Memprediksi Kekalahan Presiden Suriah, Bashar Al Ashad

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN). Alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen Universitas Indonesia

Menurut Dina Y Sulaeman dalam artikel “Terungkapnya Jati Diri Para Aktor di Suriah “(www.theglobal-review.com 17/12/2012), awalnya, sejak Januari 2011, rakyat Suriah diseru via facebook  dan twitter untuk turun ke jalan. Lalu, terjadilah tragedi Daraa, kota kecil berpenduduk 75.000 jiwa yang dekat perbatasan Jordania. Jurnalis independen Prancis, Thierry Meyssan sejak awal mengendus pemilihan Daraa sebagai titik awal gerakan bersenjata kaum oposisi karena mudahnya suplai senjata dan milisi jihad dari Jordania. Unjuk rasa di Daraa terjadi tanggal 23 Maret 2011, mengakibatkan 7 orang polisi dan sedikitnya 4 demonstran meregang nyawa. Unjuk rasa tersebut berdasarkan pemberitaan Aljazeera, massa juga merusak markas kantor Partai Baath dan kantor pengadilan.

Sejak saat ini, konflik Suriah terus membara dan membawa banyak korban jiwa. Menurut catatan The Syrian Observatory for Human Rights, selama lebih 20 bulan konflik Suriah berlangsung telah menewaskan 42.000 orang. Sementara, laporan utusan khusus PBB untuk proses damai di Timteng menyatakan, lebih dari 450.000 warga Suriah menjadi pengungsi ke negara lain atau tidak memiliki rumah lagi.

Yang menarik untuk dianalisis dari berlanjutnya konflik Suriah ini adalah adanya kecemasan dari pihak AS dan Barat, termasuk Israel yang akan kehilangan hegemoni pengaruhnya di kawasan Timur Tengah, hal ini terlihat dengan sikap AS yang melihat fenomena konflik Suriah sebagai fenomena bangkitnya terorisme. Lebih dari itu, konflik Suriah akan semakin menarik jika dilihat dari faktor what lies beneath the surface-nya, karena sejatinya konflik tersebut juga merupakan “perebutan penguasaan” sumber-sumber energi yang dimiliki Suriah. Membelah sphere of influence “Barat dan AS” di kawasan Timur Tengah. Pertanyaan mendasarnya adalah mampukah oposisi menjatuhkan Presiden Bashar Al Assad.
Konflik Suriah tidak akan mudah diselesaikan atau dimediasi oleh siapapun karena adanya isu yang turut memanaskannya yaitu adanya kebencian terhadap non Muslim karena berkolaborasi dengan rezim di Suriah membuat isu perang sipil di Suriah semakin “seksi” di mata kelompok Jihadis, sedangkan kelompok pro As’ad menilai konflik di Suriah karena ada kepentingan asing (AS dan sekutunya) yang akan memanfaatkan posisi strategis Suriah bagi kepentingan nasional pihak asing tersebut.
Sama Kuat
Posisi antara kubu pendukung Bashar Al Assad dengan kaum pemberontak sejak lebih dari 20 bulan konflik bersenjata tersebut berlangsung masih sama kuat. Bashar al Assad walaupun berasal dari suku Alawiyah yang merupakan suku minoritas di Suriah dengan massa terbanyak di Provinsi Tartous dan Latakia mendapatkan dukungan dari kelompok Kristen, Sruze dan Kurdi dengan Distrik Mezze 86 adalah basis kekuatan mereka serta masih mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota militer Suriah, walaupun 80% mereka berasal dari Sunni.
Pendukung Assad  lainnya adalah Iran yang mengirimkan Garda Revolusi, senjata serta uang untuk militer Suriah dan membantu perekonomian Suriah. Sedangkan, Cina dan Rusia membantu secara diplomatik. Rusia menurut website ProPublica juga mengirimkan bantuan keuangan bagi Suriah. Pejuang muslim Syiah dari Hezbullah Lebanon juga membantu Assad. Setidaknya masih ada 70.000 sampai 80.000 tentara pro Bashar al As’ad. Mereka menjaga ibukota, kota-kota besar, jalan-jalan strategis dan tanah milik kaum Alawiyah di sepanjang pantai Mediterania.
Sedangkan di pihak oposisi sudah bergabung sejumlah “mujahidin” antara lain, Brigade Ahrar al-Sham di Aleppo, Brigade Ahrar al-Jabal al-Wustany, Brigade Mayadeen, Al Nusra Front (underbow Al Qaeda), Free Syrian Army (diantaranya dari pasukan pemerintah yang membelot), Ikhwanul Muslimin dan Liwa al Islam (termasuk kelompok ekstrimis Jihadis). Mereka membentuk National Coalition for the Syrian Revolutionary and Opposition Forces dipimpin Moaz al Khatib yang dibentuk di Doha, UAE yang mendapat dukungan dari AS, Inggris, beberapa negara Eropa Barat, Arab Saudi, Qatar, Turki, UAE, dan Kuwait. Koalisi ini diharapkan dapat meningkatkan upaya pencarian bantuan asing dan senjata untuk menjatuhkan Presiden Suriah, Bashar Al Assad. Basis kekuatan oposisi berada di daerah Daraya dan sepanjang Sungai Efrat serta daerah pinggiran lainnya.
Pemberontak atau oposisi mengklaim menguasai wilayah antara lain, Idlib, sebagian Aleppo,  Deir al Zor, Douma, Deraa, Hama, Homs, Damaskus dan Aleppo (daerah bandara udara) dan Artouz. Instalasi pertahanan udara di Selatan Damaskus juga dikuasai pemberontak, mereka juga menguasai lapangan udara milik militer pemerintah, Sheikh Sulaiman.
Rusia untuk pertama kalinya secara terbuka mengakui Presiden Suriah Bashar al Assad kalah melawan pemberontak. Pernyataan itu disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Mikhail Bogdanov di Kremlin. Menurutnya, pemerintah Suriah kehilangan kontrol atas wilayah demi wilayah dan kemenangan oposisi tidak bisa dikesampingkan, demikian dikutip kantor berita ITAR-TASS, (13/12/2012).
Kapan Kalahnya Assad ?
Menjawab pertanyaan mampukah oposisi Suriah mengalahkan Presiden Bashar Al Assad, berdasarkan tulisan DR. Hank Prunckun berjudul “Advanced Analytic Techniques (2010)” antara lain dengan force field analysis yaitu sebuah analisis yang menggambarkan bagaimana adanya tekanan dalam bentuk driving forces apakah mampu menahan sebuah organisasi atau kekuatan masih bertahan dengan restraining forcesnya.
Driving forces yang dimiliki pemberontak antara lain, mereka menggunakan Badan Intelijen Mukhabarat dan milisi Shabiha untuk menjadi garda pemutus akses suplai tentara pemerintah. Mereka mengisolasi pasukan pemerintah di dekat perbatasan Turki dan Jordania. Driving forces lainnya adalah pemberontak Suriah seperti al-Liwa Tauhid dan Jabhat al-Nusra di Suriah Utara mendapatkan bantuan dana dari Perancis untuk membeli senjata. Surat kabar Prancis, Le Figaro, melaporkan penasihat militer Prancis telah bertemu dengan kelompok pemberontak Suriah di Lebanon dan Damaskus dan sepakat terus menekan Presiden Assad.
Sedangkan restraining forces yang muncul adalah kaum oposisi dibawah bendera Syrian National Council dan Free Syrian Army (FSA) mulai pecah dan menampakkan ideologinya masing-masing. Di FSA bergabung Al Qaida dipimpin Sheikh Adnan Al-Arour. Dalam salah satu pidatonya di You Tube, Al Arour menjanjikan kaum Alawi akan ‘dicincang seperti daging anjing’.
Kelompok Hizbut Tahrir bersama Gabhat al Nousra, Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhid, dan Ahrar Souria memilih memisahkan diri dan mendeklarasikan perjuangan untuk membentuk khilafah di Syria.
Sesuai dengan tulisan Dina Y Sulaeman dalam artikel Terungkapnya Jati Diri Para Aktor di Syria (www.theglobal-review.com 17/12/2012) penulis juga sepakat bahwa meski ‘bercerai-berai’, kelompok oposisi Syria memiliki suara dan tekad yang sama: menumbangkan “rezim Assad yang sesat dan kafir”. Walaupun fakta yang sebenarnya dari konflik Suriah adalah AS dan Israel ingin menggulingkan rezim Assad dan menggantikannya dengan rezim yang mau ‘mengamankan’ Israel.
Oleh karena itu, kejatuhan Assad terletak dari ada tidaknya pergeseran besar dalam driving forces dan restraining forces dalam konflik ini, serta bagaimana kengototan AS dan Israel melahirkan “pemimpin boneka” di Suriah. Terlepas dari kalah atau tidaknya Assad, nasib Suriah pasca konflik ini akan tetap diwarnai perang, karena perbedaan manhaj seperti visi, model pemerintahan Islam seperti apa yang akan dibentuk pasca Assad dikalangan pemberontak/oposisi itu sendiri.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com