Di tengah pesimisme sebagian anak bangsa atas karut-marut situasi dan kondisi negara akibat paham individualis, liberal, dan kapitalisme yang diakomodir dalam konstitusi (UUD NRI 1945 Produk Amandemen), saya tetap yakin dan optimis bahwa kelak bangsa ini akan meraih kembali kejayaannya ditandai dengan pencanangan Indonesia Emas 2045 dalam RPJPN 2025-2045.
Kenapa demikian?
Ada faktor-faktor yang membuat saya sangat yakin dan tetap optimis, antara lain sebagai berikut:
Pertama: Faktor Alam/Adat
Tak dapat dipungkiri, bahwa adat istiadat itu ada karena kenyataan alam. Contoh, di desa ada ruwat desa seperti doa, wayangan, ritual tertentu dan lainnya. Secara ontologi, alam akan mencari keseimbangan. Niscaya ada normalisasi hubungan. Ini bukan klenik, atau perdukunan, tetapi sisi metafisika. Hal yang hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Inilah yang kerap diabaikan pada era kini atas nama modernisasi. Tentang musim misalnya, lazimnya kemarau itu tanggal 23 Maret hingga 22 September, dan musim hujan berlangsung 23 September sampai 22 Maret. Namun, sekarang tak mampu diprediksi, bahkan sulit dideteksi. Gilirannya petani kebingungan akibat musim yang tak jelas. Mau tandur padi khawatir muncul kemarau, ingin menanam sayur-mayur takut datang banjir. Jangankan petani, petugas BMKG pun kerap bingung soal prakiraan cuaca. Begitu pula air, atau arus angin. Ada ancaman banjir yang berasal dari naiknya air laut, dan lain-lain.
Hal tetsebut merupakan bukti bahwa alam pun bisa “berbuat” bila ia tersinggung. Adapun poin yang bisa ditarik adalah, janganlah sekali-kali mengabaikan alam dan adat dalam setiap kebijakan, apalagi kebijakan yang strategis.
Kedua: Faktor Orang Tua/Ahli Doa
Dulu, di Arab pernah terjadi kemarau sangat panjang. Seluruh ahli doa sedunia berkumpul guna meminta hujan, namun gagal. Hujan tidak kunjung turun. Lantas dicari apa masalahnya? Ternyata kurang satu, yakni ahli doa asal Indonesia. Lalu, didatangkanlah ahli doa dari Indonesia. Ketika ‘orang tua’ Indonesia berdoa, ahli-ahli dunia lain hanya mengamini. Luar biasa, seketika hujan pun deras membasahi Bumi Arab. Nah, betapa hebatnya ahli doa/orang-orang tua Indonesia.
Bahkan kemarin, tatkala acara 17-an di IKN pun membutuhkan pawang hujan. Konon dibayar mahal. Maka jangan sampai tidak memperhatikan ahli doa/orang tua pada setiap kebijakan publik. Indonesia itu gudangnya ahli doa.
Ketiga: Orang Mati Sahid/Para Syuhada itu “Tidak Mati”
Sekali lagi, ini juga bukan klenik, sihir, dongeng, ataupun mitos. Referensinya jelas bahwa orang mati sahid/para syuhada itu masih hidup. “Mereka hidup di sekeliling kita”. Rujukannya sahih yakni QS Al Baqarah 154, Ali Imran 156 dan 189 (silakan googling). Mungkin, tentara Israel sudah mengenal serta memahami kiprah ‘tentara putih’ pada beberapa wilayah konflik di Gaza. Atau, pasukan NATO pimpinan Amerika juga telah mengenalnya sewaktu invasi militer di Irak dan Afghanistan (2001 – 2021) yang berujung ‘balik kucing’. NATO mundur dari medan pertempuran.
Keempat: Murka Tuhan
Ketika kezaliman, ketimpangan, dan ketidakadilan telah merajalela. Rakyat teraniaya. Tatkala doa-doa para sufi melangit di awang-awang, niscaya azabNya bakal turun. Tak boleh disangkal, dunia mengakui the Ten Commandments. Sepuluh perintah Tuhan yang diterima Nabi Musa guna menenggelamkan Fir’aun. Atau secara histori religi, kita membaca kisah umat Luth yang diazab Tuhan karena terang – terangan melegalkan homoseks; atau, cerita banjir bandang di era Nabi Nuh akibat umatnya melampaui batas dan seterusnya.
Sekali lagi, saya sangat optimis terhadap hal-hal metafisika terkait 4 (empat) faktor di atas. Itulah beberapa contoh metafisika geopolitik di Bumi Pertiwi. Masih banyak hal lainnya, bahkan sangat dahsyat.
Makanya, hay Amerika! Jangan bersiul-siul dahulu melalui hard power dan soft power-mu. Juga, kau Cina! Jangan berdendang dulu dengan “Kuda Troya”-mu.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments