Mempertimbangkan Sejarah (Bagian 1)

Bagikan artikel ini

WS Rendra, Penyair dan Budayawan

Eropa itu terbentuk oleh kiprahnya raja-raja yang saling berebut kekuasaan dan membentuk kerajaan-kerajaan. “The making of Europe is the making of Kings”. Begitu kata orang. Pembentukan bangsa-bangsa tidak lancar karena terhalang oleh perebutan wilayah diantara dinasti raja-raja.

Italia, misalnya, baru bisa menjadi kesatuan bangsa dan Negara berkat perjuangan Raja Emanuel II di tahun 1970. Begitu pula Belanda baru utuh teguh sebagai bangsa dan negara di tahun 1860. Demikian pula nasib Cekoslovakia, Polandia, Hongaria dan lain-lain bangsa di Balkan, Sangat lambat dan tidak lancar dalam kehidupan berbangsanya.

Berbeda dengan mereka, kita hidup berbangsa termasuk lancar. Setidaknya menurut catatan sang nahkoda Arab, kita berbangsa sejak abad kelima dengan bahasa persatuan bahasa melayu. Dan selanjutnya prasasti-prasasti juga membuktikan bahwa sudah ada pula bahasa persatuan Jawa Kuna.

Prof. Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan, menegaskan bahwa paling tidak sejak abad ke-7 nenek moyang kita punya 2 (dua) bahasa persatuan yaitu: Melayu Kuna dan Jawa Kuna. Karena Bahasa Jawa Kuna punya huruf lebih dulu,

Bahasa Jawa Kuna menjadi bahasa prasasti dan administrasi, sedangkan Bahasa Melayu menjadi bahasa perdagangan. Bahkan karena lancarnya dan kerap kali ramainya perdagangan di Nusantara, Bahasa Melayu selalu hadir sebagai bahasa perantara. Dengan pendek, Bahasa Melayu menjadi sangat penting sebagai bahasa perdagangan. Dan karena frekuensi perdagangan di Nusantara semakin seru, maka Bahasa Melayu benjadi bahasa perdagangan yang utama di Nusantara.

Lama-lama dengan banyaknya orang dagang yang memeluk agama Islam dan mulai tumbuh keperluan untuk memperkembangkan perenungan, maka Bahasa Melayu mulai berkembang menjadi bahasa kontemplasi juga.

Banyak kata-kata baru dari Parsi, Arab dan Urdu diadaptasi untuk keperluan berkontemplasi. Dan akhirnya huruf Arab juga disadur menjadi huruf Arab Jawi. Aceh menjadi pusat perkembangan bahasa Melayu Baru.

Maka pada akhir abad 16 lahirlah syair-syair Hamzah Fansuri dalam Bahasa Melayu, segera pula disusul oleh lima penyair Aceh yang lain, di antaranya di awal abad 16, Raniri. Sedangkan di Jawa dan di Bali, Bahasa Jawa Kuna sudah melahirkan karya Sastra sejak abad ke-9 dan memuncak dengan subur sejak abad ke-11.

Dalam hal ini Eropa sangat ketinggalan. Sastra Perancis baru berkembang sejak pertengahan abad ke-15. Sastra Italia berkembang pada akhir abad ke-13. Sastra Jerman berkembang pada abad 18, sastra Hongaria berkembang pada abad 19 dan sastra Ceko baru berkembang pada abad 20.

Meskipun lancar dalam kehidupan berbangsa tetapi kita terlambat bernegara dalam kesatuan Nusantara. Yang pertama membangun Negara yang meliputi kesatuan Nusantara adalah Baron van der Capellen, Gubernur Jenderal yang mewakili kerajaan Belanda dari Dinasti Oranje, yaitu pada tahun 1821.

Baron van der Capellen adalah negarawan ulung Bangsa Belanda. Setelah Pangeran Oranje dari Belanda membantu Inggris menaklukkan Napoleon di Waterloo, maka untuk membalas jasanya ia membentuk kerajaan Netherlands di bawah Wangsa Oranje. Hal ini tidak memuaskan hatinya.

Yang diimpikannya ialah ia meneruskan perjuangan Pangeran van Egmont untuk memerdekakan seluruh daerah Flanders. Tetapi Inggris dan sekutu-sekutunya membesar-besarkan dan bahkan mengobarkan aspirasi golongan kecil di Luxemburg dan Belgia untuk berdiri sendiri. Justru Inggris mendukung penuh gerakan separatis ini.

Akhirnya Oranje harus puas dengan daerah Holland saja dan melepaskan Belgia dan Luxemburg. Netherlands merdeka yang dikepung oleh kekuasaan sekutu-sekutu yang saat itu memang adikuasa.

Tentu saja elit Wangsa Oranje tidak puas. Perjuangan mereka yang gagah berani di Waterloo dan pukulan kavaleri mereka yang menentukan dalam melumpuhkan kavaleri Napoleon ternyata tidak dihargai sebagaimana mestinya.

Yang paling tidak puas akan keadaan itu adalah seorang pangeran yang setia dan ahli tatanegara ulung: Baron van der Capellen. Baron itu sadar bahwa yang diributkan oleh Inggris dan sekutunya itu ialah kemampuan orang Belanda untuk membangun angkatan lautnya.

Akhirnya untuk meredakan frustrasi para elit Wangsa Oranje, Inggris memutuskan untuk mengembalikan kepulauan Netherlands Indie kepada Belanda, dengan Bengkulu (jajahan Inggris) ditukar dengan Bandar Malaka (jajahan Belanda), dengan syarat Baron Van der Capellen dijadikan Gubernur Jenderalnya.

Maka pada tahun 1816 dikirimlah Van der Capellen ke Nusantara. Di sepanjang jalan, ia membaca laporan- laporan Junghuhn, Maarsden (History of Sumatra) dan Raffles (History of Java). Maka ketika ia datang ke Nusantara ia punya pengetahuan yang cukup tentang Nusantara.

Tahulah ia bahwa bangsa Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Flores, Sumba, Bugis, Toraja, Manado, Sangir, Ternate, Tidore, Roti, Dayak, Lampung, Palembang, Jambi, Riau, Deli, Aceh, Batak, Minangkabau, Bangka, dan lain-lain itu tidak asli. Mereka semua pendatang. Bahasa mereka berbagai ragam tetapi juga tidak asli betul.

Terutama Bahasa Melayu dan Jawa Kuna, ialah bahasa pergaulan seluruh Nusantara, sama sekali tidak asli. Kata penting seperti meja, kursi, lemari, jendela, pintu, sabun, tante, bendera, dan lain sebagainya juga tidak asli.

Tetapi itu semua bisa mereka adopsi dan mereka cernakan sehingga bisa dikuasai sebagai milik sendiri. Kurang lebih seperti Bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda sendiri yang tidak asli tapi toh bisa dicernakan dengan baik dan kreatif. Cuma saja orang Nusantara ini lebih dulu mampu melahirkan kesusasteraan dibanding Inggris, Perancis, Jerman, atau Belanda.

Orang-orang Nusantara juga sudah mendirikan candi-candi yang megah sebelum orang Belanda bisa mendirikan Katedral di Utrecht. Dan juga orang Nusantara sangat lihai dalam membuat undang-undang adat, terutama hukum adat orang Bugis, juga lebih maju dari hukum di Eropa. Apalagi hukum laut, hukum pelabuhan , dan hukum pasar sudah berkembang sangat maju.

Banyak hal baru dalam pertanian dan kerajinan juga diadopsi dengan cepat dan kreatif. Sekitar abad ke 6 dan 7 Masehi, mereka baru mengenal irigasi dan menanam padi. Ini dibawa oleh orang-orang dari India selatan (Empu Maharkandya) dan juga dari pendatang dari Khmer dan Kamboja, ialah orang-orang yang mempunyai gelar Ken, Tun, Sri, Hang, dan Tang.

Empu Maharkandya memperkenalkan lembu, kuda, sawo. jambu, kunyit, dan nila. Dari Kamboja (Kampuchea) mereka mangenal itik, bebek, beras ketan, wijen, cabai, minyak goreng, terasi, ikan kering, dan ikan dendeng.

Semuanya itu dicernakan dengan bagus dan di abad ke-10 mereka sudah bisa mengekspor nila, ikan goreng, dan dendeng ikan. Juga sudah bisa mengekspor beras, ketan, dan wijen.

Namun orang Nusantara juga mempunyai kelemahan. Mereka bicara dengan “present tense”, sehingga banyak mengalami “amnesia sejarah”, kecuali orang-orang Bugis, Toraja, orang Bali, dan orang Batak yang punya tradisi menuliskan kronik secara obyektif di atas daun lontar.

Orang Jawa dan orang-orang dari pengguna Bahasa Jawa Kuna mencatatkan kronik dalam prasasti-prasasti. Tetapi kemudian mereka menuliskan babad-babad dalam bentuk “wayang” nya kejadian. Ialah kenyataan kejadian yang secara subyektif sudah diendapkan di dalam kalbu (platonis) sehingga kenyataan tinggal menjadi wayang.

Secara keseluruhan daya berpikir filsafat dan ilmiah (saintifik) tidak pernah berkembang di Nusantara. Sehingga humaniora juga tidak berkembang di bidang sosial, politik, dan ekonomi.

(Bersambung)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com