Membaca Praktek Bernegara Pasca Amandemen UUD 45 dan Saran Perubahanya (Bagian Kedua)

Bagikan artikel ini

Dampak positif dan negatif dari penyelenggaraan sistem politik berdasarkan UUD 45 pasca amandemen

Jujur dan harus kita akui, bahwa dampak positif dari outcome UUD NRI 1945 Produk Amandemen yang tak terbantahkan ialah:

Pertama, membaik dan meningkatnya kebebasan dan hak untuk berpendapat dari masyarakat (bahkan subyektif kami menilai cenderung kebablasan). Setelah selama lebih dari 40 tahun demokrasi Pancasila, instrumen pengendaliannya adalah hegemoni ABRI dalam kehidupan perpolitikan melalui Dwifungsi dengan dalih untuk dan demi Stabilitas Politik. Kendati demikian, Dwi Fungsi ABRI tidaklah diatur dalam UUD 1945 Asli, tetapi sejatinya merupakan kendali demokrasi pada saat itu adalah monopoli atas kebenaran dan interprestasi dari rezim eksisting terhadap dasar Falsafah Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, seperti ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’, yang semula bernuansa ‘permusyawaratan perwakilan’ menjadi ‘musyawarah mufakat’, dan menyingkirkan salah satu pasal dari UUD 1945 Asli yang berbunyi: “Segala Keputusan MPR harus ditetapkan dengan suara terbanyak”. Padahal, pengambilan keputusan dengan suara terbanyak itu merupakan prinsip utama yang universal dari sebuah praktik politik yang demokrasi;

Kedua, dampak positif yang kedua adalah semakin luasnya keterbukaan dan akses publik terhadap informasi, sehingga tidak bisa lagi ada yang ditutup-tutupi baik itu berupa penyimpangan dan atau ‘perselingkuhan’ yang dilakukan oleh otoritas penyelenggara negara di bidang apapun, sehingga karenanya kontrol publik terhadap semua hal bisa dilakukan dan ekses dari kondisi ini adalah public trust yang semakin menurun walaupun pemerintah berusaha meng-counter dengan cara mempublikasi hasil ‘positif’ dari berbagai survei dan kegiatan image building yang dilakukan.

Sedangkan dampak negatifnya dari outcome dari sistem berdasarkan UUD NRI 1945 Produk Amandemen adalah:

Pertama; Very High Cost Politics dalam praktik politik (praktis). Siapapun sulit membantah fakta ini. Pemerintah dalam penyelenggaraan satu rangkaian pemilu yang dilakukan lima tahun sekali, senantiasa menghabiskan anggaran sangat besar, dan kita sebut itu sebagai ‘Biaya Politik’ yang sangat mahal bagi sebuah pemilu baik itu Pileg, Pilkada dan Pilpres. Demikian juga ongkos politik bago peserta pemilu, baik itu partai politik (parpol) maupun politisinya. Tak kurang, saudara BS yang Ketua MPR pun mengakui bahwa untuk terpilih menjadi anggota DPR, ia menghabiskan tidak kurang dari Rp 5M, sebuah angka yang untuk orang biasa itu wooow.

Pengalaman pribadi saya, yang pernah dilamar oleh koalisi parpol untuk bersedia menjadi Cakada mereka, ternyata yang disebut Elektoral Treshold itu ada harganya, tidak kurang dari satu M untuk satu kursi, dan biaya kampaye serta tetek bengek itu juga menjadi beban sebagai Cakada. Nominal dari semua ongkis politik itu membuat saya terperangah dan kemudian balik kanan dan memilih tiarap saja dari kehidupan politik praktis, karena ongkos politik itu ternyata benar-benar fantastik.

Ekses dari dampak negatig dari mahalnya onglos Pemilu adalah maraknya perilaku koruptif dan merajalelanya praktik korupsi yang nyaris terjadi di semua sektor penyelenggaraan pemerintahan, terutama ketika bersentuhan dengan kewenangan dari pejabat publik yang dipilih melalui proses politik yang berongkos politik sangat fantastik tadi.

Gilirannya terus merambah secara tanggung renteng pada proses pengadaan barang dan jasa, lalu proses rekruitmen, bahkan pada proses berperkara baik pidana maupun perdatan, sebagaimana dibuktikan dalam sidang-sidang tipikor antara lain praktik jual beli jabatan, mafa peradilan, korupsi proyek, bahkan pada persetujuan anggaran daerah dan departemen pun terjadi korupsi. Penyebabnya adalah bahwa gaji dan berbagai tunjangan dari negara tidak akan cukup untuk mengembalikan ongkos politik mereka ‘balik modal’ (break even point) untuk mencapai jabatan politik itu bagi si pemenang, apalagi jika butuh “kelebihan” untuk ongkos nyalon kembali, untuk “setoran”, atau pun untuk merawat konstituen politiknya agar tetap loyal, ataupun untuk biaya nyalon isteri atau anak-anaknya yang dipersiapkan untuk menggantikan dan lain-lain. Maka, korupsilah jalan pintas untuk memperoleh semua itu.Inilah awal narasi bahwa “korupsi di Indonesia itu diciptakan oleh sitem politik”.

Kedua; Dampak negatifnya lainnya dari outcome sistem politk eksisig adalah dominannya oligarki politik dan oligarki ekonomi dalam dunia politik praktis di Indonesia. Keduanya, baik oligarki politik maupun oligarki ekonomi beresonansi dalam mendominasi praktik politik di Indonesia. Oligarki politik memberi kontribusi atas mahalnya ‘Harga perahu partai’ contohnya, atau atas dukungan tim sukses, mobilisasi massa, buzzer dan seterusnya. Sedangkan oligarki ekonomi menyediakan jasa pembiayaan dengan jaminan Kembali dengan ragam kompensasi baik berupa previlege, ataupun balas budi kebijakan.

Eksesdari keberadaan oligarki politik dan oligarki ekonomi dalam perpolitikan baik dipusat maupun di daeraj bersifat menyeluruh dan merata. Runtutan atas outcome di atas, seperti high cost misalnya, atau marak korupsi, dominannya oligarki ekonomi dan politik akibat perselinguhan kedua oligarki lalu membidani apa yang disebut dengan istilah Dinastik Politik. Kenapa? Sebab, putaran uang dalam jumlah besar, aneka kebijakan strategis proyek APBN?D dan aliran power lain harus diusahakan hanya berada pada inner circle mereka. Dengan demikian, dinasti politik itu keniscayaan agar kekuasaan tetap lestari. Dan tanpa kita sadari inilah yang kini berlangsung di republik tercinta;

Ketiga; Dampak negatif lain dari sistem politik kita adalah terjadinya kegaduhan sosial politik dan adanya indikasi ‘pembelahan bangsa’, (Social Enclave) secara berkala per lima tahun. Hal ini tak dapat dielak, bahwa setiap kali pemilu digelar maka sektika bangsa ini terbelah. Publik terkotak-kotak. Pro ini, pro itu. Persaudaraan dan pertemanan bisa rekat karena beda pilihan politik, bahkan hingga usai pemilu, pertikaian antar pendukung terkadang masih berlanju. Lucu dan ironi. Dikala politisi idola/pilihan mereka sudah saling berangkulan, justeru di akarrumput masih saling berseteru dan banyak lagi dampak yang lain, salah satunya ialah banyak pejabat menjadi beking kegiatan ilegal atau memberikan sebuah priveledge bagi sesuatu kegiatan ekonomi yang bersifat monopolistik dan atau pemberian penguasaan yang berlebihan untuk dan dalam rangka pengembalian modal, tetapi dibalik semua itu sesungguhnya itu adalah keserakahan saja dari mereka.

** Oleh Taufiequrachman Ruki dan M Arief Pranoto

**Penulis adalah dua orang Purnawirawan Pati Polri berbeda generasi, tetapi tetap setia kepada Tiga Kesepakatn Utama yang menjadi spirit terbentuknya NKRI, yaitu Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan Undang Undang Dasar tahun 1945 secara utuh dan menyeluruh sebagaimana yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com