Membaca Proyek Strategis Nasional CQ PIK-2 (Sebagai Contoh) Dari Perspektif Power Ekonomi

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Geopolitik
Berkembang asumsi liar di publik, bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) itu replikasi —kalau tak boleh menyebut: ‘melayani’— langkah geopolitik ambisius Xi Jinping, Presiden Cina, yakni One Belt One Road (OBOR) atau sejak 2013 diubah namanya dari OBOR menjadi Belt and Road Initiative (BRI). Inilah asumsi liar pada prolog telaah kecil ini.
Nah, melalui pisau geopolitik, penulis coba membedah, apakah asumsi tadi benar-benar liar (hoax) tanpa rujukan, atau “jinak” alias benar adanya, oleh karena didukung fakta, data dan rujukan.
Pertanyaan selidik guna mengawali deskripsi berikut ialah, “Apa indikasi atau pertanda dari asumsi liar bahwa PSN dianggap replikasi dari BRI-nya China?”
Ada beberapa tanda, antara lain:
Pertama, bahwa BRI lahir pada 2013, sedang PSN terbit tahun 2016 melalui Perpres No 3/2016, kemudian diubah dengan Perpres No 58/2017, dan diperbarui lagi dengan Keppres No 56/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Ya. Antara BRI dengan Keppres No 3/2016 —aspek yuridis awal PSN— hanya berselang 3 (tiga) tahun;
Kedua, core business BRI ialah infrastruktur. Demikian pula dengan PSN, selalu menyasar pada infrastruktur;
Ketiga, lebih mendalam lagi, infrastruktur pada poin 2 di atas adalah pelabuhan laut, pelabuhan udara dst, termasuk transportasi darat. Tepatnya, pengelolaan simpul – simpul moda transportasi;
Keempat, untuk hal lain, bahwa PSN cenderung pada penguasaan teritori (occupation) kawasan pantai dengan open agenda pembangunan properti, misalnya, atau sarana olahraga, tempat wisata, kawasan ekonomi dan lain-lain.
Pertanyaan retorika muncul, setelah melihat empat poin di atas kita mulai berpikir ulang, “Apakah persepsi publik yang dinilai liar tentang ‘PSN replikasi OBOR atau BRI’ itu sekadar asumsi yang liar, agak liar, mulai jinak, atau jinak alias benar adanya?” Retorika ini tak perlu dijawab, agar telaah ini diperdalam.
Cina Meniru Pola British Geopolitics (BG) dalam Perang Candu
Tak pelak, selain Cina memiliki pengalaman geopolitik dahsyat dan membekas atas (kekalahan) pada Perang Candu, namun pengalaman tersebut ia petik pelajaran, dan sepertinya diterapkan dalam kebijakan OBOR atau BRI-nya di panggung geopolitik global dikemudian hari (sekarang).
Sekurang-kurangnya, ada beberapa hikmah pola yang diambil oleh Cina atas kekalahannya melawan Britania Raya dalam Perang Candu I (1839-1842) dan II (1856-1860). Pola geopolitik Inggris Raya dan sekutu dalam peperangan tersebut dikenal dengan istilah British Geopolitics (BG). Adapun anatomi garis besar BG sebagai berikut:
1. Kuasai atau caplok dahulu simpul-simpul transportasi, setelah itu merambah ke sektor lain. Dalam Perang Candu, ada sekitar 10-an pelabuhan laut termasuk Hongkong diserahkan oleh Cina melalui traktat kepada Inggris akibat ia kalah perang;
2. Dibuat gaduh (“lucu-lucuan”) di atas permukaan misalnya, rakyat dicekoki candu dan seterusnya sehingga pemudanya kehilangan daya juang dan daya lawan terhadap penjajahan di negerinya. “Sekali dayung dua pulau terlampaui”. Ya. Selain merusak generasi negara target dengan harga murah, juga menikmati hasil penjualan candu (money laundering);
3. Ketika perhatian publik sibuk memperhatikan apa yang terjadi di atas permukaan, sementara sumber daya alam (SDA) di bawah permukaan dieksploitasi sedemikian rupa. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah what lies beneath the surface dalam geopolitik. Di atas permukaan dibikin kegaduhan alias lucu-lucuan di satu sisi, sementara di bawah permukaan, SDA-nya disedot habis-habisan. Sun Tzu menyebutnya, Mengecoh Langit Menyeberangi Lautan.
Pertanyaan selidiknya, “Apakah Cina memakai pola BG di negara-negara target dalam langkah BRI-nya?” Simpan dahulu jawaban, kita perdalam telaah kecil ini.
Power Concept dalam Geopolitik
Lazimnya power concept dalam geopolitik ada tiga hal pokok, antara lain: 1 power militer; 2 power politik; dan 3 power ekonomi. Kendati kini telah berkembang hal-hal atau unsur lain yang tidak kalah penting seperti digital, kesehatan dan lainnya, namun kita fokus pada tiga power concept (konvensional) dalam geopolitik.
Jepang misalnya, ia mengkedepankan power ekonomi daripada power lainnya; Korea Utara lebih menonjolkan power militer; Cina lebih suka memakai power ekonomi dengan back up negara cq militer di belakangnya; dan Amerika Serikat (AS) kerap memakai ketiga power secara simultan dengan intensitas berbeda. Tergantung anatomi target dan masukan intelijen.
Dengan demikian, ‘menghitung langkah geopolitik’ suatu negara asing dari sisi ekonomi (bisnis) semata, sungguh langkah tak bijak, lemah lagi kurang pas. Munculnya istilah perang asimetris (asymmetrical war), ataupun smart power, neocortex war dan lainnya sebenarnya dalam rangka menampung manuver power nirmiliter (politik dan ekonomi) yang terus berkembang.
Inggris dan sekutu sewaktu menginvasi Cina tempo doeloe —Perang Candu— menggunakan power militer dengan pola BG alias British Geopolitics. Dan agaknya, Cina kini meniru pola BG tapi tidak melalui militer, namun secara (power) ekonomi. Hasilnya? Tanpa letusan peluru, Sri Langka memberi konsensi Pelabuhan Hambanthota selama 99 tahun ke China, dan seterusnya.
Sekali lagi, substansi pola BG ada dua poin pokok, yaitu:
* Caplok dahulu simpul-simpul transportasi; dan
* What lies beneath the surface. Di atas permukaan dibuat gaduh dan “lucu-lucuan”, di bawah permukaan dieksploitasi habis – habisan.
Tren Kolonialisme ala Barat dan Timur
Tak boleh dipungkiri, kecenderungan model kolonialisme yang dikembangkan oleh Barat cq AS dan sekutu ialah militer di depan membuka ladang-ladang (emas, minyak, gas dan mineral lainnya) didukung kaum pemilik modal di belakang; sedang model kolonialisme Timur cq Cina, misalnya, justru kebalikan model Barat, yaitu swasta atau pemodal di depan dengan back up negara cq militer di belakangnya.
Dan “kebijakan dwikewarganegaraan” cukup efektif dalam model kolonialisme ala Timur ini, termasuk skema investasi Public Private Partnership (PPP), ataupun Turnkey Project Management (TPM) dimana mulai top management, money, material dan seterusnya termasuk kuli-kulinya dibawa dari/oleh (negara) investor. Siapa berani menjamin, jika kuli-kuli itu bukan militer?
Nah, mencermati geliat PIK-2, Rempang Eco-City dan PSN lainnya, apakah tanda-tanda kolonialisme telah terlihat? Let them think let them decide.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com