Memilih Selandia Baru Sebagai Lokasi Peluncuran Satelit AS, Kawasan Pasifik Terancam Menjadi Zona Militer

Bagikan artikel ini

Terbetik kabar bahwa Angkatan Bersenjata Amerika Serikat telah mengadakan pembicaraan dengan Selandia Baru berkaitan dengan keinginan AS memperluas opsi peluncuran pesawat nir-awak (satelit) berupa Kendaraan Peluncur Antariksa bertenaga roket yang lokasi peluncurannya dari Selandia Baru. Benarkah Amerika bermaksud meluncurkan pesawat antariksa tak berawak dari Selandia Baru?

Memang masih perlu dicermati secara lebih mendalam. Namun ada satu fakta penting  yang perlu disorot. Rocket Lab, yang didirikan di Selandia Baru dan terdaftar di New York, sebelumnya telah diluncurkan dari Mahia untuk badan satelit mata-mata Amerika, National Reconnaissance Office. Perusahaan ini memiliki banyak kontrak di AS untuk peluncuran bagi Pentagon. Dengan itu, berita yang sempat dilansir beberapa media baru-baru ini terkait keinginan AS memperluas opsi peluncuran, termasuk Selandia Baru, sepertinya masuk akal juga.

Jika rencana ini terjadi, perlombaan senjata di ruang angkasa bakal semakin meningkat eskalasinya. Sehingga ambisi geopolitik pemerintah dan kepentingan bisnis swasta (korporasi-korporasi di sektor industri strategis pertahanan) semakin bersenyawa. Dalam konteks inilah, Selandia Baru sebagai salah satu sekutu tradisional AS seperti juga halnya Australia, menjadi pilihan utama AS saat ini.

Pemain andalah Selandia Baru di sektor antariksa adalah Rocket Lab. Didirikan pada tahun 2006, perusahaan antariksa terpadu ini terdaftar di NASDAQ pada tahun 2021. Pada akhir tahun 2024, perusahaan ini bernilai sekitar 8 miliar dolar AS. Meskipun kantor pusatnya berada di Amerika Serikat, Rocket Lab juga beroperasi di Kanada dan mempekerjakan sekitar 700 dari 2.000 staf globalnya serta lokasi peluncuran utamanya di Selandia Baru. Baru-baru ini, perusahaan ini juga mengumumkan akuisisi pemasok komunikasi optik asal Jerman, Mynaric.

Baca:

US wants to launch more satellites from NZ

Selandia Baru tampaknya memanfaatkan betul Kampanye Perang Dagang yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump terhadap Republik Rakyat Tiongkok maupun negara-negara pesaing Amerika lainnya. Sehingga Rocket Lab memutuskan terlibat dalam investasi asing yang besar dan mendiversifikasi operasinya di seluruh AS, Selandia Baru, Kanada, dan Eropa.

Adapun ditelaah dari sudut pandang kepentingan strategis AS, peluncuran lebih banyak satelit dari Selandia Baru sebagai lokasi peluncuran, merupakan sasaran strategis. Memang hingga kini belum bisa dipastikan jenis satelit apa yang mungkin ingin diluncurkan dari Selandia Baru, namun Pentagon (Kementerian Pertahanan AS) telah mengisyaratkan selama beberapa tahun belakangan ini, minatnya untuk mendiversifikasi peluncuran ke langit belahan bumi selatan yang cerah, dan tempat lain di luar AS. Bahkan Kongres Amerika sempat memerintahkan sebuah laporan dua tahun lalu ihwal manfaat menggunakan pelabuhan antariksa negara mitra untuk peluncuran cepat dalam perang atau krisis lainnya.

Sayangnya saat itu masih berupa sinyalemen dan spekulasi, namun saat ini boleh dikatakan sudah merupakan sesuatu yang faktual, menyusul pertemuan para pejabat senior pemerintah Selandia Baru dengan Brigadir Jenderal Angkatan Bersenjata Luar Angkasa AS Kristin Panzenhagen.

Dalam wawancara dengan lembaga pemikir Mitchell Institute, Brigadir Jenderal Kristin Panzenhagen mengatakan: “Kami tengah menjajaki kemitraan internasional sebagai cara potensial untuk mengantarkan satelit kami ke orbit.” Frase kata Kemitraan Internasional dalam konstelasi persaingan global AS versus Cina yang semakin menajam di Asia Pasifik saat ini, terdengar seperti sebuah Persekutuan Militer atau Pakta Pertahanan ala Asia Pasifik yang berkedok Kemitraan Internasional.

