Memprediksi Suriah Pasca Bashar al-Assad

Bagikan artikel ini

Yang mengkhawatirkan dalam situasi Suriah Pasca-Assad adalah kondisi bisa berkembang penuh komplikasi seperti di Irak Pasca-Saddam Husein.

Assad memimpin Suriah lebih dari dua dekade.

Baru setelah meletus Arab Springs pada 2011 menyusul tumbangnya Ben Ali, Tunisia, Hosni Mubarok, Mesir, Moammar Gaddafi, Libya, barulah ide penggulingan Bashar al Assad dimulai. Namun berbeda dengan kasus Tunisia dan Mesir yang murni mengerahkan people power berbasis aksi massa, dalam melumpuhkan dan menghancurkan Libya dan Suriah, kekuatan-kekuatan mapan di Barat  strateginya dengan mengubah peoplle power berbasis aksi massa yang sejatinya bersifat nirmiliter,  diubah menjadi kombinasi antara people power berbasis massa dengan operasi militer dengan mengerahkan milisi-milisi bersenjata dari berbagai kelompok untuk melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Bassar-al Assad. Dengan ini, berarti bukan lagi people power berbasis aksi massa, melainkan menjelma menjadi Perang Saudara (Civil War).

Dalam kasus Suriah nampak jelas sejak 2011 para pemberontak dimotori oleh Free Syrian Army dan Jabal al Nusra yang sekarang telah berubah menjadi Hizbut Tahrir al Sham (HTS), yang mendapat dukungan dari AS, Inggris dan Prancis. Bahkan sampai tingkat tertentu, juga dari Turki.

Namun yang mengkhawatirkan masa depan Suriah justru pasca tumbangnya Assad. Kenapa?

Sebab sebelum tumbangnya Assad pun, sudah ada pemain pemain tambahan yang melengkapi campur tangan asing seperti AS, NATO dan Rusia. Seperti Turki yang notabene masih anggota NATO, dan Iran yang bertumpu pada Hizbullah di Libanon. Selain itu juga suku Kurdi di Suriah Utara, AS dan Turki bertemu kepentingan untuk mengipasi Kurdi mendirikan negara sendiri lepas dari Suriah. Seperti halnya Kurdi di Irak menuntut negara sendiri di Irak Utara.

Malah menurut amatan saya AS jauh-jauh hari sudah mengincar sebagian wilayah Iran dan Turki untuk bisa mendirikan negara Kurdistan.

Begitulah modus negara-negara adikuasa untuk melemahkan negara yang dipandang melawan skema neokolonialisme politik ekonomi dan militer mereka.

Paling tidak rakyatnya diadu domba, saling berselisih dan ekonomi negaranya dihancurkan.

Kebetulan saya baru sekilas baca buku: Plan of Attack (rencana menyerang Irak dan menjatuhkan Saddam Hussien) karya wartawan senior Bob Woodward. Dengan itu, kasus Irak pasca Saddam kiranya dapat jadi rujukan buat memprediksi Suriah pasca Assad.

Ternyata invasi ke Irak sudah diputuskan Geirge W Bush pada Januari 2002. Padahal serangan ke Irak kan baru pada 2003 ya.

Menurut penelisikan Woodward, 72 hari setelah peristiwa 9/11 2001 secara amat rahasia di lingkungan kabinetnya, Bush merancang skenario perang sebelum Irak benar benar diserang akhir 2003.

Perintah perang ini semula hanya diketahui Menhan Rumsfeld (lantaran) diperintah Bush agar dirahasiakan, dan baru beberapa bulan ia panggil dan diperintahkan Komandan Kombatan Komando Tengah Jenderal Tommy Frank untuk menyiapkan rencana perang.

Jenderal Frank semula keberatan lantaran pasukannya yang ribuan personel sedang perang di Afghanistan yang menghadapi perlawanan hebat di sana.

Frank akhirnya menerima keputusan pimpinan Pentagon. Setelahnya baru Direktur CIA, George Tenet diberi tahu dan selanjutnya yang diberi tahu adalah Wapres Dick Cheney dan Penasehat Keamanan Nasional. Cindoleeza Rice.

Menariknya, Wapres Cheney mantan Menhannya G.W Bush senior, saat AS bersama pasukan multi nasional menyerang Irak 1991, Perang Teluk I, Desert Storm. Rumsfeld ternyata mantan Station Manager CIA di Timteng yang atas arahan bosnya merancang naiknya Saddam Hussein ke puncak kekuasaan.

Sedangkan Direktur CIA, waktu itu, adalah Bush senior yang kemudian jadi Wapresnya Reagan dan lalu jadi Presiden.

Jadi memang sudah lama direncanakan dan mencari momentum yang pas saja kapan untuk menghancurkan Irak.

Tapi ya itu tadi. Walau Saddan benar-benar sudah tumbang, ternyata AS gagal menguasai Irak menurut rancangan awalnya. Yaitu dirancang sebagai negara demokrasi, namun mayoritas rakyatnya yang penganut Syiah dan pro Iran yang justru memenangi pemilu sehingga sulit dikendalikan.

Di sini saya jadi berpikir. Apakah skenario lepas kendali ini benar benar karena AS dan Blok Barat memang gagal paham membaca peta geopolitik Irak, atau jangan jangan memang buah dari Skenario lepas kendali?

Sehingga dari chaos dan kekacauan inilah, memunculkan para pemain lokal yang selama ini tiarap di pinggir lapangan, sontak pada bermunculan ke pentas politik nasional.

Melihat skenario kejatuhan Assad sebagai buah dari Perang Saudara, saya khawatir kejatuhan Assad akan menjadi momentum bagi demokrasi Suriah berbasis SARA alih alih demokrasi berbasis masyarakat sipil.

Artinya, demokrasi bukannya sarana pemberdayaan masyarakat sipil. Melainkan jadi sarana memunculkan sentimen sentimen nasionalisme sempit dan sektoral untuk menggunakan demokrasi sebagai momentum mendirikan negara negara terpisah dari Suriah.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com