Memotong Sumber Dana Teroris, Mungkinkah?

Bagikan artikel ini
Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI). Tinggal di Jakarta
Pelaksanaan pertemuan internasional dalam upaya mengatasi masalah terorisme yaitu International Meeting on Counter-Terrorism: Countering Cross-Border Movement of Terrorism dan Counter-Terrorism Financing Summit yang diadakan oleh Kemenko Polhukam, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) RI dan PPATK Australia (AUSTRAC) di Nusa Dua, Bali ditujukan untuk memperkuat jaringan kerja sama internasional dalam mengatasi ancaman pergerakan lintas batas terorisme yang meliputi aktor, informasi, dan juga aliran dana, termasuk membahas kemunculan fenomena baru FTF atau Foreign Terrorist Fighters yakni pejuang terorisme asing serta penyalahgunaan Informasi Teknologi dalam menyebarkan paham ekstrim dan radikal.
Melalui pertemuan yang dihadiri 55 negara ini, juga membahas upaya untuk meningkatkan kemampuan bersama  dalam mencegah terorisme, khususnya dalam mengatasi pergerakan teroris yang tidak terkendali. Hal ini meliputi pertukaran pandangan dan berbagi informasi intelijen, pembelajaran bersama, dan juga contoh praktik terbaik dalam menangani terorisme, termasuk soal informasi pendanaan terorisme, penyelundupan senjata, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
Signifikansi dari pertemuan internasional ini dipicu karena masalah terorisme menjadi perhatian bersama komunitas internasional, termasuk Indonesia. Masalah terorisme terus memberikan ancaman serius tidak hanya bagi perdamaian dan keamanan internasional, tetapi juga pada pembangunan sosial ekonomi.
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang telah menyebabkan kerugian besar dan memakan banyak korban jiwa, namun tidak ada satu negarapun yang kebal terhadap terorisme. Untuk itu negara dan organisasi internasional perlu meningkatkan kerja sama dalam mengatasi masalah terorisme.
Apalagi selama tahun 2015 s.d Juli 2016, aksi serangan teroris masih terjadi di beberapa negara antara lain serangan ke Bandara Zaventem di Brusels, Belgia; Jl. Thamrin, Jakarta; serangan di Bandara Attaturk, Istanbul (Turki) yang menewaskan 36 orang tewas dan 156 cedera; serangan teror di Baghdad (Irak), Dhaka (Bangladesh), Jeddah (Arab Saudi), Peshawar (Pakistan), Nice dan Normandia (Perancis), Orlando (Amerika Serikat), Wuerzburg dan Ansbach (Jerman) dll jelas membutuhkan penanganan segera dengan kerjasama internasional intelijen yang saling menguntungkan.
Banyak jaringan sumber dana teror
Menurut Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso, sebagian besar dana yang digunakan oleh kalangan teroris di Indonesia berasal dari luar negeri dimana pihak yang sering mentransfer uang kepada kelompok teror tersebut berasal dari Australia, Hongkong, Malaysia, Singapura dan beberapa negara di Timur Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan pelaku teror yang berhasil ditangkap dan dalam mengikuti persidangan selalu mengaku tidak memiliki jaringan adalah bohong, sebab dari transaksi keuangan yang berhasil diendus PPATK menunjukkan kalangan teror tidak bekerja sendirian.
Menurut berbagai sumber disebutkan bahwa banyak jaringan sumber dana kelompok teror dengan beragam modus operandi antara mendapatkan dana secara mandiri melalui hasil penjualan beragam barang dan jasa, hacking, perampokan dan penculikan atau penyanderaan serta melakukan praktek cuci uang dari uang haram menjadi sumber dana yang legal. Disamping itu, kalangan teror juga mendapatkan dana dari hasil sektor usaha kecil dan menengah, termasuk beberapa perusahaan besar.
Kondisi ini perlu mendapatkan penyikapan secepatnya terutama dalam konteks memperkuat upaya counter terhadap kelompok-kelompok yang selama ini menjadi donatur teroris. Hal ini dapat terlaksana jika ada kerjasama yang baik antar lembaga badan intelijen Indonesia, termasuk PPATK yang sebenarnya merupakan unit intelijen keuangan bersama negara-negara lainnya, karena dengan cara ini upaya membongkar dan memotong suplai pendanaan bagi kelompok teror memungkinkan untuk dilakukan.
Sementara itu, dalam acara yang sama di Bali tersebut, Prof. Rohan Gunaratna dari Nanyang Technological University in Singapura, dana adalah sumber kehidupan organisasi teroris, jadi keberhasilan memonitor aktivitas keuangan kelompok teroris adalah kunci keberhasilan perjuangan melawan terorisme.
Gunaratna mencontohkan pemimpin kelompok teror di tingkat global mengirimkan dana sebanyak Rp 1,8 milyar dari Turki melalui Western Union masuk ke berbagai kalangan teror di Indonesia. Dalam serangan bon Jl Thamrin Jakarta tahun 2015 misalnya, setidaknya ada dana sebesar Rp 70 juta yang dikirimkan dari Turki untuk melaksanakan aksi mematikan tersebut.
Secara tradisional dan berdasarkan catatan sejarah yang ada, perjuangan melawan terorisme hanya dilakukan oleh institusi negara saja, sehingga langkah PPATK telah mengundang berbagai kalangan industri seperti perbankan, institusi keuangan, kalangan swasta dan akademisi.
Kerjasama Internasional Intelijen
Menurut Crish Clough dalam bukunya berjudul “Quid Pro Quo : The Challenges of International Strategic Intelligence Cooperation”,  beberapa negara menjalin hubungan strategis dengan cara saling bertukar informasi dan analisis intelijen. Walaupun sering kali pertukaran informasi tersebut kurang berimbang tetapi dianggap tetap menguntungkan. Ungkapan quid pro quo digunakan oleh badan-badan intelijen untuk menggambarkan hubungan tersebut. Isu-isu intelijen antar negara dan lembaga tersebut biasanya sensitif hal ini yang membuat kerjasama intelijen international jarang dibahas.
Salah satu yang mengganjal kerjasama internasional bidang intelijen adalah berlakunya prinsip quid pro quo (What for what, Favor for a favor) yang berarti sesuatu untuk sesuatu, atau, pertukaran yang adil/seimbang adalah istilah yang tepat untuk kerjasama intelijen internasional, kerjasama pertukaran informasi dan analisis intelijen antar negara.
Menurut analis intelijen lulusan Kajian Strategik Intelijen Universitas Indonesa, Stanislaus Riyanta, fusi informasi mempunyai keuntungan bahwa hubungan intelijen antar negara lebih terbuka dan seimbang sehingga kepercayaan dalam menjalin hubungan akan kuat. Hal yang harus dicermati dalam kerjasama intelijen international adalah porsi pembagian kerjasamanya. Dominasi suatu pihak dapat menyulitkan pihak lain, mengingat tingkat kerjasama antar negara tidak bisa ditebak kadar keeratannya. Ketergantungan dengan pihak lain harus diantisipasi sejak awal.
Kejasama intelijen tidak lepas juga dari sebuah risiko. Pertukaran informasi dan analisis intelijen secara tidak langsung akan membuat suatu kondisi negara menjadi mudah terbaca. Hal ini tentu jika dimanfaatkan oleh pihak lain dapat mengancam kedaulatan suatu negara, mengingat partner kerjasama tentu mempunyai kawan lain.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com