Menaklukkan Dengan Cara Yang Menyenangkan

Bagikan artikel ini

Wildan Pramudya, Staf Peneliti Senior LP3ES

Baru dua tahun lalu, anak Moammar Khadafi yang bernama Saif al-Islam al-Kaddafi diperkenalkan oleh profesor pembimbingnya di London School of Economics (LSE) sebagai seorang reformator. Sebelumnya  “Yayasan Internasional Saif al-Gaddafi untuk Amal dan Pembangunan” telah menyumbangkan dana  1,5 juta poundsterling  untuk Proyek Penelitian LSE di Afrika Utara, dan David Held, profesor  ilmu politik di LSE mengakui mahasiswanya itu sebagai penganut “nilai-nilai liberal yang mendalam”. Menurutnya, putra Khadafi yang waktu itu masih merupakan mahasiswa Ph.D di LSE itu memiliki komitmen yang tinggi untuk penyelesaian konflik-konflik internasional melalui dialog dan tindakan-tindakan damai.

Sekarang LSE kembali jadi bulan-bulanan karena penampilan live Muammar Khadafi lewat video pada Desember 2010 di hadapan para mahasiswa dan dosen-dosen LSE.  Saat itu LSE memuji rezim Khadafi yang dianggap sebagai „Jalan Ketiga“ antara Kapitalisme dan Sosialisme. Pada saat penampilan Khadafi itu, Anthony Giddens (mantan Direktur LSE,  pengarang buku terkenal „Jalan Ketiga“ yang menekankan perlunya pembaharuan demokrasi sosial itu) duduk di barisan paling depan. Sebelumnya, tahun 2006, Giddens telah mengunjungi Libya, berbicara selama 3 jam dengan Khadafi dan ia memperoleh kesan yang sangat positif mengenai Khadafi dan rezimnya.  Penilaian Giddens ini sama dengan penilaian dua orang pendiri LSE pada tahun 1930-an, yakni Beatrice dan Sidney Webb, terhadap Stalin. Kedua orang ini juga saat itu dikecam karena penilaian mereka yang naif terhadap diktator Uni Soviet tersebut.  

(Gina Thomas, Frankfurter Allgemeine Zeitung, Rabu, 2 Maret 2011, halaman 5, diterjemahkan oleh FK. Sitorus)

Kutipan diatas mengingatkan kembali pada sebuah buku Philantropy and Cultural Imperaliasm  yang pernah saya reviu untuk Jurnal Galang Edisi Agustus 2009. Betapa kuasa uang dalam bentuk bantuan begitu mudah menaklukkan dan mengelabui pemikir sekaliber Giddens dan David Held yang pemikirannya kerap menjadi rujukan dalam analisis sosial dan politik. Buku yang saya reviu kiranya masih relevan untuk dibaca dan renungkan kembali. Dan sengaja saya hadirkan kembali untuk kawan-kawan di sini dalam rangka pembelajaran.

Kekuasaan dalam cara kerjanya yang vulgar kerap beroperasi dengan cara-cara represif atau koersif dan eksploitatif yang berefek menyakitkan bagi yang dikuasai.  Tapi tidak dalam dalam moda yang lebih canggih, kekuasaan berkerja secara lebih produktif, dalam arti menghasilkan subyek atau wacana tertentu, dengan tampilan yang tidak lagi menakutkan, melainkan teramat menyenangkan, malah yang dikuasai mungkin berterimakasih. Dalam bentuknya yang paling konkret moda kekuasaan dengan model ini, salah satunya, adalah melalui filantropi atau pemberian secara sukarela (voluntary giving)

Buku yang disunting oleh Robert F. Arnove ini mencoba menelisisk praktik pemberian (baca: filantropi) yang dilakukan oleh yayasan-yasan besar di Amerika Serikat, utamanya Carnagie, Rockefeller dan Ford.  Para penulis sengaja menyoroti yayasan-yayasan di atas dikarenakan peran dan pengaruhnya yang begitu besar, baik di dalam maupun di luar negeri.

Tesis sentral yang ingin dibuktikan oleh para pemulis dalam risetnya adalah bahwa: yayasan tadi menyuguhkan pengaruh yang merusak di dalam masyarakat yang menjadi sasaran bantuannya. Dengan kekuatannya yang beroperasi secara acak dan tidak akuntabel, dengan kekayaannya mereka membeli bakat-kemampuan, mengajukan pendasaran argumentasi, yang sejatinya untuk membangun suatu agenda menganai apa yang patut bagi kebaikan masyarakat (hal.1)

Persoalannya adalah apa yang dimaksud dengan kebaikan bagi masyarakat ini tidak bersandar pada perspektif masyarakat yang diberikan bantuan, melainkan perspektif dari pemberi bantuan. Asumsi dan cara-cara bagaimana membangun masyarakat yang baik ini praktis bertolak dari kacamata pemberi bantuan. Sehingga sangat beralasan jika para penulis dalam buku mengarahkan kecurigaan pada modus kedermawanan mereka sebagai aksi yang sarat kepentingan dan aroma ideologis. Untuk membuktikan tesis dan memperkuat kecurigaan para penulis, maka dalam risetnya digunakan  pendekatan kritis, dengan cara menggeledah sejarah, asumsi, wacana, cara kerja dan jaringannya.

Sejarah Yayasan Filantropi Modern

Yayasan filantropi secara tegas dibedakan dengan kegiatan-kegiatan karitatif publik, pendanaan untuk lembaga-lembaga yang sudah ada maupun dari organisasi nonprofit lainnya. Yayasan filantropi dimengerti sebagai organisasi yang terpisah: berupa penyedia dana, dan atau organisasi riset yang didanai oleh sejumlah orang. Kegiatan yayasan in mencakup tujuan yang begitu luas dengan dukungan dana yang begitu besar dan seakan tidak pernah habis. Kegiatan lembaga ini cenderung didedikasikan  dalam bentuk kerja-kerja yang sifatnya lebih preventif  daripada paliatif. Dan yang patut digarisbawahi – yang selanjutnya menjadi pembeda dengan lembaga lainnya – adalah orientasi “ilmiah” yang dijadikan jargon serta pendekatan yang diterpakan dalam setiap pemgembangan proyek dan risetnya. Selanjutnya ciri ini kemudian menjadi penanda bagi kelahiran yayasan filatropi modern yang ditandai oleh seruan pentingnya sains bagi pendayagunaan kekayaan.

Dalam konteks “keilmiahan” ini, Rockefeller merasa lebih nyaman dan aman jika kekeyaannya yang akan didermakan kepada orang lain tidak diberikan secara sembarangan, kecuali diberikan secara lebih konseptual dan metodis. Maksudnya pemberian kekayaan tersebut akan dilakukan sejauh mengikuti prinsip-prinsip ilmiah.   Untuk itu, Rockefeller mengundang Frederict T. Gates guna mengonseptualisasi dan merealisasi maksudnya itu. Dan nampaknya Gates cukup memahami apa yang diinginkan Rockefeller, yakni menemukan gagasan praktis bagaimana suatu bantuan mampu mendorong kemajuan manusia. Berbeda dengan Rockefeller, Carnegie tidak memerlukan tim tersendiri untuk mengonseptuaslisasi dan mensistematisasi program filantropinya, melainkan mengonsep dan mensistematisasi sendiri bagaiamana kekayaannya itu digunakan. Namun kedua filantropis itu tetap memiliki kesamaan pandangan bahwa  filantropi akan diberikan sejauh mengikuti prinsip-prinsip ilmiah dan untuk tujuan-tujuan human progress dan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya kegiatan-kegiatan filantropi ini lebih banyak dikerahkan untuk pengembangan bidang pendidikan, kesehatan dan juga ilmu pengetahuan sendiri.

Pemikiran kedua filontropis ini pada gilirannya mengundang banyak kritik dan perdebatan. Dari perdebatan ini mucullah  kelompok yang pro-yayasan dan kelompok antiyayasan filantropi. Kelompok yang anti umumnya mereka dari kelompok gerakan sosialis, gerakan buruh Amerika, dan Persatuan Pekerja Tambang Amerika. Dari banyak kritik yang ada, yang paling menohok adalah kritikan terhadap Rockefeller bahwa program bantuan ini semata untuk mengaburkan  praktik bisnis kotor di Colorodo dimana ia pernah terlibat pembantaian pekerja-pekerja tambang yang kemudian dikenal sebagai Ludlow Massacre.

Tak ketinggalan pula Ford – yang pada akhirnya ia juga mendirikan yayasan — turut mengkritik pandangan Rockefeller dan Carnegie dengan mengatakan bahwa filantropi pada dasarnya tidak perlu dengan mekanisme administrasi yang sangat ketat yang lebih penting bagaimana bantuan itu dapat membantu orang untuk menolong dirinya, aid men to help themselves (hal.44).

Saintifikasi Filantropi dalam Aroma ideologis.

Awal abad 20 keberadaaan sains sangat diagungkan. Sains seperti menjadi “agama” baru yang diyakini   membebaskan manusia dan meraih kemajuan demi kemajuan dalam kehidupan. Sehingga ketika Rockefeller dan Carnegie bersikukuh bahwa filantropi harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah (baca: keilmuan) maka seperti mendapatkan justifikasinya. Namun – menyitir pemikiran para penyeru Mazhab Frankfurt — bahwa pengetahuan tidaklah bebas nilai, dalam arti ia selalu terikat oleh konteks dan mengusung  kepentingan tertentu. Kalau pun suatu pengetahuan atau prinsip ilmiah itu dianggap baik, sejatinya nilai kebaikan ini tidak berada pada dirinya melainkan pada kepentingan di luar dirinya (ideologi, kelas, kelompok, dsb.)

Adanya kemungkinan pertautan antara pengetahuan dan kepentingan itulah yang ingin dicoba diinvestigasi lebih dalam oleh Sheila Slaughter dan Edward  yang dihubungkan dengan bagaimana para filantropoid raksasa memformulasikan kepentingan mereka melalui kegiatan filantropi modern (hal. 55-80). Melalui hasil risetnya terhadap tiga filantropis, yakni Russel Sage, Carnegie dan Rockefeller, kedua penulis ini memaparkan bahwa kegiatan filantropinya tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan sosial-perekonomian – dalam periode 1900 hingga 1920 — di Amerika Serikat, yakni perubahan radikal dari masyarakat agraris menuju masyarakat industrial, dimana tuntutan untuk mendayagunakan perkembangan teknologi industrialisasi terwujud menjadi suatu “keniscayaan”, namun itu harus dihadapkan pada kenyataan lain, misalnya, krisis lahan dan membengkaknya kaum miskin kota yang diupah sebagai buruh dengan upah rendah. Kemudian konflik antara pekerja dan pemodal yang mengarah pada kekerasan makin memperparah krisis yang terjadi. Dalam hubungannya dengan itu, upaya stabilisasi sosial menjadi keharusan dalam kerangka kepentingan para kapitalis seperti Carnegie dan Rockefeller.

Dengan demikian, sebuah idea tentang tatanan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera haruslah ditawarkan kepada masyarakat. Ini kemudian yang disebut sebagai ideology, yaitu sebuah cerita besar tentang masyarakat ideal yang diimpikan bersama. Melalui ini masyarakat diyakinkan dengan menawarkan bagaimana mengatasi problematika social seperti kemiskinan, kriminalitas, pendidikan yang rendah dan lainnya dapat diatasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi penyebab lalu  mengendalikannya. Agar suatu ideologi efektif, maka ideology mesti didesain dan diformat serta disebarluaskan sedemikian rupa.

Slaughter and Edward mengidentifikasi tiga modus ideologi yang dilakukan yayasan filantropi guna memuluskan cita-cita mereka, pertama, ideologi kepraktisan yakni menekankan upaya solutif dalam kaitannya dengan permasalahan sosial konkret; kedua, ideologi teknis yaitu pendayagunaan jasa intelektual secara besar-besaran guna memberikan rasionalisasi pada problem teknis dalam perencanaan sosial yang ada; ketiga, ideologi struktur merupakan hasil dari pengkajian terhadap sebuah sistem ekonomi politik tertentu (hal.78).

Tiga modus ideologi ini secara konsisten berpegang pada prinsip keilmiahan yang sejak awal diusung sebagai jargon dalam filantropi  modern. Pengerahan jasa akademisi dan profesional lainnya untuk memberikan rasionalisasi dan kajian pada persoalan sosial-ekonomi, misalnya, untuk memperkuat argumentasi para filantropis dalam mempromosikan program-programnya. Kegiatan ilmiah seperti survey, riset sosial dan publikasi ilmiah yang didanai dalam jumlah yang cukup besar, hasilnya oleh yayasan dijadikan semacam scientific resources untuk memperkuat legitimasi keberlakuan kapitalisme industrial.

Sinyalemen ini ditangkap dan dibahas secara kritis oleh Russel Marks bagaimana seorang professor psikologi sekaliber Thorndike mau menjadi “intelektual tukang” untuk membantu mewujudkan impian para filantropis ini (hal 87-118). Melalui tesis tentang individual differences, Thorndike memberikan perdasaran teoritis yang begitu kuat bagaimana merekayasa masyarakat (social engineering)

Dalam pandangan Thorndike perbedaan di antara individu-individu seperti intelektualitas, skill dan kemampuan lainnya lebih disebabkan bawaan genetis sejak lahir (innate) daripada sebagai sesuatu yang dapat diusahakan (acquired). Seorang Negro, misalnya, secara alamiah intelektualitasnya inferior dibandingkan seorang kulit putih. Di samping itua, melalui riset yang telah dilakukan Thorndike menegaskan bahwa intelektualitas hanya melekat – secara alamiah — pada segelintir orang. Temuan lainnya adalah adanya korelasi yang kuat antara intelektualitas seseroang dengan moralitas (hal.94-95). Implikasi dari pemikiran ini adalah bahwa suatu perubahan sosial harus dilakukan secara selektif  kepada dan melalui individu-individu yang dipandang memiliki keunggulan alamiah ini.

Dalam rangka ini, reformasi dan rekayasa sosial genetika adalah program yang tepat. Dan  Rockefeller dan Carnegie tidak ragu untuk menggelontorkan dana jutaan dollar untuk mendukung program ini. Salah satu bentuk program rangka reformasi genetic dan rekayasa sosial genetic ini, misalnya, memperketat laju masuknya immigrant dari etnis dan ras tertentu, seperti Meksiko, Afrika  dan Indian. Mereka juga lalu memperketat laju perkembangan etnis dan ras ini dengan melakukan program sterilisasi guna menekan tingkat kelahiran pada tingkat yang terendah. Dengan program tadi diharapkan kemurnian ras (race purity) untuk mereka yang unggul tetap terjaga. Alhasil, segala bentuk percampuran genetika ras, misalnya antara Indian-Amerika dengan orang-orang kulit putih sedapat mungkin dicegah karena dapat merusak kemampuan alamiah tadi. Sehingga pemikiran tesis Thorndike yeng menekankan pada individual differences, dan kemudian ditindaklajuti melalui rekayasa sosial genetika – penulis bab ini secara sarkastik menyebutnya usaha peternakan (selective breeding) — tidak lain dalam rangka mempertahankan keberadaan kelas yang nantinya dipandang mampu mendukung kepentingan  (ideology) kelompok dominan (kapitalis industri).

Merambah bangsa lain 

Sebuah ideologi menjadi dominant bergantung pada sejauhmana ia mampu menyerbarluaskan ide dan bagaimana menancapkan pengaruhnya di masyarakat. Semakin luas wilayah persebaran, dan canggih metode atau sistem yang digunakan maka besar kemungkin suatu ideologi menjadi dominan.  Bagi subyek kapitalisme seperti Carnegie, Rockefeller dan juga nanti Ford – dengan kekayaan yang tak terhitung jumlahnya — itu bukan suatu masalah yang sulit. Terbukti kiprah dan pengaruh kuat mereka tidak hanya dirasakan  di Tanah Air mereka sendiri Amerika Setrikat, namun sudah merambah luas mulai dari Asia (China), Afrika hingga daratan Eropa yakni Inggris. Selain karena memang kekayaan yang mereka miliki – secara teoritis—mudah untuk menebarkan pengaruhnya, melainkan karena kemasan dan metode penguasaan yang digunakan relatif canggih.

Filantropi adalah selubung yang cukup “cantik” dan “ramah”  sebagai kemasan untuk mengaburkan kepentingan suatu ideology. Selanjutnya prinsisp dan metode ilmiah yang digunakan untuk menyalurkan filantropi sekaligus merupakan metode yang sangat canggih bagi sebuah cara kerja ideology.

