utang Barat kepada Libya. Entah siapa pemenang dalam pertempuran nanti, niscaya tidak akan terbayar atau dikemplang.
Sabang dan Terusan Kra: Geopolitical Leverage!
Manakala Indonesia menggabungkan beberapa pulau seperti Jawa-Madura (Suromadu), atau sebagaimana rencana menyambungkan Jawa-Sumatera (Jembatan Selat Sunda/JSS), atau Sumatera-Malaysia (Jembatan Selat Malaka/JSM) dan lainnya. Tampaknya rencana Thailand jauh lebih prestisius dibanding Indonesia oleh karena hendak menyatukan dua jalur perairan internasional yaitu Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan melalui sebuah kanal (terusan) yang membelah daratan. Luar biasa. Kemungkinan hasrat Thailand terinspirasi oleh Terusan Suez di Mesir yang memangkas serta menyatukan Laut Merah dengan Laut Mediterania.
Dan agaknya ia tak main-main, anggaran 21,2 milyar US Dollar disiapkan guna pengerukan kanal. Inilah rencana proyek Terusan Thai. Atau sering orang menyebut sebagai Terusan Kra, atau Terusan Tanah Genting Kra yang dilewatkan via kanal pada (leher) teritorial tersempit di Semenanjung Malaka, Thailand Selatan.
Wacana ini sebenarnya begulir sejak tahun 1677-an zaman Raja Thai Narai. Sebuah ide gila membangun jalan air antara Songkhla dengan Marid (sekarang Myanmar). Terusan Kra sudah lama diharap menjadi “Terusan Suez”-nya Asia yang menghubungkan jalur perairan antara Barat dan Timur, namun teknologi tempo doeloe belum mumpuni untuk proyek semacam itu.
Terusan Kra atau “Terusan Suez”-nya Thailand dinilai mampu memangkas jarak sekitar 612 mil antara Laut Cina Selatan dengan Lautan Hindia dimana rute sebelumnya melalui Selat Malaka. Dapat dibayangkan ekonomi Singapore nanti bila kanal ini beroperasi karena selama ini, terutama “kehidupan”-nya bergantung kepada selat tersebut. Roda ekonomi Singapore niscaya menurun bahkan cenderung bangkrut sebab 50% pelayaran internasional dari 50-an ribu kapal per tahun, sedikit demi sedikit diperkirakan beralih dari Selat Malaka ke Terusan Kra karena jalur lebih pendek.
Secara politis, Singapore dkk pasti menolak keras proyek tadi. Sinyalir pun bergulir, selain melalui berbagai cara ia akan berusaha menghalangi dengan power ekonomi, atau upaya-upaya lain, juga tak boleh diabaikan ialah pergolakan (politik) rakyat hingga kini yang ingin memisahkan diri di Thailand Selatan diduga tak lepas dari “peran dan campur tangan” Negeri Paman Lee agar proyek tadi gagal dengan alasan situasi tidak kondusif.
Ya, pola kolonialisme di muka bumi mengajarkan, bahwa konflik terjadi baik sifatnya vertikal maupun horizontal seringkali “diciptakan” dalam rangka melindungi kepentingan politik yang lebih besar. Catatan terdahulu (baca: Mencermati Kesamaan Karakter Kolonialisme antara Pola Simetris dan Asimetris di www.theglobal-review.com), munculnya konflik dalam pola asimetris (non militer) sebenarnya cuma “tema” belaka, karena terdapat hidden agenda yakni “skema” besar yang ingin diraih. Konflik hanya sekedar deception atau penyesatan, atau sekedar pengalihan perhatian semata. Istilah yang berkembang di forum diskusi terbatas KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Inilah salah satu trik dan metode kolonialisme. Seolah-olah kesana padahal kesini. Seakan-akan ke utara tapi selatan yang dituju!
