Membaca Operasi Senyap ala Inggris di Balik Terpidana Mati Bali Nine

Bagikan artikel ini

Masih soal kontroversi Bali Nine. Sebenarnya Australia mendesak dibatalkannya eksekusi hukuman mati warganya yang terpidana kasus narkoba sudah pada tingkat yang tidak wajar. karena sepertinya sudah pada taraf ngotot dan ngancam-ngancam segala, sehingga jadi tanda tanya. Apa benar yang mau dieksekusi ini memang murni pelaku kejahatan narkoba, atau jangan jangan agen intelijen Australia yang kebuka kedoknya dalam sebuah operasi rahasia.

Sebab gejalanya itu sampai segitunya Australia mendesak warganya untuk dibatalkan hukuman matinya. Kalau soal desakan untuk mengubah hukuman mati, sebenarnya Indonesia juga sering. Tapi kan soal TKI yang biasanya meski ujungnya terkena kasus pembunuhan, tapi pemicunya juga akibat penindasan oleh majikan-majikannya di tempat kerjanya.

Tapi dalam kasus Bali Nine, ini kan kasus narkoba, yang di negerinya sendiri ini merupakan kejahatan kategori serius. Baik terkait pengguna, apalagi pemasok dan pengedar yang mengendalikan jaringna silumannya.

Jadi, kenapa begitu ngototnya? Sampai-sampai, Menlu Australia ngancam, kalau sampai pemerintah kita eksekusi, tahu sendiri resikonya. Wah.

Berdasarkan serangkaian diskusi terbtas dengan beberapa kalangan di Global Future Institute minggu lalu, ada dugaan kuat bahwa  Andrew Chan dan Sukumaran merupakan Agen intelijen Australia, karena sikap pembelaan Tony Abott dan Bishop sudah tak wajar, janggal, aneh dan membabi buta hingga mau melakukan barter untuk keduanya.

Padahal Andrew dan Sukumaran bukan warga asli Australia, sementara publik Australia sendiri menganggap wajar hukuman mati. Indonesia memang merupakan sasaran intelijen asing untuk dihancurkan, apabila dibiarkan kekuatan bisa membahayakan kekuatan AS, Inggris dan negara sekutunya seperti Australia.

Kalangan intelijen asing sudah memprediksi Indonesia bakal menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia baru setelah Cina dan India. Tapi, mungkinkah agen intelijen asing berkedok sebagai pengedar atau pemasok narkoba sebagai kegiatan tersamar untuk sebuah misi rahasia yang tentunya dilakukan melalui sebuah operasi intelijen?

Terlepas apa misi rahasia dan tujuan operasi intelijen berkedok sebagai penjahat narkoba, saya teringat ucapan almarhum Jenderal Hario Kecik. Beliau bilang:
“Dan saya juga tidak akan lupa, bahwa kolonialis Belanda dan Inggris masih membina keturunan kader Van Mook dari Angkatan 1947 yang pada saat ini pasti ada dalam jumlah yang cukup besar. Mereka itu malahan berada di lapisan atas masyarakat kita. Mungkin bahkan mereka berada di dalam kelompok pengedar besar Narkoba (Mayor Jenderal purnawirawan Hario Kecik).”

Nah, bisa juga kan kegiatan penyelundupan narkoba sebagai kejahatan lintas negara, merupakan pintu masuk yang efektif untuk sebuah operasi intelijen Australia, ataupun negara-negara lain.  Apapun misi dan tujuannya.

Masih ingat Perang Candu? Melalui Perang Candu,  Inggris mampu merusak generasi Cina hingga terjadi lost generation di abad ke 18 lalu. Lha, Australia  itu ‘kan hingga kini masih berada dalam kendali Inggris melalui Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran alias Commin Wealth, yang merupakan perhimpunan negara-negara eks jajahan Inggris seperti India, Malaysia, Singapura Pakistan, Brunei Darussalam, dan lain-lain.   Dengan demikian, operasi intelijen Australia bermodus penyelundupan narkoba bisa jadi merupakan bagian integral dari skema operasi intelijen Inggris.

Karena itu masuk akal bukan jika dua terpidana mati asal Australia tersebut merupakan agen-agen intelijen Australia?

