Memuncaknya perang Cina melawan USA 2017

Bagikan artikel ini

Ghuzilla Humeid, Network Associate Global Future Institute (GFI)

Politik praktis memang bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Jika Bush berbicara soal hak azasi manusia, maka yang ia dimaksud adalah minyak dan gas alam (Pepe Escobar, Asia Times, 27/9,2007).

Hal ini identik, politik praktis itu apa yang tersirat bukannya yang tersurat. Kalau AS bilang ada mutasi pejabat dilingkungan Navy Seal berarti “ada sesuatu” disana. Jika Bush berkata resesi ekonomi AS akibat subprime mortgage, sesungguhnya bukan itu penyebab pokok, kalau ia berkata ekonomiAS penuh ketidakpastian, artinya lagi krisis berat (Muhammad AP, 28/1, 2008)

Prof Robert Rotberg dari Harvard University menyatakan, jika kebrutalan junta militer di Myanmar merupakan hal serius bagi AS, presiden Bush justru mendukung presiden Mesir Hosni Mobarak yang mengabaikan hak azasi manusia (ChicagoTribune, 7/10, 2007).

Hak ikhwal ‘masalah’ di Myanmar,diawali penemuan gas bumi di Shwe (emas)Blok A1-Teluk Bengal tahun 2004. Deposit gas tersebut diperkirakan 5,6 triliun kubik, yang tak bakal habis dieksploitasi 30-an tahun. Semenjak itu kawasan pantai Myanmar sepanjang 1.500 km antara Teluk Bengal – batas laut Andaman,Thailand menjadi menarik dunia. Akhirnya negara-negara seperti Cina, Jepang,India, Perancis,  Singapura, Malaysia,Thailand, Korsel dan Rusia pun menyerbu untuk eksplorasi di Myanmar.

Dalam perspektif hegemoni AS, setiapnegara yang berpotensi pesaing harus dibendung dan dilemahkan “dari dalam”. Cina dianggap pesaing, karena mengkonsumsi separuh BBM di pasar internasional. Persaingan kedua negara berlangsung sangat ketat guna menguasai sumber-sumber minyak.

Cina mendominasi sektor migas di Sudan. Ketikaterjadi suatu pembantaian peace keeper dari African Union di Darfur, amat terkait persaingan itu. Termasuk pengiriman 300-an peace keepers militer dari Cina ke Sudan bulan Desember 2007 lalu,diyakini merupakan upaya pengamanan aset-asetnya disana.

Dalam dokumen Pentagon, Project for a New American Century and ItsI mplications 2002, memprediksi persaingan antara AS – Cina meruncing 2017.Dan konfrontasi terbuka mungkin tak bisa dielakkan, kecuali bila terjadi “pelemahan” masing-masing kubu menjelang 2017, boleh jadi batal.

Cina bertekad membangun jaringan pipa sepanjang 2.300 Km dari pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal sampai Kunming, Cina Selatan.Kelak jika jaringan yang memakan biaya 3 miliar dollar AS itu selesai, maka seluruh kebutuhan impor minyak Cina dari Timur Tengah dan Afrika dipompa melalui Sittwe dan ke kilangnya di Kunming.

Lim Tai Wei, seorang analisis Cinadi Institute of International Affairs, Singapura mengatakan, jika proyek jaringan pipa tersebut selesai, maka geopolitik distribusi minyak di Asia Tenggara berubah total. Cina memangkas jarak pelayaran sejauh 1.820 mil laut (WorldPolitics Review, 21/8/2006). Bahkan lebih dari sekedar memangkas jarak, utamanya ialah mengamankan jalur transportasi import minyak. Konon, kini selat Malaka didominasi Cina (istilahnya bergeser ke “lampu kuning”).

Sejak peristiwa WTC 11 September2001, AS dan sekutunya mendorong militerisasi di Selat Malaka, dengan menggandeng militer laut India,Australia, Singapura, Jepang dan Thailand untuk latihan perang-perangan. Alasannya sebagai kesiapan guna menanggulangi terorisme global. Namun Cina berpendapat, bahwa melawan teroris bukan dengan latihan perang-perangan, serta mengerahkan kapal-kapal bersenjata rudal. Militerisasi di selat Malaka merupakan skenario AS untuk membendung Cina.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com