Tatkala memotret konflik suatu wilayah —contohnya separatisme Thailand Selatan— melalui asumsi ‘konflik lokal merupakan bagian dari konflik global’. Artinya wilayah konflik hanya sebagai proxy war saja —semacam medan perang— karena hakiki yang bertempur ialah (kepentingan) para adidaya dunia. Hipotesa nakal pun menyeruak, jangan-jangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulu justru “diotaki” oleh Singapore agar pelabuhan Sabang tidak beroperasi, padahal Bung Karno via Perpres No 22/1964 serta UU No 10/1965 telah menetapkan Sabang sebagai free port untuk kurun waktu 30 tahun berikutnya?
Asumsi kian menebal, jika Sabang menjadi pelabuhan internasional maka Singapore bakalan “sepi” pengunjung. Manakala Orde Baru membekukan status Sabang akibat muncul GAM, maka asumsi tadi seperti berputar-putar di langit-langit Aceh dan negeri sebelahnya. Demikian juga di era Gus Dur, ketika pemerintah menerbitkan UU No 37/2000 guna memberlakukan kembali Sabang menjadi kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, tetapi dalam praktek malah kembang-kempis. Hidup segan mati tak mau. Para elit seperti diberi “paket mainan” ala DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan), kebebasan, korupsi dan lain-lain sehingga asik berhura-hura politik sehingga proyek strategis bangsa dan negara pun terlantar.
Lagi-lagi, retorika menggelitik muncul di permukaan, kenapa konflik vertikal di Aceh dan di Thailand Selatan berpola sama yakni ingin memisahkan diri (separatisme)? Jangan-jangan kedua konflik itu sengaja dibuat? Jangan melihat apa yang terjadi tapi tengoklah mengapa ia terjadi. Tidak ada peristiwa tergelar secara kebetulan di dunia ini, bahkan daun jatuh pun bukannya ujug-ujug namun lewat sebuah ‘proses’. Artinya jika kita cermati lebih jeli, bahwa pola-pola konflik apapun benang merahnya akan terlihat sama dan berulang, hanya kemasan, metode, waktu serta tempat yang berbeda.
Tulisan tak ilmiah ini bukan kebenaran, apalagi bermaksud membenarkan diri. Masih sangat terbuka untuk kritik dan saran. Sekali lagi, catatan ini sebatas opini atas kajian global berbasis fakta dan data-data sekunder yang berserak di dunia maya. Silahkan ditanggapi sebagai bahan masukan, terutama bagi Kepentingan Nasional RI yang kini agak terpinggirkan terkait geopolitik.
Terimakasih
Bacaan dan Referensi:
1) The Global Review, The Journal of International Studies Quarterly, 2, Januari 2013: Merobek Jalur Sutra Menerkam Asia Tenggara;
2) Bonnie Setiawan,Terusan Kra: Apa Artinya bagi Kawasan Ekonomi Khusus Batam-Bintan-Karimun dan Sabang? http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=275&Itemid=166, 20 April 2009, Global Justice Update, Tahun ke-7, Edisi 1 Maret 2009
3) http://pule-tayu-com.blogspot.com/2011/07/ngomong-soal-terusan-thailand-kra-canal.html
4) http://republik-tawon.blogspot.com/2012/02/sejarah-konflik-berdarah-di-thailand.html
5) Josephus Primus, Kekerasan di Thailand Selatan Belum Usai, Kompas.com, 30 Januari 2012 |http://internasional.kompas.com/read/2012/01/30/17514652/Kekerasan.di.Thailand.Selatan.Belum.Usai
6) 8 Tahun Lagi, Perang Beralih ke Asia Pasifik, Connie Rahakundini Bakrie, Politik Indonesia, http://www.politikindonesia.com/index.php?k=wawancara&i=36758-Connie:%208%20Tahun%20Lagi,%20Perang%20Beralih%20ke%20Asia%20Pasifik
7) Pointers dalam diskusi BBM terbatas di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo, 18 Februari 2013.