Membaca Persamaan Strategi Geopolitik Bung Karno dan Pak Harto

Bagikan artikel ini
Ada satu hal yang menyamakan Presiden Pertama RI Sukarno dan Presiden Kedua RI Suharto. Keduanya sama-sama membaca konstalasi geopolitik global ketika menyusun sebuah kebijakan strategis. Bung Karno, ketika memprakarsasi Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 untuk merajut solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk melawan imperialisme dan kolonialisme. Coba saja simak pidato Bung Karno dalam pembukaan KAA Bandung 18 April 1955:
“Saudara-saudara, betapa dinamisnya zaman kita ini. Saya ingat, bahwa beberapa tahun lalu saya mendapat kesempatan membuat analisa umum tentang kolonialisme. Dan bahwa saya pada waktu itu meminta perhatian pada apa yang saya namakan ‘Garis Hidup Imperialisme.’ Garis itu terbentang  mulai selat Jibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan (Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan Jepang. Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itu sebagian besar adalah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.” 
Sudut pandang geopolik Bung Karno seperti tergambar melalui penggalan dari pidato pembukaan KAA Bandung 1955 ini, didasarkan pengetahuannya yang luas dan mendalam atas situasi Perang Dingin yang sedang terjadi antara kutub barat (AS dan Eropa Barat) versus Uni Soviet dan Cina sejak awal 1950-an. Gagasan untuk menggalang solidaritas Asia-Afrika dengan tema Anti Imperialisme dan Kolonialisme, sejatinya dimaksudkan untuk membangun sebuah Kekuatan atau Kutub Ketiga di luar orbit pengaruh Kutub AS dan Eropa Barat maupun Kutub Soviet dan Cina. 
Keberhasilan KAA Bandung 1955 kemudian dikembangkan dan diperluas lingkupnya menjadi kerjasama lintas kawasan dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok. Hanya bedanya, kali ini temanya adalah menggalang solidaritas negara-negara Berkembang dan baru merdeka. Kelak oleh Bung Karno, gagasan ini dikembangkan menjadi the New Emerging Forces. Bahkan rencananya melalui diselenggarakannya Conference of New Emerging Forces (Conefo) pada Agustus 1966, akan dijadikan embrio lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertumpu pada negara-negara dari dunia Selatan yang baru merdeka dan berkembang, menghadapi kepentingan-kepentingan kapitalisme global dari Dunia Utara. Sayang, rencana besar ini batal gara-gara meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Strategi Politik Luar Negeri Trisakti ala Suharto
Yang kerap diabaikan oleh para pakar politik internasional dalam mengkaji politik luar negeri era pemerintahan Suharto, yaitu bagaimana cara dan sudut pandang Suharto dalam membaca konstalasi global sebagai dasar dirinya dalam menyusun kebijakan luar negeri.
Sejak isu globalisasi muncul seiring dengan berakhirnya era Perang Dingin pada akhir 1980-an, Suharto sebenarnya sudah mulai mengubah cara pandang geopolitiknya. Dia melihat cara pandang geopolitik yang berdasarkan pengelompokan negara Blok Timur dan Blok Barat sudah hancur ketika gelombang Glasnost dan Perestroika “menghancurkan” Uni Soviet.
Dalam pandangan Suharto dari kacamata geopolitik dan geoekonomi pada pasca Perang Dingin, dunia mulai membentuk kutub geopolitik dan geoekonomi baru yakni Kutub Amerika Serikat, Kutub Tiongkok, Kutub Rusia dan Kutub negara-negara Islam. Tak banyak yang menyadari saat itu bahwa sejak tahun 1985-an Suharto sebenarnya sudah melihat bahwa perang geopolitik dan geoekonomi akan terjadi diantara kutub-kutub tersebut.
Apa langkah strategis Suharto untuk mengantisipasi tren global baru itu? 
Ini salah satu topik yang paling menarik untuk dibahas. Untuk beselancar diantara kutub kekuatan itu, Suharto memutuskan untuk tidak bergabung dengan AS, Tiongkok dan Rusia. Dia ingin Indonesia bergabung dengan kutub negara-negara Islam dan menjadi pemimpin negara-negara Islam dunia. Suharto bermaksud membentuk kutub geopolitik baru dunia: AS, Tiongkok, Rusia dan Indonesia sebagai representasi negara-negara Islam.
Untuk agenda besar itu, secara perlahan, Suharto mulai mengubah identitas politik Indonesia untuk lebih condong menjadi negara Islam. Dia mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan mengubah namanya menjadi Muhammad Suharto. Ini adalah strategi dan fondasi awal strategi geopolitik Soeharto saat itu.
Pada tataran ini, nampak jelas strategi Geopolitik Suharto tidak jauh berbeda dengan strategi geopolitik Bung Karno. Yaitu sama-sama berhasrat untuk menjadikan Indonesia sebuah kekuatan atau kutub tersendiri di luar kutub negara-negara adikuasa baik yang terlibat dalam Perang Dingin maupun di pasca Perang Dingin seperti yang coba disiasati oleh Suharto. Bedanya, kalau Bung Karno mengusung tema anti imperialisme dan kolonolialisme maupun aspirasi negara-negara yang baru merdeka dan berkembang, Suharto mencoba memotori solidaritas negara-negara Islam sehingga Indonesia bisa memposisikan dirinya sebagai pemimpin negara-negara Islam dunia.
Suharto Optimis Indonesia Sangat Siap Jadi Kutub Geopolitik Baru Pasca Perang Dingin
Kalau kita telisik kondisi obyektif nasional Indonesia ketika Suharto mulai mencanangkan niatnya jadi kutub geopolitik baru pasca Perang Dingin, nampaknya memang cukup beralasan dan bahkan cukup rasional. Karena kalau mencermati karakteristik kepemimpinan Suharto, segala yang dilakukannya serba sistematis dan terencana.
Tengok saja blue print (cetak biru) pembangunan pemerintahan Suharto. Semua tercatat dalam sebuah Rencana Pembangunan Jangka Panjang I (RPJPI) 1968-1998. RPJP I ini di-breakdown dalam program pembangunan lima tahunan yang sering disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Di Repelita VI ini, tepatnya 1997, berdasarkan catatan data perekonomian saat itu terlihat pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7 persen pertahun. Sedangkan ingkat inflasi selalu bisa dipertahankan di bawah 10 persen. Di sisi ekspor, pertumbuhan ekspor non migas mencapai rata-rata 20 persen per tahun sedangkan pertumbuhan ekspor barang manufaktur rata-rata 30 persen per tahun. Lepas dengan segala kontroversinya, harus diakui Ini sebuah prestasi ekonomi yang sangat bagus.
Beberapa fondasi pembangunan strategis lain juga dilakukan rezim Suharto dalam skema Repelita-nya adalah tercapainya swasembada pangan (1984), berdirinya IPTN untuk membuat pesawat (komersial dan tempur) dan berdirinya PT PAL untuk membuat kapal (komersial dan tempur).
Di sisi pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, Satelit Palapa sudah diluncurkan. Beberapa pembangkit listrik yang menggunakan komoditas batubara yang sangat berlimpah juga dibangun.
Untuk pengembangan teknologi nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) juga sudah siap untuk bekerja. Di industri mobil nasional, Suharto bahkan berani melawan Jepang (yang ngotot saat itu tak ingin melakukan transfer teknologi) dengan mengizinkan Tommy Suharto menggandeng Korea Selatan untuk memulai proyek mobil nasional Timor.
Di sisi penguasaan geopolitik dan geoekonomi Asia, Suharto bahkan membuat fondasi penting dengan mendirikan Otorita Batam. Suharto tak ingin Selat Malaka “dikuasai” terus oleh Singapura.
Langkah ini membuat Singapura sangat ketakutan. Betapa tidak, kalau Otorita Batam semakin kuat maka Singapura nanti akan jadi Singa”ompong”pura, tak punya gigi lagi untuk menguasai Selat Malaka.
Bahkan bisa-bisa akan mengundang pula kemarahan AS, Jepang, Inggris dan Cina yang merasa terusik kepentingan geoekonomi dan geopolitik globalnya di Selat Malaka. Intinya, strategi geopolitik dan geoekonomi global yang dilakukan Suharto saat itu membuat marah dan ketakutan banyak negara.
Apalagi ketika memasuki tahun 1997, Suharto sudah mulai merancang Rencana Pembangunan Jangka Panjang II (25 tahun) sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang I dengan fokus Indonesia akan menjadi negara maju yang setara dengan AS, Eropa, Jepang, Tiongkok dan Rusia.
Suharto sering mengistilahkan dengan kata “Indonesia Tinggal Landas”.  Suharto menyatakan bahwa pada 2005 nanti Indonesia tidak akan lagi “dijajah” oleh negara-negara kuat seperti AS dan sekutunya. Dan pada 2020 nanti, Indonesia akan menjadi pemimpin negara-negara Islam yang ada di dunia ini.
Inilah sekelumit catatan penting untuk menggambarkan agenda yang dilakukan Suharto untuk membawa Indonesia menjadi kutub baru kekuatan geopolitik dan geoekonomi global saat itu.
Krisis Moneter 1998 “Rute Terpendek Untuk Jatuhkan Suharto
Kiranya perlu diketahui bersama, bahwa ketika negara-negara adikuasai terutama AS, Inggris, Jepang dan Cina mulai membaca agenda strategis geopolitik dan geoekonomi Suharto, nampaknya mereka mulai cemas. Sejak 1990-an,  beberapa negara, terutama AS, sudah mulai menekan Indonesia dengan melakukan destabilisai secara perlahan dengan menggunakan “soft power”.
Jutaan dollar bantuan turun (lewat USAIDS salah satunya) ke banyak organisasi massa (termasuk LSM) untuk membentuk perlawanan-perlawanan yang mengatas namakan HAM, anti korupsi, transparansi sampai kebebasan pers. Maklum, saat itu memang kelemahan besar dan mendasar rezim Suharto adalah di isu HAM, demokrasi, korupsi dan kebebasan berpendapat dan bersuara.
Alhasil, Gerakan “soft power” itu terbukti efektif sebagai daya tekan. Secara perlahan pengaruh Suharto mulai meredup. Dengan picu krisis perbankan kemudian bergerak ke krisis ekonomi kemudian ke krisis politik dan berakhir di krisis kepercayaan (legitimasi) yang membuat Suharto tak berdaya lagi.
Begitulah. Krisis moneter yang terjadi pada 1998 membuat impian besar Suharto kandas. Suharto lengser pasca penandatangan LoI ke dua dengan IMF di hadapan Direktur IMF saat itu, Michael Camdesu. Suharto kalah dalam “peperangannya” dengan kepentingan banyak negara dan korporasi global yang ada dibalik IMF.
Bencana Geopolitik Pasca Penandatanganan LoI Kedua
Beberapa tahun lalu, sebuah kajian mendalam yang dilakukan harian Kompas dalam bentuk tulisan “Presiden Soeharto dan Misteri Kemelut 1998” menyatakan seperti ini:
“Tidak banyak yang memahami bahwa krisis politik itu sebenarnya merupakan skenario besar untuk memenggal agenda tinggal landas (PJP II.red) dan penumbangan Presiden Soeharto merupakan rute paling pendek menguasai aset-aset strategis Indonesia.”
Kompas cukup jeli melihat apa yang terjadi dibalik Krisis Multidimensi 1998 saat itu. Ada kekuatan geopolitik dan geoekonomi besar dibalik IMF agar Indonesia tidak muncul menjadi kutub kekuatan baru dunia. Intinya Indonesia tidak boleh jadi negara besar, tidak boleh berdaulat secara ekonomi, politik dan budaya.
Bahkan secara jelas dan tegas Michael Camdesus dalam sebuah pernyataan di New York Times beberapa tahun lalu mengaku seperti ini: “We created the conditions that obliged President Soeharto left his job”.
Dengan men-dompleng dukungan massa besar anti Suharto saat itu, kekuatan geopolitik besar dibalik IMF memanfaatkan kepentingannya lewat “janji-janji dewa” seperti deregulasi, debirokratisasi, desentralisasi, privatisasi, HAM dan Transparansi. Dan sebagian elit politik dan massa sempat dibuat terbuai.
Padahal “janji dewa” itu justru membuat sebagian besar aset-aset BUMN dijual ke asing, sumber daya alam kita dijual amat murah dan banyak dikuasai asing, subsidi dicabut, terjadi liberalisasi pasar modal, pasar uang, perbankan dan perdagangan internasional. Bangunan sistem ekonomi politik dan fondasi menuju lepas landas yang dibangun Suharto selama 30 tahunan itu hancur.
Kekuatan kepentingan asing saat itu mampu mengerek Rupiah dari Rp 4.000/USD ke Rp17.000/USD. Bahkan lembaga yang sangat strategis dan diandalkan Soeharto untuk membawa Indonesia menjadi negara maju seperti IPTN, PT PAL, PT Pindad, Satelit Palapa sampai Otorita Batam sekarang “tak berdaya”. Program swasembada pangan yang dulu mendapat pujian dunia itu kini hanya jadi program di atas kertas saja. Negara terus dikondisikan agar “lebih nikmat” dengan impor.
Beberapa paket deregulasi, privatisasi dan desentralisasi bahkan memaksa Indonesia tidak lagi berdaulat atas apa yang dimilikinya. Sebagian besar Undang-undang yang ada selalu bermuatan “titipan” atau paksaan akibat konsekuensi pinjaman uang dari lembaga dan negara donor.
Jadi, amat naif jika krisis moneter 1998 yang kerap disebut juga krisis multidimensi itu sejatinya hanya ditaruh, dianalisis dan diterjemahkan dalam kotak kecil pemahaman sebagai suksesnya penghancuran Orde ‘Tiran’ Baru Seharto. Atau kotak kecil pemahaman sekadar jatuhnya rezim ‘korup dan fasis’ Suharto.
Krisis tersebut harus dibaca dan ditempatkan juga dalam pemahaman yang lebih luas dengan menggunakan kacamata geopolitik dan geoekonomi global yang terjadi saat itu. Krisis multidimensi tahun 1998 itu sebenarnya adalah momentum besar kepentingan asing untuk menggeser Suharto, menghentikan Indonesia untuk menjadi keuatan geopolitik dan geoekonomi baru dunia dan sekaligus menguasai (dan menjajah) kembali kekayaan Indonesia.
Belajar dari pengalaman pahit itu, seluruh elemen strategis bangsa sudah saatnya untuk menempatkan kembali dua presiden kita, Sukarno dan Suharto, secara proporsional sebagai pemimpin bangsa dan kepala negara/pemerintahan sama-sama berkomitmen untuk menerapkan dan menjabarkan Skema Trisakti (Berdaulat Dalam Politik, Berdikari Dalam Ekonomi, dan Berkperibadian Dalam Budaya). Meskipun melalui gaya kepemimpinan dan strategi politik yang berbeda.
Bung Karno, dijatuhkan melalui kudeta merangkak yang dimulai tahapan awalnya dengan meletusnya Gerakan 30 September 1965, yang mencapai titik kulminasinya pada 1967. Kejatuhan Bung Karno, berakibat batalnya penyelenggaraan Conefo Agustus 1966, sehingga Indonesia gagal mempelopori bangkitnya Kekuatan Baru Negara-Negara Berkembang melawan Skema Imperialisme dan Kolonialisme AS, Inggris, maupun sekutu-sekutu baratnya plus Jepang. Termasuk Cina.
Sedangkan Pak Harto jatuh, yang berakibat gagalnya Indonesia dalam memelopori kebangkitan Negara-Negara Islam yang notabene sebagian besar juga negara-negara berkembang, bangkit sebagai Kutub Baru di luar orbit AS, Eropa Barat, Jepang dan Cina. Dan lebih daripada itu, fondasi yang dibangun Suharto menuju kebangkitan Indonesia sebagai negara adidaya pun, hancur lebur.
Maka, untuk menggagas suatu Rekonstruksi Total Tata Kelola Kenegaraan dan Pemerintahan kita saat ini, kita harus menghadirkan kembali “Kekuatan Sejarah” Sukarno dan Suharto di masa kini, demi masa depan Indonesia.

Penulis: Hendrajit (Pengkaji Geopolitik) dan Faizal Riski Arief (Research Associate) Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com