Sudah banyak kajian dan telaah mengenai sepak-terjang dan perilaku Presiden Amerika Donald Trump yang tidak lazim dan kerap kali bahkan tidak masuk akal. Namun masih sedikit yang mengkaji dan menelaah skema dan strategi di balik manuver diplomatik Donald Trump yang sering kali tak terduga itu.
Penjelasan paling lugas adalah, manuver diplomatik Trump yang terkesan serampangan dan sembrono itu, bukannya tanpa panduan dari sebuah rencana induk. Lantas, apakah itu? Trump tampaknya menghidupkan kembali strategi kolonialisme klasik yang diterapkan Inggris pada abad ke18 dan utamanya abad ke-19. Yang mana Inggris menciptakan sistem kolonialime dan imperialisme yang terpusat dengan menjadikan Inggris sebagai negara adikuasa tanpa tandingan di kawasan Eropa. Inilah strategi yang diterapkan Inggris melalui Konvensi Wina pada 1815 serentak dengan tumbangnya Pemimpin Prancis Napoleon Bonaparte. Sejak itu Inggris merupakan negara kolonial terbesar di kawasan Asia dan Afrika. Meskipun Prancis dan Belanda yang juga merupakan negara kolonial, harus puas sebagai mitra yunior Inggris.
Dalam konteks inilah Trump berupaya menghidupkan kembali strategi terpusat Inggris dalam melestarikan kolonialisme dan imperialisme di Asia, Afrika dan Timur Tengah, dengan memaksakan kompromi kepada negara-negara kolonial pesaingnya seperti Prancis, Italia dan Belanda, harus puas sebagai mitra yunior Inggris. Pertanyaan pentingnya di sini, negara-negara mana saja yang sedang dipaksa melalui manuver diplomatik Trump sebagai negara-negara mitra yunior AS untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi global AS di pelbagai kawasan dunia? Eropa, Jepang dan Korea Selatan, itulah negara-negara yang sedang dipaksa oleh Trump tunduk sebagai mitra-mitra yunior AS dalam mempertahankan hegemoni dan dominasi AS dalam konstelasi geopolitik internasional.
Satu diantara taktik paling mencolok dalam upaya memaksa Eropa, Jepang dan Korea Selatan sebagai mitra yunior sebagai sesama negara penjajah adalah: memaksa negara-negara Eropa, Jepang dan Korea Selatan untuk memindahkan sentra-sentra industri unggulan negara-negara tersebut ke AS. Dengan dalih untuk membangun kembali kemandirian industri AS, Trump memaksa negara-negara Eropa Barat yang selama ini menjadi mitra strategisnya sejak era Perang Dingin pada 1950an, untuk melakukan de-industrialisasi ekonomi. Padahal tujuan strategis Trump sejatinya sama saja seperti tujuan strategis Inggris semasa era kolonialisme klasik: Memperkuat Neraca Pembayarannya melalui Skema menjajah dan memperluas area kekuasaannya ke negara-negara lain di luar kawasan Eropa. Inilah yang kerap saya sebut dengan istilah Sistem Ekonomi Merkantilisme.
Skema Trump menghidupkan kembali skema Ekonomi Merkantilisme yang mana tercipta persenyawaan kimiawi antara birokrasi pemerintahan dan swasta untuk mewujudkan kemakmuran dan kejayaan negara. Bukan untuk memakmurkan dan menjayakan masyarakat melainkan untuk memakmurkan dan menjayakan negara dengan mengeksploitasi negara-negara jajahannya.
Sebagai konsekwensi logis dari skema tersebut seperti yang pernah diterapkan oleh Inggris sebagai kekuatan imperialisme terbesar pada abad ke-19, AS juga menerapkan strategi yang sama bukan saja terhadap negara-negara jajahannya di Asia, Afrika dan Timur Tengah melainkan juga terhadap Eropa, Korea Selatan dan Jepang.
Satu diantara ilustrasi paling nyata belakangan ini adalah upaya AS untuk mengendalikan perekonomian India, sehingga pada perkembangannya malah mendorong India untuk keluar dari orbit pengaruh diplomatik AS. Jadi meskipun Jepang, Korea Selatan, dan India, sejatinya merupakan mitra-mitra stategis AS sejak berlangsungnya Perang Dingin, dan juga India yang sebenarnya sejak Pasca Perang Dingin berakhir mencoba membangun Strategi Perimbangan Kekuatan antara blok AS-NATO versus Cina-Rusia, namun watak AS untuk memaksakan Skema Neokolonialisme-nya terhadap negara-negara di Asia, pada perkembangannya justru mendorong negara-negara sekutu potensial AS seperti India, untuk mengambil jarak atau kalau tidak bisa dikatakan menolak, untuk menjadi sasaran neokolonialisme AS dan mitra yunior AS.
