Menakar Ambisi AS Mengisolasi China dari Rantai Pasokan Global

Bagikan artikel ini

Dalam satu dekade terakhir ini, negara adidaya AS kerap menjadikan negara-negara seperti China dan Rusia sebagia kompetitornya. Betapa para peracik kebijakan AS kerap menyuarakan tujuan untuk meminggirkan, melemahkan, dan mengisolasi kedua negara tersebut. Namun, agenda AS untuk melemahkan China dan Rusia akan banyak menemui hambatan, dan bahkan gagal total. Mengapa?

Di sini penulis mencermati ada dua alasan kenapa agenda AS untuk “membekukan” China dan Rusia akan gagal. Bukan isapan jempol bahwa saat ini terjadi perkembangan yang luar biasa baik di Rusia maupun China. Pertama, Rusia mampu mengembangkan persenjataan yang super dan canggih yang lebih unggul dari persenjataan terbaik yang dimiliki negara-negara di Barat. Sementara AS mendapati adanya pembengkakan anggaran untuk pertahanannya sehingga memicu jebolnya ABPN negeri Paman Sam tersebut.

Kedua, tak bisa dipungkiri bahwa saat ini, China menjadi kekuatan ekonomi dunia yang berpotensi menggeser AS. Belum lagi dengan industri China, terutama industri manufakturnya yang mencatatkan pertumbuhan cukup signifikan, terkencang dalam sepuluh tahun terakhir. Selain itu, teknologi China juga mengalami perkembangan pesat. Teknologi fifth generation (5G) misalnya, China banyak berinvestasi dalam pengembangan 5G sebagai langkah strategis dalam upaya modernisasi dan urbanisasi.

Selanjutnya mari kita cermati perkembangan yang terjadi di AS saat ini. pertama, pada bulan Februari, Biden menandatangani perintah eksekutif pada rantai pasokan AS untuk chip, produk berteknologi tinggi lainnya, baterai, bahan farmasi, dan mineral tanah jarang.

Penandatangan perintah eksekutif tersebut dimaksudkan untuk memajukan kepentingannya AS sendiri dan pada saat yang bersamaan untuk melemahkan China. Dalam hal ini, AS akan berupaya sekeras mungkin untuk mengeluarkan China dari rantai pasokan global, terutama untuk semikonduktor dan produk berteknologi tinggi lainnya.

Bagaimana tidak. Terutama sejak Donald Trump menjabat sebagai presiden, sejumlah perusahaan China yang terkait dengan teknologi dimasukkan dalam daftar hitam karena dianggap akan melemahkan keamanan nasional AS.

Perusahaan China yang terkait dengan teknologi dilarang membeli teknologi AS tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin dari Washington. Sebut saja misalnya, raksasa teknologi Huawei dan 70 perusahaan afiliasinya yang paling menonjol dalam apa yang disebut “daftar entitas”.

Sementara di era pemerintahan saat ini, sebagaimana diungkap Stephen Lendman, Joe Biden akan berupaya kuat untuk memberi perusahaan-perusahaan AS keunggulan kompetitif guna mengimbangi China dan negara-negara lain.

Langkah Washington dalam memuluskan agendanya tersebut, setidaknya akan dilakukan dalam pertemuan para pemimpin G7 pada bulan Juni tahun ini. Tim Biden dilaporkan akan menekan negara-negara seperti Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Kanada untuk menahan China dengan mengeluarkannya dari rantai pasokan global untuk semikonduktor, komunikasi, dan produk berteknologi tinggi lainnya.

AS pun, dalam dalam hal ini, sepertinya akan mengambil sejumlah strategi dengan melakukan tuduhan terhadap China terkait isu adanya kerja paksa, genosida, dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia lainnya terhadap Muslim Xinjiang.

Dilaporkan, wakil penasihat keamanan nasional rezim Biden Daleep Singh mengatakan bahwa Washington bermaksud lebih keras terhadap kebijakan China terkait dengan Xinjiang.

Diperkenalkan pada pertengahan April, apa yang disebut (US) Strategic Competition Act of 2021 (Undang-Undang Persaingan Strategis (AS) tahun 2021) akan memberlakukan lebih banyak sanksi ilegal terhadap China dan membangun hubungan yang lebih dekat dengan Taiwan.

Bukan hanya itu, AS juga akan berupaya untuk melemahkan China secara politik, ekonomi, teknologi, dan militer.

Washington menuduh Beijing telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan praktik kejam lainnya terhadap Muslim Uyghur di Jinjiang. Namun klaim Washington terhadap Beijing atas tujuhan tersebut tidak serta merta menghadirkan bukti yang mendukungnya.

Selanjutnya tujuan Washington dengan mengecualikan China dari rantai pasokan global terjadi karena berkepentingan dengan upaya membangun kerja sama ekonomi bersama negara yang diprioritaskan oleh negara-negara Eropa dan negara-negara lain.

Terkait upaya AS untuk melemahkan China, negera yang dipimpin Xi Jinping pun tidak tinggal diam. Dalam kapasitas demikian, Beijing mempersiapkan buku putih yang bertujuan untuk menjelaskan perkembangan ekonomi dan sosial yang sedang berlangsung di Jinjiang. Cerdas bukan?

Dalam hal ini, pemerintah daerahnya telah mengundang ratusan diplomat asing, jurnalis, dan lainnya dari lebih dari 100 negara untuk mengunjungi Jinjiang – untuk melihat perkembangan positif secara langsung.

Menurut Direktur Studi Eropa di Universitas Renmin China Wang Yiwei, “yang disebut nilai-nilai demokrasi Barat yang dimainkan AS sebagai mercusuar hanyalah ilusi.” “Hak asasi manusia telah menjadi pertunjukan standar ganda AS yang lengkap.”

“Sebaliknya, negara ini pandai menggunakan tipu muslihat ini untuk mengalihkan perhatian publik dari catatan hak asasi manusianya yang buruk ke urusan negara lain.”

Perang teknologi AS yang didukung bipartisan di China dimulai terutama setelah Trump menjabat – sebagai tanggapan atas cetak biru Made in China 2025 selama 10 tahun untuk mengubah negara itu dari “raksasa manufaktur menjadi kekuatan manufaktur dunia.”

Mencari kemandirian untuk melawan tindakan AS yang bermusuhan, Presiden China Xi Jinping pada tahun 2018 bahkan menekankan pentingnya Beijing “tetap berpegang pada jalan kemandirian di tengah meningkatnya unilateralisme dan proteksionisme di dunia saat ini.”

Setelah raksasa teknologi Huawei dan Semiconductor Manufacturing International Corp (SMIC) dilarang atau dibatasi aksesnya ke teknologi AS, kemandirian China menjadi semakin penting.

Agenda China melalui China’s 2021-25 Five-Year Plan and Vision 2035 memprioritaskan pengeluaran miliaran dolar untuk mengembangkan kemandirian dalam bidang semikonduktor, kecerdasan buatan, informasi kuantum, dan bidang ilmiah lainnya.

Rezim Biden menganggap China sebagai “pesaing paling serius”nya Washington. Dalam hal ini, jelaslah bahwa Washington dan mitra imperialnya akan terus menyalakan api ambisinya agar dapat selalu beroperasi di seluruh dunia. Suatu pemabdangan yang sepertinya berbeda dengan China yang cenderung lebih soft untuk mencapai perdamaian, stabilitas, dan hubungan kerja sama dengan negara-negara lain.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com