Dan tampaknya memang seperti itu adanya, ketika Brigadir Jenderal Kristin Panzenhagen lebih lanjut mengatakan bahwa AS telah mengadakan pembicaraan dengan beberapa sekutu dan mitra. Dengan menyebut Jepang sebagai rujukan, tampak jelas AS berupaya memperluas rantai persekutuan di Asia Pasifik bersama Selandia Baru di bidang antariksa atau ruang angkasa.

Penggunaan Pelabuhan Antariksa sebagai lokasi peluncuran, tersirat dari pernyataan Brigadir Jenderal Kristin Panzenhagen lantaran Inggris, yang merupakan negara induk dari Australia dan Selandia Baru, sampai sekarang belum punya Pelabuhan Antariksa, meskipun kabarnya sekarang sedang membangun enam Pelabuhan Antariksa.

Bagi Amerika hal ini menjadi sebuah momentum yang amat menguntungkan ketika saat ini dalam menghadapi Cina sebagai negara adikuasa pesaingnya, berupaya memperkuat keunggulannya di ruang angkasa. Maka program militerisasi ruang angkasa meniadi prioritas Pentagon. Sehingga secara gencar mendesak Kongres agar meningkatkan jumlah anggaran pertahanan di bidang antariksa.

Dari sinilah AS melihat peluang untuk membantu erancang pelabuhan antariksa baru di lepas pantai yang berlokasi di Selandia Baru. Penelisikan dari berbagai sumber memperkuat dugaan yang berkembang saat ini, bahwa AS memang sudah lama berencana memperluas opsi peluncuran satelit dari beberapa negara, termasuk Selandia Baru.

Laporan tahun 2023 kepada Kongres bertujuan untuk menilai kemampuan peluncuran dan “biaya dan teknologi bersama antara Amerika Serikat dan sekutu, termasuk apakah investasi dari Pacific Deterrence Initiative dan European Deterrence Initiative dapat dipertimbangkan untuk pelabuhan antariksa sekutu. Ketika AS menjauh dari Eropa dan lebih condong ke Indo-Pasifik, negara itu menggelontorkan miliaran dolar lagi ke dalam Prakarsa Pencegahan Pasifik untuk hal-hal seperti rudal di Guam, eksperimen pesawat tanpa awak, dan “konstruksi militer”, sebagaimana ditunjukkan oleh dokumen.

Selandia Baru dan Australia, sebagaimana diistilahkan oleh Edward Snowden melalui bocorannya tempo hari, merupakan The Five Eyes. Dengan begitu bisa dibaca bahwa Selandia Baru pun terhubung  melalui penelitian luar angkasanya dalam kelompok intelijen Five Eyes, termasuk peran dalam pengujian komunikasi satelit ke kapal saat ini.

Hal ini termasuk dalam lingkup apa yang disebut oleh media AS sebagai “meta-jaringan global Pentagon” – atau CJADC2 – atau gabungan komando dan kendali semua domain – pada dasarnya, jaringan yang terhubung dengan satelit untuk pengambilan gambar yang lebih cepat.

Yang mengkhawatirkan dari perkembangan tersebut terungkap melalui pernyataan Kepala pasukan nuklir AS Laksamana Charles Richard menggarisbawahi hubungan antara JADC2 (sekarang disebut CJADC2) ketika ia berbicara kepada Kongres pada tahun 2022. “Sebagian dari apa yang dilakukan JADC2 adalah untuk komando dan kendali nuklir,” Kedua sistem itu harus saling tumpang tindih sehingga kita dapat mencapai integrasi.” Kata Kunci Charles Richard Untuk Komando dan Kendali Nuklir, mengisyaratkan proleferisasi senjata nuklir sejatinya sudah berlangsung di Asia Pasifik.

Perkembangan terbaru di Selandia Baru tersebut nampaknya bukan saja mengkhawatirkan bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Di dalam negeri Selandia baru tersebut memicu kekhawatiran bahwa Selandia Baru yang selama ini merupakan zona netral dan damai, saat ini berpotensi menjadi zona militer dan area persaingan militer antar negara-negara adikuasa.

Wakil Perdana Menteri Selandia Baru, Winston Peters, ketika berbicara kepada harian Inggris The Guardian , Peters mengatakan bahwa meskipun memiliki “hubungan baik” dengan Tiongkok, Selandia Baru menyadari tindakan agresifnya. Namun kenyataannya, seiring berubahnya bentuk geostrategis dunia, kami tidak ingin Pasifik menjadi arena persaingan.” Dengan kata lain, Winston Peters tidak ingin kawasan Pasifik menjadi Zona Militer, dan menyebabkan memburuknya hubungan Selandia Baru dengan Cina.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com