Banyak data-data menarik yang disampaikan Michael Hudson dalam artikelnya di:
Michael Hudson: Trump attacks Europe, Korea, Japan, forcing them to subsidize & move industry to US
Padahal India sampai tingkatan tertentu sebenarnya masih bisa menerima beberapa aspek substansial dari skema Neoliberalisme. Namun oleh sebab watak AS yang selalu memaksakan negara mitranya untuk menjadi mitra yunior, India akhirnya menolak skema Trump. Sebagai alternatifnya, India dan Uni Eropa bersepakat menjalin kerja sama bidang perdagangan.
Manuver diplomatik Trump yang dipandu oleh gagasan menghidupkan kembali Sistem Ekonomi Merkantilisme (sistem ekonomi nasionalis yang fokus pada peningkatan kekayaan negara melalui akumulasi logam mulia, terutama emas dan perak, dengan memaksimalkan ekspor dan meminimalkan impor) dengan disertai taktik memaksa negara-negara Eropa, Korea Selatan, Jepang dan India, untuk bergabung membantu AS menghidupkan kembali misi ekonominya, bukankah hal ini malah semakin mendorong negara-negara sekutu potensial maupun sekutu lama AS untuk menjauh dari orbit pengaruh AS?
Apakah AS sedemikian merasa terancam dengan keberadaan dan kiprah blok baru perdagangan BRICS sehingga Trump harus menghukum Uni Eropa dengan menaikkan tarif bea impor hanya karena Uni Eropa membiarkan India menjalin kerja sama ekonomi yang cukup strategis dengan India terkait pembelian minyak Rusia? Kalau memang seperti itulah motif AS, yaitu menegakkan kendali kekuasaan hegemoniknya di perlbagai kawasan, merupakan hal krusial untuk mencermati manuver diplomati AS dalam memaksa Jepang agar mengenakan kenaikan tarif dalam perdagangannya dengan Cina, pesaing utama AS di Asia Pasifik.
Katakanlah Jepang menuruti kemauan AS, dan Cina kehilangan pasarnya di Jepang, bukankah akan melemahkan perekonomian sekutu-sekutunya di Eropa, Asia Timur yang mana Jepang dan Korea Selatan merupakan aktor-aktor kunci andalan AS, maupun negara-negara satelitnya yang berbahasa Inggris seperti Kanada, Selandia Baru dan Australia? Fenomena seperti itu pada perkembangannya akan memicu sentimen nasionalisme sebagai reaksi terhadap sikap hegemonik AS yang bermaksud melestarikan hegemoni globalnya di perlbagai kawasan dunia. Menguatnya tren nasionalisme di Eropa pada perkembangannya dapat mende-dolarisasi perekonomian nasionalnya masing-masing.

Indikasi semakin parahnya komplikasi hubungan AS dengan sekutu-sekutu lamanya, seperti Inggris dan Jerman, memang sudah semakin terlihat akhir-akhir ini. Yang mana para calon pemimpin pemerintahan yang dipandang publik terlalu pro AS dalam dalam pengaruh kuat Washington terkait bidang kebijakan luar negerinya, beberapa jajak pendapat/polling menunjukkan semakin merosotnya popularitasnya di mata publik Inggris.
Apalagi serentak dengan semakin menguatnya sentimen nasionalisme sebagai reaksi terhadap watak neokolonialsme AS, Uni Eropa menyerah terhadap ancaman tarif Trump sebagaimana disampaikan oleh Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen.
Sikap Uni Eropa yang sedemikian mudah menyerah terhadap manuver Trump tersebut, pada perkembangannya bisa menghancurkan perindustrian Eropa yang sudah mapan. Betapa tidak. Ketika Departemen Perdagangan AS akan menerapkan tarif baja dan aluminium sebesar 50% ini terhadap impor industri motor, peralatan, serta peralatan pertanian dan konstruksi dari Eropa dan negara lain. 30% impor mesin AS dari Uni Eropa kini dikenakan tarif 50% atas kandungan logam produk tersebut, bisa menimbulkan dampak merusak bagi para industrialis di Eropa.
Krone Group, sebuah perusahaan yang memproduksi mesin panen pertanian, telah memberhentikan 100 karyawannya dan dilaporkan mengalihkan ekspornya yang sudah dikirim ke Amerika Serikat. Afiliasi John Deere di Jerman juga terkena dampak serupa, karena 20% ekspornya dilaporkan dijual di Amerika Serikat. Jerman dikabarkan bersikeras pada batas tarif AS sebesar 15% yang sama dengan yang diberlakukan Trump untuk impor farmasi, semikonduktor, dan kayu.
Tren global yang penting kita cermati sebagai akibat dari manuver diplomatik Trump ke depan adalah, potensi semakin menguatnya partai-partai sayap kanan di Eropa karena tiba-tiba memperoleh amunisi politik untuk mengeritik para pemimpin pemerintahan di Eropa yang selama ini condong mematuhi arah kebijakan luar negeri yang digariskan dan ditetapkan oleh Washington.
Lantas, bagaimana halnya dengan Jepang dan Korea Selatan yang selama ini merupakan sekutu tradisional AS sejak Pasca Perang Dunia II? Dalam kasus ini, watak Neokolonialisme yang dipertunjukan AS terhadap negara-negara Asia nampak jelas. Meskipun Jepang dan Korea sejatinya sekutu AS, namun watak hegemonik sepertinya tetap memandang Jepang dan Korea Selatan sebagai obyek Neokolonialismenya di Asia.
Washington menuntut perusahaan mobil Korea Selatan, Hyundai, mengalihkan produksi ke AS dengan berinvestasi dalam pabrik di negara bagian Georgia, layanan imigrasi AS ICE mendatangi pabrik yang sedang dibangun dan mendeportasi sekitar 475 karyawan (300 di antaranya dilaporkan berkebangsaan Korea) yang telah dipekerjakan untuk menyediakan tenaga kerja khusus.
Padahal Hyundai telah menginvestasikan $20,5 miliar di kompleks seluas 2.900 hektar tersebut, dan dijadwalkan untuk menginvestasikan $21 miliar lagi antara tahun 2025 dan 2028. Produsen baterai mobil listrik Hyundai, LG Energy Solution, telah menghabiskan $12,6 miliar untuk produksi.
Meskipun demikian, Trump tetap saja mengenakan tarif 25% pada ekspor mobil Korea Selatan ke Amerika Serikat, yang mengakibatkan kerugian Hyundai sebesar $600 juta pada kuartal kedua tahun 2025.
Tak pelak lagi gaya kepemimpinan gangster ala Trump, pada perkembangannya telah menciptakan suatu pola intimidasi, pemerasan dan penyanderaan terhadap para pelaku bisnis Korea Selatan. Sehingga dengan memaksa Korea Selatan memindahkan sentra industrinya ke AS, Washington berhasil memaksa menetapkan dan mengubah ketentuan investasi mereka sesuka hati, mengetahui bahwa investor asing tidak siap untuk begitu saja pergi dan kehilangan investasi mahal mereka.
Tentu saja model gaya kepemimpina gangster ala Trump tersebut akan bukan saja akan diterapkan terhadap Korea Selatan melainkan juga terhadap Eropa dan Jepang. Yang tujuan strategisnya adalah mengintimidasi untuk agar Eropa, Korea Selatan dan Jepang terpaksa melakukan investasi semacam itu sebagai bagian dari kebijakan pemerasan keuangan yang diadopsi Trump.
Inilah model serupa yang diterapkan Trump terhadap Jepang. Pertama, mengancam dan mengintimidasi: akan menciptakan kekacauan dalam perekonomian Jepang dengan mengenakan tarif tinggi pada perdagangannya dengan AS.
Trump juga menuntut pengembalian investasi Jepang dalam produksi baja AS melalui pembelian US Steel senilai $15 miliar oleh Nippon Steel. Pemerintah AS menerima saham emas gratis dari perusahaan tersebut untuk memastikan kendali AS atas operasi perusahaan.
Melalui serangkaian cerita tersebut tadi, nampak jelas AS belum siap untuk menjalin kerja sama internasional yang setara dan saling menguntungkan dengan negara-negara mitranya. Apalagi terhadap negara-negara yang saat ini tergabung dalam blok ekonomi-perdagangan BRICS maupun Shanghai Cooperation Organization (SCO). Apalagi ketika BRICS pada perkembangannya kemudian, berhasil tampil untuk menawarkan tatanan alternatif di luar lingkup hegemoni AS-Barat seperti sebelumnya. Yang itu berarti, menyiratkan telah berakkhirnya hegemoni global AS dan Barat.
Nampaknya, bukan hanya Trump, di balik itu ada suatu lapisan pemain tingkat atas di AS dan Eropa yang mana Trump menjadi titik pusat dan titik temu dari jejaring para pemain lama yang bermaksud mempertahankah hegemoni global yang bersifat Unipolar alih-alih Multipolar.
Dengan itu, Trump sejatinya hanya sekadar menunda kekalahan dan keruntuhan tatanan politik dan ekonomi dunia lama.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)