Datuak Alat Tjumano
Kehadiran Suryadharma Ali sebagai Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam menghadiri kampanye terbuka Gerindra di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu 23 Maret 2014, berimbas terhadap posisinya sebagai ketua umum partai. Kehadiran tersebut melanggar ketentuan AD/ART partai dan hasil Mukernas II PPP pada 7-9 Februari 2014 di Bandung. Selain itu langkah yang diambil Suryadharma tanpa ada musyawarah di tingkat elit partai untuk mengahadiri kampanye tersebut. Protes dikalangan elit partai terhadap kehadirannya, juga berimbas kepada pemecatan terhadap beberapa pengurus DPP dan pengurus DPW. Selang beberapa hari kemudian ketua umum menyatakan ke publik bahwa, PPP secara resmi berkoalisi dengan Partai Gerindra. Dengan rangkaian kejadian tersebut pengurus partai yang dipecat melakukan perlawanan melalui Rapimnas, dimana hasil rapim tersebut memberhentikan sementara Suryadharma Ali sebagai ketua umum DPP PPP. Terjadinya perpecahan di internal partai PPP, Ketua Dewan Syariah PPP KH Maimun Zubair mengagendakan perselisihan internal partai melalui Mukernas III yang berlangsung di Cisarua Bogor.
Dalam tubuh PPP, ada beberapa faksi yang memang cukup eksis di internalnya, seperti Emron Pangkapi, Suharso Monoarfa masing-masing sebagai Wakil Ketua Umum DPP-PPP dan Romahurmuzy sebagai Sekretaris Jenderal DPP-PPP. Oleh sebab itu, Suryadharma tidak bisa begitu saja bermanuver sendiri menjalin koalisi dengan Partai Gerindra serta mendukung Prabowo Subianto sebagai Capres tanpa melibatkan elemen partai yang lainnya. Sebelumnya Suryadharma cukup percaya diri untuk bermanuver atas nama partai, tetapi ternyata situasi sudah berubah, dikarenakan ada pihak internal partai yang tidak sepakat dengan langkah tersebut. Kepanikan sesaat juga sebabkan perolehan suara PPP yang tidak memuaskan serta dikaitkan dengan manuver Suryadharma Ali mendekati Partai Gerindra, hal inilah yang memicu terjadinya perpecahan di internal partai.
Masalah perpecahan di internal partai telah berakhir, Ketum PPP Suryadharma Ali tetap dalam posisinya sebagai Ketua Umum. Sebelumnya Suryadharma sempat diberhentikan sementara berdasarkan keputusan Rapimnas yang dipimpin Wakil Ketua Umum DPP-PPP Emron Pangkapi. Rapimnas tersebut menunjuk Emron Pangkapi sebagai Pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum DPP. Pada Mukernas III PPP di Cisarua kemaren, sebenarnya ada suatu agenda untuk mengukuhkan jabatan Emron Pangkapi menjadi Ketua Umum DPP-PPP mengantikan Suryadharma Ali, namun sebelum Mukernas III berlangsung, telah lebih dahulu dilakukan pertemuan tertutup yang dipimpin oleh Ketua Dewan Syariah PPP KH Maimun Zubair, dalam pertemuan tersebut dihadiri kedua kelompok yang bersiteru, hasil yang dicapai adalah untuk islah.
Pelaksanaan forum Mukernas III DPP-PPP berujung dengan Islah/damai. Mukernas tersebut ditutup langsung oleh Suryadharma Ali sebagai Ketua Umum DPP-PPP. Selesai dilakukan penutupan acara tersebut seluruh elit partai saling berpelukan dengan ketua umum partai. Namun sebelumnya tercantum kesepakatan untuk menerima fatwa islah dari Ketua Majelis Syariah PPP Maimun Zubair, yang dibacakan oleh Wakil Ketua Umum DPP-PPP Lukman Hakim . Berikut hasil keputusan Mukernas III PPP, Pertama menerima fatwa islah dari Ketua Majelis Syariah KH Maimoen Zubeir. Kedua mengamanatkan kepada Majelis Musyawarah Partai secara kolektif kolegial untuk melakukan lobi-lobi politik dalam rangka penjajakan koalisi partai serta penjajakan capres dan cawapres. Ketiga mengamanatkan kepada DPP-PPP untuk melaksanakan Rapimnas selambat-lambatnya minggu pertama bulan Mei 2014 untuk menetapkan koalisi serta Capres/Cawapres dari PPP. Keempat. Mengamanatkan kepada DPP-PPP untuk melaksanakan Muktamar Luar Biasa yang dipercepat selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah Pemilu Presiden 2014.
Dalam forum islah ini Suryadharma Ali mengeluarkan pernyatakan bahwa, koalisi dengan Partai Gerindra masih belum final., hal ini berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah dan pertemuan dengan pengurus partai. Koalisi dengan Partai Gerindra belum ada secara institusi, mengenai dukungan yang diberikan ke Partai Gerindra pada Jumat 18 April 2014 yang lalu masih bersifat pribadi. Suryadharma Ali sebenarnya mengharapkan Mukernas III ini menghasilkan keputusan berkoalisi dengan Partai Gerindra, namun bertentangan dengan empat maklumat yang dikeluarkan Mukernas.
Hal yang sama juga dilontarkan oleh Romahurmuziy Sekjen DPP-PPP, bahwa salah satu yang dibahas dalam forum ini adalah posisi politik PPP, dimana hubungan koalisi PPP dengan Partai Gerindra masih menunggu keputusan Rapimnas PPP Minggu pertama Bulan Mei 2014. “Hubungan partai dengan Gerindra masih dalam posisi di titik nol. Saat ini PPP akan membangun komunikasi politik dengan pihak-pihak yang lebih luas lagi”. Dengan demikian peluang berkoalisi dengan pihak-pihak mana pun masih ada. PPP membuka diri terhadap seluruh opsi politik dengan modal politik sekitar 45 sampai 50 kursi DPR dari persyaratan pengusungan calon sekitar minimal 112 kursi.
Dukungan internal PPP terhadap Prabowo tidak sepenuhnya dapat dicabut, pasca Mukernas III, dukungan tersebut dinilai semakin bersifat dinamis. Para elite partai akan membaca tren publik. Jika tren publik dominan ke Prabowo Subianto maka akan dengan cepat PPP beralih ke Gerindra, begitu juga sebaliknya ke PDI-P jika trennya ke Joko Widodo. Hal ini disebabkan dukungan Ketua Umum PPP terhadap calon Presiden (Capres) dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto dimentahkan melalui Mukernas III PPP, masalahnya, segala langkah Suryadahrma Ali dalam membangun koalisi dianulir atau dianggap tidak sah. Selain trend publik, dinamika perubahan koalisi ini sangat dipengaruhi sejauh mana koalisi tersebut menguntungkan PPP, terutama berkaitan dengan posisi sebagai cawapres. Jika kemarin kubu Suryadharma Ali yang mencoba mencari keuntungan dalam rangka memberikan dukungan terhadap Prabowo, namun kali ini kubu-kubu lain dalam partai juga akan mencoba ambil keuntungan tersebut dengan jalan meningkatkan posisi tawar-menawar dalam berkoalisi. Kendatipun demikian, konflik internal yang terjadi di tubuh PPP telah menurunkan posisi tawar-menawar PPP dimata partai politik lainnya. Pasca Mukernas III pola koalisi PPP terbelah menjadi empat faksi koalisi, hal ini menyebabkan semakin buyarnya arah konsentrasi dukungan koalisi PPP. Suryadharma Ali akan tetap membangun argumentasi ke Partai Gerindra, Emron Pangkapi ke Demokrat atau partai Islam lain, Suharso Monoarfa ke JK sedangakan Romahurmuziy Sekjen maunya ke PDI-P. Soliditas internal akan menjadi pertimbangan parpol lain untuk mengajak PPP berkoalisi. Artinya konflik yang baru-baru ini terjadi kemarin, akan memberi pengaruh cukup signifikan menurunkan posisi tawar menawar PPP. Satu-satunya daya tarik partai ini adalah partai tua Islam yang masih memiliki pemilih setia sekitar 4 sampai dengan 6 persen.
Dianulirnya semua langkah yang telah diambil Ketua Umum PPP dalam koalisi dengan Partai Gerindra dan dukungan terhadap pencapresan Prabowo Subianto, dinilai tak menguntungkan PPP, karena kondisi PPP yang sudah babak belur seperti saat ini, koalisi ke manapun PPP akan dilihat sebagai “ketimun bungkuk” (keberadaannya tidak diperhitungkan walaupun masuk dalam suatu wadah). PPP dinilai saat ini masuk alam kategori partai yang sedang sakit (sick party), karena sampai deadline koalisi di mukernas III PPP tidak mampu memutuskan akan bergabung kemanakah partai tersebut. Artinya, para politisi partai tersebut diberikebebasan bermain dengan parpol lain dan untuk capres siapa saja. Kalau hal ini yang terjadi, parpol Islam tengah menempuh jalan kematian, artinya secara kelembagaan sudah tidak berfungsi lagi. Dengan kondisi PPP saat ini, sebaiknya menempatkan diri menjadi oposisi, hal ini lebih dihormati, karena selama ini di dalam pemerintahan, PPP juga tidak menunjukkan gereget sama sekali, kecuali hanya ikut arus saja. Dengan menjadikan dirinya sebagai oposisi setidaknya bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa PPP tidak haus dengan kekuasaan dan jabatan, selain itu PPP bukan partai oportunis, yang bersedia saja berkoalisi dengan siapapun asal mendapatkan kursi menteri.
