Telaah Kecil dari Aspek Sejarah dan Perspektif Perang Asimetris
Beberapa waktu lalu beredar isu negatif dan framing media tentang tingkat Intelligence Quotient (IQ) atau Kecerdasan Intelektual rata-rata bangsa Indonesia konon sekelas simpanse alias monyet besar yaitu cuma berkisar (IQ) 78. Luar biasa. Betapa biadab cap dan stigma intelektual yang dilekatkan pada wajah bangsa ini.
Hingga kini, isu atau stigma tersebut ditelan publik nyaris tanpa kritik, tanpa selidik, dan tak ada kontra sama sekali. Sedihnya, isu dimaksud kerap kali justru dipakai beberapa publik figur menjustifikasi pendapatnya, bahkan dijadikan rujukan beberapa elit politik guna mengambil kebijakan publik. Untuk hal ini, nanti kita bahas di bawah.
Sebelum melangkah jauh, sebaiknya kita break down sejenak soal seluk beluk dan tingkatan IQ secara sepintas. Ya. IQ adalah kemampuan seseorang untuk menalar, belajar, memecahkan masalah, memahami gagasan, berpikir dan merencanakan sesuatu. Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah yang melibatkan logika.
Tingkatan IQ seseorang terbagi menjadi beberapa golongan, antara lain 1) 70 – 78: ini tergolong IQ rendah atau keterbekangan mental; 2) 80 – 90: IQ rendah yang masih dalam kategori normal; 3) 91 – 110: IQ normal/rata-rata; 4) 111 – 120: IQ tinggi dalam kategori normal; 5) 120 – 131: ini IQ superior; 6) 131 atau lebih: tergolong IQ sangat superior alias jenius, dan lain-lain.
Silakan bayangkan IQ-nya Albert Einstein yang memiliki skor 160, misalnya, atau Jacob Barnett (ber-IQ 176), Leonardo da Vinci (antara 180 – 220) dst, termasuk BJ Habibie, Presiden RI ke-3 yang ber-IQ 200. Dalam koridor IQ, mungkin mereka tergolong orang – orang super jenius yang pernah hidup di peradaban modern.
Lantas, ketika beredar framing media bahwa bangsa Indonesia rata-rata ber-IQ 78 —rendah atau keterbelakangan mental— bahkan dikatakan sekelas monyet besar atau simpanse, sebenarnya apa yang sesungguhnya terjadi (agenda) di balik stigma negatif intelektual itu?
Penulis tidak mengatakan hal tersebut sebagai neocortex war atau perang pemikiran, dimana neocortex war sendiri bagian dari asymmetric war atau perang asimetris (nirmiliter). Perang tanpa asap mesiu. Bukan. Sekali lagi, bukan! Meski nanti dalam pembahasan akan dikaitkan dengan pola-pola dalam perang asimetris yakni isu – tema/agenda – skema (ITS).

Kenapa demikian?
Sesuai clue di atas, terutama aspek sejarah (kenabian) bahwa stigma IQ 78 hanyalah olok-olok belaka. Misalnya dulu, Jahiliyah (era kebodohan) versus Peradaban Islam. Tatkala musuh – musuh Islam tidak dapat membendung gerak laju peradaban Islam, maka yang muncul kemudian cuma sekadar olok-olok, misalnya, Muhammad itu gila! Muhammad itu tukang sihir dan seterusnya. Kenapa? Selain kalah perang, musuh-musuh Islam kala itu juga kalah dalam hal ilmu pengetahuan, adab, budaya dan seterusnya. Semakin lama Islam dan peradabannnya kian berkembang di Jazirah Arab. Seyogianya, di dalam peperangan — ilmu pengetahuan harusnya dikontra dengan ilmu, budaya melawan budaya, adab versus adab dan lain-lain.
Singkat cerita, ketika yang muncul hanya olok-olok belaka maka itu bermakna, selain pihak lawan sudah kehabisan amunisi dalam berperang, juga “hari kehancuran”-nya sudah dekat. Sebab, semua ‘pertempuran’ telah dilalui, dan kalah! Makanya, mereka cuma bisa olok-olok semata karena sudah tidak punya daya dan upaya.
Hidup itu perulangan. History repeats itself. Sejarah berulang dengan sendirinya dengan pola yang sama, hanya waktu, aktor, tempat dan kemasan berbeda. Demikian dengan stigma IQ 78 yang disematkan pada segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Itu cuma olok-olok jelang ‘kehancuran lawan’ daripada Indonesia. Jadi, stigma IQ 78 hanya framing propaganda, mereka tidak punya data dan tak masuk logika.
Silakan kontra data ini:
1. Bahwa hanya Indonesia satu-satunya negara di Asia yang memperoleh kemerdekaan melalui peperangan (kecuali Thailand tak pernah dijajah), bukan hadiah dari si penjajah;
2. Hampir semua sumber daya (alam, hayati, kelautan dll) yang dibutuhkan dunia dimiliki serta berserak di Indonesia, sedang negara lain hanya beberapa saja. Dan inilah takdir geopolitik yang belum dimaksimalkan setelah Indonesia Merdeka 1945;
3. Bagaimana soal IQ alias Kecerdasan Intelektualnya? Bukankah putra-putri Indonesia setiap lomba ilpengtek global selalu merebut nobel (nomor satu), bahkan kemarin anak SMP Tangerang atas nama Putra Aji Adhahari mampu menjebol keamanan maksimal dari Situs NASA milik Amerika, sedang ia belajar secara otodidak;
4. Coba tanyakan kepada para hacker dunia, peretas dari negara mana yang canggih dan ditakuti? Jawabannya pasti, Hacker Indonesia!
5. Menurut Prof Arysio Santos dari Brazilia dalam bukunya berjudul Atlantis, the Lost Finally Found, bahwa Indonesia selain tempat lahir peradaban dunia, juga nenek moyang bangsa-bangsa;
6. Menurut Stephen Oppenheimer dalam bukunya bertajuk Eden in the East, bahwa benua yang tenggelam di Asia Tenggara dan Sundaland sebagai induk peradaban dunia. Dan tesis Oppenheimer mengarah kepada Indonesia;
7. Berdasarkan penelitian ilmiah, bahwa Piramida Gunung Padang ternyata lebih tua 3000-an tahun dibanding Piramida Mesir,
8. Dan lain-lain.
Jadi, sekali lagi, stigma rata-rata IQ 78 terhadap bangsa ini tak punya data serta hanya olok-olok belaka. Arti historinya, apabila merujuk sejarah kenabian tempo doeloe memiliki makna bahwa saat kehancuran bagi lawan-lawan Indonesia sudah dekat. Tinggal menunggu waktu.
Sekarang membahas sekilas tentang perang asimetris yang berpola ITS (isu – tema/agenda – skema), kemudian dikaitkan dengan stigma 1Q 78 di atas.
Dalam neocortex war yang merupakan bagian peperangan asimetris, bahwa isu atau persoalan yang muncul di internal negara target contohnya, ialah hal-hal yang harus diselesaikan melalui agenda/tema, misalnya begini, isu tentang banyaknya pabrik tekstil bangkrut dan PHK puluhan ribu pekerjanya, harus diagendakan dengan mengundang investor tekstil dari asing untuk mendirikan pabrik tekstil di Indonesia sebagai solusi. Atau, ketergantungan impor beras terhadap asing harus dijawab dengan cara mengundang petani-petani asing guna memproduksi beras dalam negeri melalui penyiapaan lahan sejuta hektar untuk petani asing.
Nah, dari isu dan agenda di atas, kelak skemanya apa?
Minimal ketergantungan tekstil dan ketahanan pangan (beras) dalam genggam asing, sedang maksimalnya kedaulatan bangsa dan negara ini telah tergerus karena hajat hidup orang banyak tergantung oleh tangan-tangan asing yang justru ‘dipersilahkan’ mengelola sumber-sumber produksi yang seyogianya DIKUASAI oleh negara vide Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 Naskah Asli. Itu hanya satu-dua contoh saja, banyak contoh lainnya. Seperti energi misalnya, atau kelistrikan dan lain-lain.
Termasuk bobolnya Pusat Data Nasional, dimana si peretas meminta tebusan Rp 130 Miliar. Sungguh gila, negara kok kalah dengan si peretas (preman)?
Dan isu ini kelak akan berujung pada agenda mengundang ahli IT asing guna merawat dunia siber Indonesia. Entah dari negara mana lagi yang akan diundang, setelah “Starling”-nya Elon Musk diperbolehkan ngecer (bukan investasi) di Indonesia.
Tampaknya, inilah bacaan penulis di balik isu IQ 78 di Indonesia.
Tak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten, hanya sekedar sharing wawasan. Diperlukan kritik dan saran guna menyempurnakan telaah kecil ini.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments