Dalam masa kampanye presiden AS, Joe Biden berjanji akan membuka kepada publik dokumen-dokumen rahasia terkait kebijakan luar negeri dan campurtangan AS di kawasan Amerika Latin semasa Perang Dingin. Rupanya ini terkait dengan janji mantan Presiden Barrack Obama pada 2016 ketika berkunjung ke Argentina, akan membuka dokumen-dokumen rahasia keterlibatan AS dalam mendukung rejim pemerintahan diktator dan pelanggaran hak-hak asasi manusia di Argentina.
Seperti yang ditulis oleh Ramona Wadi dalam artikelnya yang bertajuk:
Declassified Documents Are Only One Part of U.S. Accountability in Latin America
diperkirakan sekitar 30 ribu warga sipil Argentina mati terbunuh atau hilang selama pemerintahan rejim Rafael Fidela. Berdasarkan dokumen-dokumen yang sudah dirilis ke publik, menyingkap keterlibatan AS melalui Operasi Condor dalam melenyapkan secara sistematis para aktivis oposisi terhadap rejim Rafael Fidela.
Apa yang disebut sebagai the death flight, pemerintah AS ikut memfasilitasi pengadaan helikopter untuk digunakan membuang orang-orang yang dianggap kelompok oposon ke tengah laut. Singakt cerita, selain buat sarana membunuh, juga digunakan buat melenyapkan lawan-lawan politik rejim Rafael Fidela.
Namun Ramona Wadi mengingatkan bahwa meskipun Biden berniat untuk membuka dokumen-dokumen keterlibatan AS di Amerika Latin, namun unsur-unsur sayap kanan di Amerika Latin seperti politisi sayap kanan Brazil Jair Bolsonaro, nampaknya bakal keberatan. Sementara itu unsur-unsur pemerintahan sayap kiri tengah maupun kanan yang pada masa itu diuntungkan oleh pemerintahan rejim diktator di Amerika Latin, mungkin lebih suka untuk tetap menjalin persekutuan dengan Washington.
Amerika Latin sepertinya tidak perlu solusi dari Amerika Serikat. Sebab pendekatan Washington masih tetap sama seperti dulu. Apa yang dikenal dengan the School of Americas atau WHINSEC, masih memberikan faslitas pelatihan militer terhadap angkatan bersenjata negara-negara Amerika Latin. Misalnya pasukan khusus Chile yang membunuh seorang aktivis Mapuche Camilo Catrillanca, ternyata mendapat pelatihan militer oleh tentara AS dan Kolumbia.
Embargo AS terhadap Kuba yang diberlakukan sejak 1960, masih tetap belum dicabut sampai sekarang. Bahkan lingkupnya diperluas dengan ditrapkannya sanksi ekonomi-perdagangan sejak 1962. Begitu pula Guantanamo masih tetap dikuasai oleh angkatan bersenjata Amerika, sebagai pangkalan militer maupun tempat tahanan bagi orang-orang yang dianggap sebagai teroris.
Nampaknya Amerika masih tetap menerapkan pendekatan kendali kekuasaan dan pengawasan yang ketat atas negara-negara Amerika Latin, sehingga perjuangan para aktivis hak-hak asasi manusia dalam menegakkan keadilan, tetap mendapatkan hambatan baik dari pemerintah maupun sistem peradilan di negara-negara Amerika Latin itu sendiri.
Sehingga pernyataan apologi dari pemerintah AS dirasa hanya sekadar formalitas belaka, tanpa ditindaklanjuti melalui pertanggungjawaban atau akuntabilitas untuk membawa para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut ke hadapan hukum dan pengadilan. Sepertinya ada jurang menganga antara hak untuk mendapatkan keadilan dari para korban dan lip-service pernyataan diplomatik semata.
Diolah kembali oleh Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)