Membaca Praktek Bernegara Pasca Amandemen UUD 45 dan Saran Perubahannya (Bagian Pertama)

Bagikan artikel ini

Kajian Praktek Politik di Indonesia dari Perspektif kesisteman

Baik atau buruknya sebuah “sistem”. entah sistem apapun, selain dinilai dari sisi ouput, sebaiknya dilihat juga dari aspek dan/atau bagaimana outcome-nya. Tidak bisa tidak. Efek (postif) dan dampak (negatif) atas bekerjanya sebuah sistem, entah itu di perusahaan, pada entitas tertentu, ataupun pada suatu organisasi seperti negara misalnya, bisa dirasakan dan dinilai oleh stakeholder-nya, lebih banyak mudarat atau lebih banyak manfaatnya? Juga, dari hal-hal yang eksesif dari output-nya, dari prosesnya, serta kualitas input-nya.

Strata dan varian kesisteman itu banyak sekali mulai level supra-sistem yang sifatnya makro, sampai dengan sistem, sub-sistem dan sub-sub sistem yang bersifat mikro, bahkan sampai ke tingkat yang bersifat teknis. Seluruh level dari sebuah kesisteman itu harus selalu saling terhubung satu dan lainnya, baik secara vertikal maupun horisontal. Begitulah seharusnya sebuah kesisteman.

Namun, prinsip pokok dari sebuah sitem pada level apapun adalah adanya input, proses, output dan output. Dan sekali lagi, baik dan buruknya sebuah sistem sebaiknya dilihat dari dan bagaimana outcome-nya, bukan hanya dilhat dari output-nya, bukan bagaimana prosesnya dan juga bukan bagaimana input-nya.

Sebuah sistem yang baik akan terhindar dari GIGO (Gargage In, Gargage Out). “Sampah masuk, sampah keluar”, kenapa? Sebab, GIGO itu berawal dari input, jika input-nya buruk, maka hasil alias keluarannya yang disebut ouput dipastikan buruk. Dalam sebuah kesisteman yang mengabaikan kualitas dari input, apakah itu raw material input, instrumental input maupun envoronmental input, sangat berpeluang menghassilkan ouput yang garbage, karena prinspinya, begitu yang masuk maka begitulah pula yang keluar. Ilustrasinya, kalau tepungnya yang sudah apek dijadikan bahan adonan kue, hasil kuenya bakalan apek. Jadi, jangan berpikir tentang kuenya bisa disukai orang. Kalau produksi kue saja sudah apek, sedangkan kue yang bagus saja belum tentu disukai orang, apalagi ini kue yang apek dan apeknya itu karena tepung yang dipakai juga apek.

Kalau ouput-nya yang dijadikan tujuan, belum tentu outcome bakal bagus, karena bisa saja untuk mencapai tujuan yang disebut sebagai output itu, dilakukanlah sebuah rekayasa, atau mungkin juga melalui serangkaian tipu-tipu, proses dan outcome-nya diabaikan. Padahal, melalui outcome pun bisa dinilai baik dan buruknya sebuah sistem. Itulah penjelasan singkat tentang “sistem” dan kesisteman.

Dari perspektif kesimteman, kami menganggap bahwa UUD 1945 setelah amandeman empat kali (1999-2022) itu seperti halnya UUD 1945 (Naskah Asli) adalah sebuah supra-sistem Politik dalam Penyelenggara Pemerintahan Negara. Maka, mari kita renungkan, mari kita nilai bagaimana outcome memberi dampak positif dan atau negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan menggelitiknya adalah “Seberapa besar mudarat dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari sistem penyelengaraan negara yang berdasarkan sistem politik eksisting ini.

Oleh Taufiequrachman Ruki dan M Arief Pranoto **

** Penulis adalah dua orang Purnawirawan Pati Polri berbeda generasi, tetapi tetap setia kepada Tiga Kesepakatn Utama yang menjadi spirit terbentuknya NKRI, yaitu Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan Undang Undang Dasar tahun 1945 secara utuh dan menyeluruh sebagaimana yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com