Dari perspektif geopolitik, apapun jenis peperangan atau konflik, ia hanyalah sebuah agenda/tema semata. Tak lebih. Entah konflik terbuka secara militer, misalnya, atau asymmetric warfare alias perang nirmiliter, ataupun proxy war, perang hibrida dan lain-lain. Sekali lagi, konflik hanya agenda.
Secara geopolitik, perang merupakan implementasi geostrategi, sedang tujuan utama ialah meraih geoekonomi. Urutannya begini: geopolitik – geostrategi – geoekonomi. Jangan terbalik dan/atau dibolak-balik. Nanti bisa berbeda arti, maksud dan makna. Geopolitik itu mapping sumber daya; geostrategi itu agenda atau cara meraih target; dan geoekonomi adalah tujuan. Simpelnya begitu.
Bila cermat dan jeli membuka lembar demi lembar sejarah, sesungguhnya hampir tidak pernah ada yang namanya benturan peradaban (clash of civilization) baik di level global, regional ataupun di tingkat nasional/lokal. Bahwa benturan yang kerap terjadi merupakan hasil rekayasa (geo) politik guna membenturkan sesama entitas, contohnya konflik Syi’ah melawan Sunni, ataupun antarideologi, konflik antaragama dan seterusnya dalam kerangka devide et impera.
Contoh. Pada Perang Dunia I (PD I) yang dibenturkan adalah Kapitalisme versus Emperium/Kekaisaran; dalam PD II yang diadu ialah Kapitalisme melawan Fasisme; sedang agenda di Perang Dingin (Cold War) menghadapkan antara Kapitalis versus Komunis.
Merujuk tesis Samuel P Huntington di buku Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), yang dibenturkan pasca Perang Dingin adalah Peradaban Barat versus Islam (militan). Narasi konflik pun direkayasa. Lalu, merebak isu radikalisme Islam.
Itulah beberapa tema dan/atau agenda benturan yang telah terjadi pada PD I, PD II, Cold War, dan benturan yang kini sedang berlangsung —Barat versus Islam— di muka bumi. Akan tetapi, sekali lagi, bila jeli dan arif mencermati bahwa agenda dimaksud cuma open agenda. Bagian luar skenario. Jangan tertipu oleh kulit. Ada hidden agenda di sana.
Lantas, apakah hidden agenda dan hakiki benturan yang sesungguhnya?
Geopolitik mengajarkan, bahwa tampilan dari semua dinamika isu, tema, agenda dan seterusnya yang muncul di atas permukaan hanya geostrategi (cara) dari sebuah kepentingan guna merebut serta meraih apa yang disebut geoekonomi. Poin inti geoekonomi itu ialah water, food and energy security. Jaminan pasokan atas kebutuhan air, pangan dan energi di sebuah negara.
Dulu. Di zaman penjajahan klasik, arti geoekonomi itu identik dengan rempah – rempah. Ia diperebutkan oleh berbagai negara. Jika di Barat ada istilah Gold (Kekayaan), Glory (Kejayaan), and Gospel (Penyebaran Agama), itu yang tampak di permukaan sedanf muaranya tetap geoekonomi. Kemarin, makna geoekonomi sudah bergeser sesuai perkembangan zaman, dari rempah-rempah ke emas, minyak dan gas bumi. Nah, di era digital kini, geoekonomi tak ada beda dengan narasi-narasi di atas, tetapi plus ‘mineral lain’ (rare earth, nikel dan seterusnya) termasuk data-data. Nah, geoekonomi inilah yang diperebutkan di panggung geopolitik global atas nama national interest atau kepentingan nasional para pihak.
Retorikanya adalah, mungkinkah Belanda dahulu mau menjajah Indonesia jika Bumi Pertiwi ini cuma penghasil ketela rambat; atau, apakah Irak bakal diserbu NATO (2003) dengan berbekal isu Saddam Hosein menyimpan senjata pemusnah massal (padahal, isu hoaks) bila Irak cuma penghasil nasi kebuli; atau, apakah Timor Timur akan lepas dari NKRI, jika tidak ditemukan minyak di Celah Timor; atau, mungkinkah Syria akan terus bergolak bila geoposisinya tidak di persilangan pipa minyak dan gas (geopolitical pipeline) lintas negara, bahkan antarbenua? Dan atau, atau, atau lainnya.
If you would understand world geopolitics today, follow the oil, kata Deep Stoat, pakar strategi Amerika Serikat (AS). Bila ingin memahami geopolitik hari ini ikutilah aliran minyak. Sebab di situ, niscaya ada tabrakan kepentingan nasional dan kekuasaan dengan berbagai tema atau agenda. Henry Kissinger menambahkan dogma dalam geopolitik:
“Control oil and you control nation, control food and you control the peoples.”
Ya. Mereka saling intip, kadang bersinergi, namun kerap beradu kuat alias berupaya memonopoli produksi dan distribusi. Indikasinya jelas, misal, jika terjadi konflik di antara mereka artinya belum deal antarpara pihak. Pun sebaliknya, apabila tidak terjadi konflik, itu berarti masing-masing kepentingan (sudah) terakomodir. Clear.
Pertanyaannya adalah, “Bukankah setiap negara bangsa telah membawa takdir (geopolitik) masing-masing, kenapa harus saling berebut?” Sampai di sini memang belum timbul persoalan. Permasalahan mencuat ketika timbul hal-hal sebagai berikut, misalnya:
1. Ada organisme penganut paradigma dominasi eksploitatif yang ingin memonopoli sumber daya atas takdir geopolitik negara lain terkait geoekonomi;
2. Faktor nasionalisme. Ya. Nasionalisme di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan nasionalisme di negara-negara Barat. Di Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan agresif yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya.
Nasionalisme di Barat merupakan kakek dari imperialisme, yang bapaknya adalah Kapitalisme. Di Asia dan Afrika dan saya kira juga di Amerika Latin, nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme (poin 2 ini cuplikan pidato Bung Karno di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960).
Merujuk hal-hal di atas, bahwa agenda benturan peradaban yang pernah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi nanti — bukanlah sebuah prediksi atau hasil analisa strategis, tetapi lebih condong pada propaganda, atau hasil rekayasa dimana ujungnya adalah (geostrategi) merambah kedaulatan negara lain guna mencaplok geoekonomi negara target. Sedang hakiki skema yang berlangsung ialah benturan antara paradigma dominasi eksploitatif versus paradigma (langit) yang berkeadilan dan berkemanusian.
Teringat ucapan bijak Mahatma Gandhi:
“Bumi ini sebenarnya cukup bahkan berlebih untuk memberi makan semua penduduk bumi. Namun menjadi tidak cukup memberi makan satu orang yang rakus.”
Uraian sepintas di atas, sekadar histori dan kronologi dalam dinamika geopolitik. Lantas, bagaimana ujud pertarungan alias modus tempurnya?
Modus pertarungan secara militer, misalnya, ketika Saddam Hosein dulu distigma menyimpan senjata pemusnah massal oleh Barat. Itulah isu awal guna membentuk atau mempengaruhi opini global; kemudian penyerbuan koalisi militer (NATO) pimpinan AS ke Irak merupakan agenda; sedangkan kavling-kavling sumur minyak adalah skema kolonialis. Itulah pola ITS (isu, tema/agenda, skema) dalam “aneka pertempuran,” dan banyak lagi contoh lainnya.
Bagaimana dengan model peperangan nirmiliter atau asymmetric warfare?
Tak dapat dielak, Reformasi 1998 yang berujung Amandemen UUD 1945 (1999-2002) ialah “buah” dari peperangan asimetris yang digelar oleh AS cq National Democratic Institute (NDI) pimpinan Madane Albright yang dibantu oleh “londo blangkonan” di Bumi Pertiwi. Tanpa letusan peluru, serangan nirmiliter tersebut tepat mengena di jantung negara (konstitusi/UUD).
Salamuddin Daeng menyebut peristiwa reformasi silam sebagai transfer of power dari tangan negara pindah ke tangan korporasi (swasta). Ekonomi sebelumnya berbasis kekeluargaan, gotong royong dan lain-lain vide Pasal 33 Ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945 Naskah Asli, kini berubah menjadi ekonomi liberal dan kapitalistik vide Pasal 33 Ayat 4 dan 5 UUD NRI 1945), ayat-ayat tambahan pada UUD Produk Amandemen 1999-2002 dan UU turunannya. Itu poin pokoknya.
Inilah bacaan sepintas soal varian peperangan yang ada (being), nyata (reality) dan berada (existance) di muka bumi.
Let them think let them decide!
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments