Mempertanyakan Kelayakan Kerjasama Pertahanan RI-Ukraina

Bagikan artikel ini

Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pertahanan, sebaiknya mempertimbangkan kembali usulan Ukraina agar Indonesia membeli mobil lapis baja 4 M buatan Ukraina. Terungkap melalui pengalaman Thailand dan Croatia, kualitas Tank T-84 Oplot dan Pesawat MIG-21, ternyata kualitasnya sangat buruk.

Beberapa waktu lalu, Agustus 2016, Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, olodymyr Pakhil yang didampingiDeputy Director of Spetstechnoexport Vladyslav Belbas, berkunjug ke kantor Kementerian Pertahanan. Sebagai isyarat ke arah Kerjasama Pertahanan antara RI-Ukraina, sekaligus menindaklanjuti kunjungan Presiden Ukraina Petro Poroshenko kepada Presiden RI Joko Widodo beberapa hari sebelumnya.. Dalam pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Presiden Petro Poroshenko, kedua kepala negara telah menandatangani perjanjian kerjasama di bidamg pertahanan. Presiden Petro Poroshenko memimpin  rombongan kabinet pemerintah Ukraina berkunjung ke Indonesia antara 5-7 Agustus 2016.

Sebagaimana ditegaskan melalui perjanjian kerjasama pertahanan tersebut, akan difokuskan pada bidang kedirgantaraan , kendaraan militer dan elektronik pertahanan. Pertanyaannya kemudian layakkah Ukraina, sebagai negara pecahan dari Uni Soviet itu, menjadi mitra strategis Indonesia dalam Kerjasama Pertahanan? Apalagi ketika pihak Kementerian Pertahanan ada niatan atau mempertimbangkan untuk membeli peralatan-peralatan militer atau Alat Utama Sistem Persenjataan(Alutsista) dari Ukraina.

Karena dalam Perjanjian Kerjasama Pertahanan tersebut dipusatkan pada bidang kedirgantaraan dan kendraan militer, maka sudah selayaknya perlu diadakan investigasi dan penelitian yang menyeluruh mengenai kapasitas dan kredibilitas Ukraina di bidang tersebut.

Beberapa waktu lalu, di minggu pertama Oktober, Global Future Institute menyelenggarakan diskusi terbatas antar membahas berbagai rencana dan langkah-langkah strategis yang sebaiknya dilakukan Kementerian Pertahanan, khususnya dalam pembelian Alutsista dari negara-negara lain, baik dari Eropa Barat. Eropa Timur maupun Republik Rakyat Cina.

Khusus terkait dengan Ukraina, menyusul pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Ukraina awal Agustus lalu, para peserta sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kerjasama militer dengan Ukraina sama sekali tidak layak. Dan sebaiknya tidak ditindaklanjuti ke tingkat yang lebih strategis.

Mengapa? Pertama, soal kualitas kendaraan militer, seperti misalnya Tank. Salah seorang peserta yang kebetulan berpengalaman sebagai rekanan Kementerian Pertahanan sejak era pemerintahan Suharto hingga era Reformasi, pernah meriset  kerjasama Ukraina dengan Thailand. Dalam perjanjian kerjasama pertahanan dengan Thailand tersebut, Ukraina diwajibkan untuk memasok 49 Tank T-84 Oplot. Pada kenyataannya, Ukraina hanya sanggup memasok sebanyak 10. Artinya, yang 39 sisanya, Ukraina dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya. Alhasil, pemerintah Thailand memutuskan menolak mengikutsertakan Ukraina dalam tender pembelian peralatan militer Thailand.

Adapun 39 tank jenis T-84 Oplot yang tetap merupakan kewajiban Ukraina untuk memasoknya, akhirnya diganti dengan Tank buatan Amerika Serikat yang sudah lama dan buruk kualitasnya. Sehingga pemerintah Thailand pun tidak puas dengan penggunaan 200 Tank GIR 3EI. Dengan kata lain, tidak bagus kualitasnya.

Lantas, bagaimana dengan produk-produk pesawat tempur, misalnya MIG-21? Terungkap melalui diskusi terbatas, bahwa Ukraina pernah mengekspor pesawat MIG-21 tersebut ke Croatia, jadi masih di kawasan Eropa Timur juga. Menariknya, pada Maret 2016 lalu, polisi militer Croatia mendapati adanya tindak korupsi terkait dengan perbaikan pesawat yang diekspor dari Ukraina tersebut. Pesawat tempur yang dibeli Croatia pada 2015 lalu. Fakta menarik terungkap, dari 12 pesawat yang dibeli pemerintah Croatia, yang 9 di antaranya rusak. Dengan kata lain, yang dalam keadaan relatif baik hanya 3.

Melalui hasil penyelidikan dan pengusutan yang dilakukan Polisi Militer Croatia, terungkap bahwa 5 dari 12 pesawat tempur yang dibeli Croatia dari Ukraina tersebut, ternyata dulunya milik Yaman. Bahkan pesawat tersebut merupakan hasil rakitan negara-negara lain seperti seperti misalnya Bulgaria. Bahkan Bulgaria dikabarkan pernah melaporkan kepada North Atlantic Treaty Organization(Pakta Pertahanan Atlantik) bahwa MIG-21 pada dasarnya tidak layak. Yang lebih mengagetkan lagi, ternyata pesawat yang dijual Ukraina ke Croatia, nota registrasi yang mereka punya adalah palsu.

Nampaknya, krisis ekonomi yang melanda Ukraina, serta dihentikannya kerjasama Ukraina-Rusia dalam bidang industri militer, pada perkembangannya telah menghancurkan kualitas industri Ukraina.

Sehubungan dengan beberapa temuan sekilas dari hasil diskusi terbatas di Global Future Institute, meskipun perlu adanya penelitian dan kajian lebih mendalam, nampaknya sudah cukup berasalan bagi kita untuk mendesak Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pertahanan, agar menghentikan kelanjutan kerjasama bidang pertahanan dengan Ukraina. Termasuk, menolak usulan Presiden Ukraina agar pihak Indonesia membeli Mobil Lapis Baja  4 M.

Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com