Membaca Praktek Bernegara Pasca Amandemen UUD 45 dan Saran Perubahanya – Bagian Ketiga

Bagikan artikel ini

Sistem Politik Kita Harus Di review

Agaknya, fakta atas outcome dari sistem UUD NRI 1945 Produk Amandemen di atas menggelisahkan Presiden Prabowo Subianto. Pada acara HUT Golkar ke-60, Kamis, 12 Desember 2024 di Bogor, Prabowo menyatakan di depan ketua partai dan segenap undangan yang hadir:  “…. menurut saya, kita haru perbaiki sistem kita. Dan kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Memang di Pilkada saja, ada wajah calon kepala daerah yang lesu. Apalagi yang kalah. Hal itu dikarenakan biaya politik yang tinggi.”

Sesungguhnya yang diungkap oleh Prabowo baru soal biaya politik yang tinggi. Padahal, rentetan akibat very high cost politics sebagaimana diurai sekilas di atas tak diungkap oleh beliau. Dan tampaknya, berbagai elemen bangsa entah partai politik, LSM, aktifis konstitusi, anggota parlemen, organisasi massa dan seterusnya sepertinya sepakat dengan isyarat Presiden ke-8 untuk perubahan sistem politik agar tidak mahal.

Sepertinya publik mulai jenuh bahkan tidak percaya dengan demokrasi alat Barat yang hanya mencari pemimpin melalui banyak-banyakan suara (one man one vote). Demokrasi yang cuma mengejar kuantitas, bukan kualitas. Demokrasi yang lebih mengedepankan popularitas serta elektablitas daripada integritas dan kompetensi (skill, knowledge, attitude). Jika isu yang berkembang hanya mengembalikan pilkada melalui DPRD, menurut kami, tidak menyelesaikan masalah, karena bukan disitu pokok persoalannya, mengapa?

Supra-sistem dalam perpolitikan di Indonesia itu adanya pada ‘Sistem MPR’ yang dengan jekas dalam UUD 1945 Asli sebelum diamandemen, dalam pasal 2 dan pasal 3-nya, pada perspektif Kedaulatan Rakyat menentapkan tentang MPR; siapa itu MPR; apa tugas MPR; apa peran MPR dan bagaimana Susunan dan Kedudukan MPR serta hubungannya dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Dengan mendalami ini, adalah bukan sesuatu yang salah apabila Sistem MPR ini juga secara ‘mutatis mutandis‘ diterapkan sebagai sistem politik di daerah otonom. MPR RI harus dikembalikan dulu statusnya sebagai Lembaga Tertinggi Negara dengan fungsi, peran dan wewenang sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, sehingga akan jelas kepada siapa dan bagaimana rakyat menggunakan kedaulatannya. Juga, kepada siapa dan melalui mekanisme yang mana Presiden selaku Kepala Negara mempertanggungjawabkan pekerjaannya selama masa jabatan.

Dengan dikembalikan status, fungsi, peran dan kewenangan MPR, maka akan jelas juga hubungan antara Lembaga Tinggi Negara,. Tidak ada yang merasa di atas dan saling mengatasi, inilah yang sesungguhnya prinsip chek and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, dan prinsip bahwa Presiden tidak ‘neben tetapi undergeundnet‘ kepada Parlemen, tetapi Presiden pun tidak bisa juga membubarkan DPR, sementara hak-hak dan prerogratif dan wewenang Presiden sebagai Kepala Negara tetap terjaga, tidak terlemahkan oleh Lembaga Tinggi Negara apapun, tetapi tidak juga bisa sewenang-wenang karena berfungsinya chek and balances antar Lembaga Tinggi Negara tadi.

Dengan melihat peran MPR dari perspektif Kedualatan Rakyat, maka sistem Pemilu kita juga harus direview, karena kekuasaan dan kewenangan parpol dengan sistem pemlu yang kita gunakan saat ini terlalu dominan dan nyaris mengkooptasi seluruh kedaulatan rakyat dengan hanya menyisakan satu hak rakyat saja, yaitu hak untuk memilih selama lima tahun sekali. Dan setiap kali ada pikiran yang berbeda dengan pikiran dan kebijakan parpol, selalu dikunci dengan sebuah closing statement oleh anggota parpolnya, “…itukan pendapat pribadi, kalau pendapat rakyat, pendapat itu sudah diwakilkan kepada Anggota DPR.”

Sebagai peserta pemilu pun, pada UU Pemilu menetapkan parpol sebagai peserta pemilu, bukan rakyat. Menentapkan Calon Anggota DPR pun oleh Parpol, Menentapkan calon Kepala Daerah, calon Presiden, juga oleh Parpol/Gabungan Parpol, memilih Anggota BPK, Hakin Agung, Gubernur BI, Komisioner KPK, Komisioner OJK, Komisioner KPU pun dipilih oleh DPR yang isinya parpol. Menteri pun menjadi jatah parpol bukan lagi hak prerogatif Presiden, dan bahkan Calon Kapolri dan Panglima TNI pun harus dengan persetujuan DPR (yang isinya ya Parpol).

Dengan sistem pemilu yang kita gunakan saat ini, maka rakyat sebagai pemilik kedaulatan, hanya punya hak untuk memilih saja, secara ‘taken for granted‘, yang dalam pelaksanaan pun dipengaruhi oleh uang dan pemberian-pemberian bahkan kadang diserta tekanan oleh rezim yang berkuasa.

Selain tentang Sistem MPR sebagai supra-sistem politik di Indonesia dan Pemilu sebagai sub-sistemnya, maka sub-sistem lain harus kita review adalah Sistem Otonomi Daerah (Otda). Secara span of control dan chain of command, otonomi daerah menjadi tidak efektif.

Eksesnya justru menbidani lahirnya raja-raja kecil di daerah, dan kemudian hirarki antar tingkat pemerintahan menjadi tidak ada. Bayangkan ada seorang gubernur yang ‘berani’ tidak hadir di acara pemerintah pusat. Apalagi para bupati dan walikota, kebanyakan tidak pernah mau hadir dalam rakorbang untuk perencanaan pembangunan dan penetapan APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur. Akibatnya, tidak pernah sinkron antara rencana pembangunan terutama pembangunan infrastruktur di daerah, karena masing-masing merasa menjadi raja akibat dari “otonomi”-nya. Nyaris tidak pernah terjadi koordinasi, kecuali yang bupati/walikotanya satu partai dengan gubernur.

Daerah otonomi kita itu sesungguhnya mengadopsi sistem pemerintahan pada Negara Persatuan (Unitarian Country) yang sistem pemerintahan adalah federalis, di mana semua urusan pemerintahan itu adalah hak dan kewajiban states, dan kemudian sebagian diserahkan menjadi urusan pusat atau pemerintah federal, misalnya urusan pertahanan, urusan keimgrasian, moneter, hubungan luar negeri. Sedangkan pada Negara Kesatuan (United Country), semua urusan pemerintah adalah hak dan kewajiban Pemerintah Pusat dan kemudian sebagiannya dilaksanakan oleh pemerintaha di daerah sebagai pendelegasian, sebagai pelimpahan atau sebagai perbantuan. Apabila dikaitkan dengan sistem kepartaian, sistem pemilu dan sistem penyusunan anggaran pendapatan negara baik di pusat maupun di daerah, serta hubungan keuangan pusat dan daerah, sepertinya sistem otonomi daerah kita perlu di-review, lebih-lebih kalau menggunakan aspek kemampuan finansial dari sebuah daerah otonom sebagai tolak ukur, untuk membiayai belanjanya sendiri. Sepertinya perlu ada evaluasi tentang status otonomi bagi beberapa daerah tertentu.

Dari perspektif kesisteman, banyak dampak (negatif) dari Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara pasca empat kali amandemen UUD 1945, bahkan menyetuh hal yang sangat mendasar yaitu keutuhan dan integritas bangsa, dan apabila tidak segera diperbaiki maka kami khawatir, NKRI akan tinggal nama.

Pada kesempatan ini kami ingin mengajukan beberapa saran strategis sebagai berikut:

Pertama, agar MPR segera melakukan Sidang Umum guna Mengembalikan ‘Sistem MPR,‘ yaitu dengan cara menghidupkan Kembali pasal 3 dan pasal 4 UUD 1945 sebelum amandemen dengan tetap mengakui keabsahan hasil Pileg, Pilres dan Pilkada tahun 2024. Dengan demikian, MPR bisa berperan Kembali sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR baru ini sudah memiliki Utusan Politik yaitu Anggota DPR hasil Pemilu 2024, Utusan Daerah yang terdiri dari Anggota DPD dan Para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daeraj Otonom hasil Pemilu Legislatif dan hasil Pilkada tahun 2024 (termasuk mempertimbangkan bangsa-bangsa lama, suku dan adat nusatra yang masih eksis). Maka MPR melalui Ketetapan/TAP MPR membentuk Utusan Golongan dengan jumlah yang berimbang antara ketiaga Utusan tersebut di MPR RI;

Kedua, mengaktifkan kembali keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dalam UUD NRI 1945 Hasil Amandemen (yang tetap ada di judul Bab IV, tetapi keternagannya: Dihapus alias kosong). Maka kemudian melalui TAP MPR ditentukan siapa saja WNI yang dapat menjadi anggota DPA.

Dalam TAP MPR tentang DPA tersebut dapat ditetapkan tugas-tugasnya antara lain:
1) Melakukan pengkajian terhadap pasal-pasal yang meruapakan hasil amandemen dari UUD 1945;
2) Merumuskan Rancangan pasal-pasal yang merupakan pengganti dan/atau pemyempurnaan dari pasal hasil amandemen untuk disahkan oleh MPR;
3) Mengusulkan perubahan dan penataan pasal-pasal UUD 1945 yang baru dengan sistem Amandemen kepada MPR;
4) Menyusun Rancangan GBHN untuk diajukan kepada Sidang Umum MPR;
5) Melakukan seleksi terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh MPR hasila Pemilu yang akan dating.

Untuk melaksanakan tugas tersebut DPA dapat diberi kewenangan untuk membentuk Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang terdiri dari para cendikiawan pada bidang keilmuan yang relevan, kaum bijak dan para ‘prominent person‘.

Ketiga, melalukan pengkajian terhadap supra-sistem politik di Indonesia meliputi: Sistem-Kepartaian, Sistem-Pemilu, Sistem-Otonomi Daerah, Sistem Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Dan hasilnya ditetapkan dalam TAP MPR untuk dipedomani dalam penyusunan peraturan perundang-udangan oleh Pemerintah dan DPR.

Terima Kasih

Oleh Taufiequrachman Ruki dan M Arief Pranoto**

**Penulis adalah dua orang Purnawirawan Pati Polri berbeda generasi, tetapi tetap setia kepada Tiga Kesepakatn Utama yang menjadi spirit terbentuknya NKRI, yaitu Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan Undang Undang Dasar tahun 1945 secara utuh dan menyeluruh sebagaimana yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com