Menurut penulis, konflik internal yang terjadi di PPP, sengaja diciptakan dalam rangka melepaskan diri terhadap dukungan politik kepada Partai Gerindra terhadap pen Capresan Prabowo Subianto. Hal ini dilakukan oleh elit partai, karena melihat hasil perolehan suara sementara Pileg menurut perhitungan cepat ,perolehan suara PPP cukup bagus, sehingga memiliki kepecayaan diri yang lebih untuk mencalonkan diri sebagai capres dalam pemilihan Presiden 9 Juli 2014 mendatang. Sebelum dilakukan Pemilu legislatif 9 April yang lalu, PPP di prediksi akan mendapat suara sekitar 3 (tiga) persen, maka Suryadharma melakukan maneuver politiknya ke Partai Gerindra, hal ini merupakan bagian dari upaya penyelamatan elite PPP. Jika PPP hasil Pilegnya dibawah tiga persen maka mereka akan langsung bergabung dengan Partai Gerindra dalam rangka koalisi. Namun setelah pileg, hasil perhitungan sementara PPP cukup mencengangkan, suaranya ada sekitar enam persen lebih, maka oleh sebab itu PPP merasa lebih percaya diri, sehingga kemudian dikemaslah semacam drama berseri, sehingga seri selanjutnya akan kita lihat dalam Rapimnas Minggu pertama Mei 2014 mendatang. Artinya drama yang diciptakan elit partai merupakan sebagian upaya untuk melepaskan diri dari Partai Gerindra.
Hal lain yang mendorong partai ini melepaskan diri dari Partai Gerindra, ada beberapa hal, yaitu : pertama, adanya keinginan partai-partai Islam membentuk “Poros Tengah Jilid II”, kedua, adanya gagasan untu membentuk Poros Indonesia Raya, ketiga adanya ide dari beberapa partai yang tergabung dalam kabinet SBY jilid II untuk berkoalisi dan mengusung capres dan cawapres sendiri, keempat, salah satu dari hasil Mukernas III PPP memberikan kesempatan kepada elit partai secara kolektif kolegial untuk melakukan lobi-lobi politik, dalam rangka penjajakan koalisi partai serta penjajakan capres dan cawapres. Sehingga pengamatan penulis meyakini, ujung dari permasalahan tersebut mereka menggelar islah yang pada akhirnya memutuskan dukungan untuk capres belum diberikan. Anehnya konflik tersebut hanya berlangsung tidak lebih dari tiga minggu dan setelah itu kesepakatan islah tercapai, dan PPP secara resmi mencabut dukungan kolisi dengan Partai Gerindra.
Sebenarnya kalau manever politik dari Suryadarma Ali dan kubunya tidak kencang disuarakan alias senyap- senyap saja, perpecahan internal partai atau drama yang sengaja diciptakan tidak akan kencang diberitakan. Hal ini terlihat dari pertemuan Dewan Pembina DPP-PPP Hamzah Haz dan Sekjen DPP-PPP Romahurmuziy dengan Capres PDI-P Joko Widodo, di rumah dinas Gubernur Taman Suropati tanggal 26 April 2014 yang lalu. Ternyata hasil dari Mukernas III tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh elit partai untuk mencari teman koalisi, tapi apapun dari pertemuan yang dilakukan oleh elit-elit partai PPP tersebut dengan parpol lain hanya sekedar “dihitung, bukan diperhitungkan” dalam partai koalisi.
Ada satu hal yang menarik dari drama berseri yang dibuat oleh elit partai PPP, dimana didalam Mukernas II yang berlangsung Februari 2014 yang lalu di Bandung, salah satu kesepakatannya, dalam penentuan koalisi partai sehabis Pemilu legislatif harus ditetapkan melalui Rapimnas sebagai mana amanat Mukernas tersebut, namun seperti kita ketahui, Suryadharma Ali sebagai Ketua Umum partai tidak bodoh dan pikun, tetapi malah melakukan koalisi tanpa melalui Rapimnas, artinya sebagai ketua umum partai pasti mengetahui adanya rambu-rambu partai untuk melakukan koalisi, tetapi dilanggar dalam upaya menyelamatkan elit-elit partai serta mengantisipasi jika suara partainya dalam hasil Pemilu legislatif dibawah tiga persen.
Apakah PPP akan jadi berkoalisi dengan Partai Gerindra, dengan PDI-P, atau dengan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 mendatang? Tentu saja membutuhkan lobi-lobi yang ekstra serta melakukan komitmen-komitmen dengan partai koalisinya, tetapi yang perlu dikedepankan adalah kebersamaan untuk menjadikan negara ini lebih baik lagi dan bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jangan mengadaikan negara ini ke negara asing demi mengejar korsi empuk di Merdeka Utara dan Merdeka Selatan.