Tulisan saya beberapa waktu lalu, terkait indikasi Malaysia merupakan sarang baru perdagangan narkoba, kiranya bisa membantu mengurai benang kusut kasus Bali Ninetersebut di atas.

Malaysia, Sarang Baru Perdagangan Narkoba di Asia Tenggara?

Sejak Mei 2013 lalu, setidaknya ada dua indikasi kuat yang kiranya perlu dicermati oleh para pengambil kebijakan strategis keamanan nasional Indonesia. Selasa 14 Mei 2013, detiknews mewartakan tertangkapnya seorang polisi Malaysia oleh pihak Bea Cukai Polonia Medan karena kedapatan membawa sabu. Saat itu, tersangka yang bernama Salim bin Muhammad Yusof diamankan petugas Bea Cukai  saat kedatangan terminal kedatangan internasional Bandara Polonia Medan pada 13 Mei 2013. Selintas di permukaan, ini sekadar kilasan berita yang tidak cukup berarti.

Indikasi kedua, jauh lebih menarik lagi karena terkait manuver politik internasional yang melibatkan Cina dan lima negara ASEAN. Masih pada Mei 2013, sebuah situs, http://www.drugwar101.com/blog/archives/7594, kala itu mewartakan bahwa pada Kamis 9 Mei 2013, Cina dan lima negara yang tergabung dalam ASEAN, telah menandatangani kerjasama memberantas perdagangan Narkoba yang dianggap telah menjadi sebuah ancaman yang berbahaya bagi kawasan Asia Tenggara.

Kesepakatan kerjasama antara Cina dan lima negara anggota ASEAN tersebut berlangsung tak lama setelah berakhirnya pertemuan para menteri dari Cina, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Kesepakatan tersebut berlangsung di Naypyidaw, ibukota Myanmar yang sekarang.  Dalam pernyataan bersama menyusul kesepakatan bersama tersebut: “Konsumsi dan produksi narkoba semakin meningkat, di kawasan Asia Tenggara maupun dunia, sehingga menjadi ancaman serius bagi kawasan ini.”

Berdasarkan kesepakatan tersebut, akan segera diperketat kerjasama lintas batas, dan meningkatkan program pembangunan alternatif maupun berbagi pengalaman dalam pencegahan penggunaan narkoba. Dan yang tak kalah pentingnya, akan diadakan program gerakan penyadaran, perawatan dan sekaligus juga berbagai pelatihan yang tujuannya adalah untuk pencegahan merebaknya konsumsi penggunaan narkoba di kalangan warga masyarakat.

Sisi menarik dari kerjasama ini, Malaysia, Singapura dan Indonesia tidak dilibatkan sama sekali. Mengapa? Apakah ini terkait dengan kabar yang mulai merebak bahwa Malaysia saat ini dijadikan sebagai basis utama perdagangan narkoba lintas negara? Sekadar informasi. Kamboja, Myanmar dan Laos secara historis sejak Perang Dingin berlangsung, termasuk sekutu strategis Cina dalam menghadapi Amerika Serikat dan sekutu baratnya yang  tergabung dalam NATO.

Bahkan meski di Myanmar perdagangan narkoba sempat tercatat merupakan produsen narkoba terbesar kedua setelah Afghanistan di kawasan Asia Tengah, namun fakta ini tak bisa dipungkiri terkait juga dengan daerah-daerah yang merupakan basis gerakan separatis Myanmar di daerah yang berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Cina.

Menurut studi yang dilakukan oleh Peter Dale Scott, perdagangan narkoba di kawasan ini pada era Perang Dingin, juga mendapat dukungan dari para operator intelijen Amerika Serikat CIA.  Dengan demikian, kalau kita telisik ke masa lalu, tindak kejahatan narkoba pada suatu negara, ternyata erat kaitannya dengan dukungan terselubung dari aparat-aparat intelijen asing seperti CIA.

Di Burma Myanmar misalnya, yang notabene dulunya merupakan negara eks koloni Inggris, akibat campur tangan CIA tahun 1950 mampu meningkatkan produksi narkoba dari 40 ton (1939) menjadi 600 ton (1970). Di Thailand pun demikian, dari sebelumnya hanya 7 ton (1939) naik menjadi 200 ton (1968). Luar biasa! Di Laos tidak mau ketinggalan, dari produksi 15 ton tahun 1939 menjadi 50 ton pada tahun 1973.

Lantas, bagaimana dengan Malaysia? Fakta yang tak terelakkan, Malaysia adalah eks jajahan Inggris, dan hingga kini masih berada dalam orbit Inggris melalui Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran (Common Wealth). Dalam kepentingan strategisnya, berbagai korporasi global Amerika dan Eropa ternyata menanamkan pengaruhnya di Malaysia.

Mengingat fakta bahwa Malaysia sebagai eks jajahan Inggris dan tetap berada dalam orbit persekutuan strategis AS-Inggris hingga kini, maka informasi yang mengindikasikan Malaysia sebagai basis baru jaringan perdagangan narkoba kiranya cukup beralasan.

Karena itu, kilas  balik sejarah kiranya bermanfaat untuk menjelaskan adanya skema negara-negara barat menjadikan Malaysia sebagai basis Perang Candu sebagai Modus Kolonialisme Menghancurkan bangsa, dan terutama generasi muda.

Konon awal abad ke-19, opium dibawa oleh para pedagang Inggris ke Tiongkok sebagai pengimbang ekspor teh Cina ke Inggris. Di bawah kekuasaan Dinasti Yung Cheng, opium begitu populer karena selain komoditi dagang juga dihisap menggunakan pipa khas dari tanah liat serta diminum dengan arak.

Sebenarnya warga dan penduduk memanfaatkan candu untuk pengobatan tradisional, tetapi sebagian menyalahgunakan sekedar mabuk-mabukan. Inilah mapping awal tradisi (buruk) rakyat. Oleh pendatang (asing) kebiasaan masyarakat mengisap candu atau madat ditandai sebagai titik lemah (Achilles, baca: akiles) yang bisa “diletuskan” sewaktu-waktu. Pada gilirannya akiles pun diolah, dieksploitasi serta dipropaganda secara gencar dengan tujuan tertentu, bahwa asap candu menimbulkan “mimpi indah” di dalam tidur.

Zaman Kaisar Ming dan Ching berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Sebuah sikap kemandirian yang dahsyat dari Ming, akan tetapi justru inilah embrio konflik. Ya, kebijakan Ming jelas merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah, tembikar serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.

Inggris memahami kebiasaan madat dan luasnya konsumsi candu di kalangan penduduk. Inilah akiles yang “terpetakan”. Ia pun menyalahi isi kesepakatan dengan memasukkan barang larangan (opium) sebagai komoditi. Tampaknya barang ilegal tadi malah direspon girang sebagian penduduk, terutama para pecandunya. Akhirnya peredaran kembali marak, apalagi Inggris memiliki akses opium ke India secara mudah mengingat geografisnya bersebelahan dengan Cina.

Pada masa Kekasiaran Tao Kwang era 1839-an, diambil suatu langkah tegas guna mengatasi kecanduan dan peredarannya di masyarakat. Adalah Komisaris Lin Tse-Hsu diperintah oleh Kaisar guna memusnahkan candu ilegal di Guangzhou. Lin adalah sosok pejabat jujur, ahli kaligrafi, filsuf, sekaligus seorang penyair. Ia terkenal karena konsistensi serta komitmen dalam menentang peredaran opium di Tiongkok. Salah satu inti dan substansi statement Lin yang dijadikan acuan dalam Perang Panah ialah “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang!”.

Sudah barang tentu tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, kemudian meletuslah Perang Cina-Anglo I (1839-1842). Ya, perang selama tiga tahun itu dimenangkan Inggris. Ada 30.000-an rakyat menjadi korban dan memaksa Cina menandatangani Treaty of Nanjing (1842) dan The British Supplementary Treaty of the Bogue (1843). Inti Treaty of Nanjing atau Perjanjian Nanjing ialah kewajiban Cina membayar upeti 21 juta kepada Inggris sebagai ganti rugi peperangan, membuka kembali perniagaan dengan Barat via pelabuhan-pelabuhan Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo serta Shanghai, dan Inggris meminta Hong Kong menjadi tanah jajahan.

Sebagaimana diurai sekilas tadi, Perang Boxer II terjadi antara Inggris, Prancis, dan Cina. Sebagai pemicu ialah pencarian kapal The Arrow milik Inggris oleh Cina secara ilegal di Guangzhou. Hal ini membuat geram Inggris dan kembali mengobarkan perang. Lagi-lagi konflik tersebut dimenangkan oleh Barat dan Guangzhou diduduki oleh pasukan Inggris-Prancis. Apaboleh buat, Cina kembali menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Prancis, Rusia dan Amerika telah ikut ambil bagian. Isi perjanjian: Cina membuka sebelas pelabuhan, diizinkan pendirian kedutaan negara luar, melegalkan impor candu dan memberi ruang pada aktivitas misionaris Kristen.

Lantas, bagaimana menggambarkan Perang Candu sebagai Modus Kolonialisme di era global seperti sekarang ini? ingga kini, kelompok negara Barat khususnya Paman Sam, relatif canggih memainkan modus Perang Opium di berbagai negara. Ibarat bola sodok, di tangan Central Intellegence Agency (CIA) perdagangan candu itu seperti pukulan yang mengenai dua bola sekaligus. Bola pertama berupa “rusak”-nya generasi bangsa (lost generation), sedang bola kedua adalah money laundry (pencucian uang) atas bisnis narkoba yang dikerjakan.

Contoh ketika menginvasi Afghanistan setelah peristiwa World Trade Center (WTC), 11 Sepetember 2001, sebenarnya Pentagon punya daftar 25 laboratorium dan gudang obat bius, tetapi ia menolak menghancurkan gudang-gudang tersebut dengan alasan milik CIA dan sekutu lokalnya. Bahkan James Risen mencatat, penolakan untuk menghancurkan laboratorium narkoba justru dari pentolan Neo-Konservatif yang menguasai birokrasi Keamanan Nasional di AS seperti Douglas Feith, Paul Wolfowitz, Zalmay Khalilzad, dan sang patron Donald Rumsfeld.

Sekali lagi, asumsi Prof Scott  yang mutlak dicatat adalah bila CIA melakukan intervensi di sebuah negara maka produksi dan perdagangan narkoba cenderung meningkat, sebaliknya jika ia menurunkan (tensi) intervensinya niscaya produksi dan arus perdagangan narkoba bakal menurun. Ini dia! Dari tesis Scott sebenarnya bisa diambil asumsi lagi, bahwa Perang Candu sebagai modus penjajahan diyakini akan senantiasa  melekat dalam ragam dan bentuk kolonialisme yang dikembangkan oleh AS dan sekutu di berbagai negara. Ini yang mutlak diwaspadai.

Satu hal lagi yang perlu diwaspadai, dalam perspektif kolonialisme, Perang Opium bukan sekedar alternatif strategi tapi merupakan strategi inti. Artinya entah hard power (aksi-aksi militer) ataupun smart power (gerakan asimetris/non militer), bahkan Perang Candu itu sendiri dapat berjalan masing-masing, serentak, atau bergantian dengan intensitas berbeda. Ya, boleh belakangan, duluan atau mungkin simultan. Tergantung analisa intelijen. Intinya membuat marak candu, minuman keras dan narkoba di daerah target sebagai sarana melumpuhkan moral lawan dari sisi internal.

Perang Boxer di Cina merupakan contoh nyata, sesuai isyarat Lin, bahwa penduduk atau rakyat dikondisikan tak punya semangat juang, lemah daya tempurnya serta tak memiliki daya lawan atas penjajahan di negeri sendiri. Itulah tujuan pokok Perang Opium dalam aneka modus kolonialisme dimanapun bahkan sampai kapanpun.

Sehubungan dengan adanya indikasi Malaysia dijadikan basis baru perdagangan narkoba di Asia Tenggara, kiranya cukup beralasan bagi para pemanku kebijakan strategis keamanan nasional Indonesia, untuk meningkatkan kewaspadaannya pada tingkatan yang maksimal.

Setelah impor terorisme melalui keterlibatan Dr Azhari dan Nurdin M Top dalam kerangka Hard Power ala George Bush yang mengangkat tema: War on Terrorism sekarang sudah tutup buku. Akankah AS dan NATO mulai menggelar Tema baru: Perang Candu Sebagai Modus baru Kolonialisme dengan tetap menjadikan Malaysia Sebagai Front Terdepan?

Penulis: Hendrajit dan M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com