Mari kita lihat penelitian Richard Brown tentang sepak terjang Rockefeller memengaruhi kebijakan publik di China dibidang medis (hal.123-146). Melalui bantuan dengan “niat baik” sebesar 45 juta dollar, Rockefeller mampu menancapkan pengaruhnya dan memberikan perubahan yang signifikan di bidang medis di negeri Tirai Bambu ini. Rockefeller – melalui Peking Union Medical Colledge – mampu melakukan transplantasi orientasi medis model Barat ke China. Tranplantasi ini ditujukan mengubah orientasi medis dan pendidikannya dari orientasi kesehatan masyarakat  yang menekankan pada upaya pencegahan, menjadi kesehatan individual – yang menaruh perhatian pada upaya penyembuhan; dari penerapan pengobatan tradisional China menjadi pengobatan dengan penggunaan tekonologi modern canggih. Selain itu dengan penggunnan teknologi biaya di bidang medis menjadi tinggi, akibatnya banyak tenaga medis di level menengah dan praktisi pengobatan tradisional – yang sebelumnya berkontribusi besar bagi kesehatan masyarakat — diabaikan.

Pelatihan medis yang semula difokuskan pada pelatihan tenaga medis tingkat menengah-bawah seperti perawat dan bidan, dialihkan untuk melatih sekelompok kecil dokter professional – yang menurut Rockefeller diharapkan selain menjadi praktisi medis juga sebagai pemimpin untuk menangani permasalahan yang penting. Pada tingkat ini kemudian, yang semula medis lalu menjadi politis.

Memang pada akhirnya di negeri Tirai Bambu ini cita-cita Rockefeller tidak berjalan mulus. Artinya China tidak secara penuh dan selamanya bisa dikontrol serta diformat oleh skenario filantropoids ini,  terlebih ketika Mao Tse-tung berkuasa dan menyerukan, misalnya, untuk mendayagunakan kembali pengobatan tradisional. Namun setidaknya melalui ulasan pada bab ini kita mengatahui bagaimana filantropis Industri mencoba mengoperasikan kuasa ideologinya, dengan mencoba merambah mengkoloni kognisi bangsa lain.

Operasi yang sama juga dilakukan di Afrika. Hanya saja kerja filantropi di benua Hitam ini sasarannya adalah bidang pendidikan tinggi. Di negeri Benua Hitam ini, jaring-jaring kuasa Rockefeller, Carnegie serta – yang sudah mulai memunculkan kiprahnya juga, Ford – diterbar melalui Phlep-Stoke Foundation. Melalui lembaga dana ini ketiga filantropis memformat model pendidikan bagi orang-orang Kulit Hitam, yang – lagi-lagi  jasa para akademisi dan professional dilibatkan – mendasarkan pada suatu temuan riset bahwa anak-anak berkulit hitam akan lebih tepat jika diberikan pendidikan kejuruan keterampilan dan terapan, bukan ilmu-ilmu humaniora, filsafat atau seni (liberal arts), karena umumnya mereka lebih mengapresiasi dan lama bersentuhan dengan bidang-bidang ini.

Ilmu-ilmu humaniora yang bersifat teoritis dipandang tidak akan banyak berguna bagi masyarakat ini. Kalaupun ilmu humaniora teoritis diberikan cukup kepada sekelompok kecil saja (baca: elit) untuk kemudian dijadikan kader guna mengakses dan mengintegrasikan diri dengan sistem kebudayaan yang lebih luas (hal.181). Sementara bagi lembaga-lembaga yang menyelenggarakan model pendidikan di luar model kejuruan ini, maka jangan harap mendapatkan filantropi, karena model pendidikan ini akan diklasifikasikan sebagai unworthy of philantopic support.

Edward Bermen — yang menuliskan tema Educational Colonialism in Africa (bab 6) dan Foundation’s Role in  American Foreign Policy (bab 7) dalam buku ini – sangat cermat mengkritisi bahwa model pendidikan khusus atau kejuruan kepada orang-orang Kulit Hitam di Afrika ini dimaksudkan sebagai bentuk produksi kultural yang dapat mencetak orang-orang yang tidak terlalu kritis, tidak banyak menuntut, atau – meminjam istilah Foucault — subyek-subyek yang patuh dan takluk, sehingga dengan mudah mereka dipersiapkan untuk menjadi alat-alat produksi, yaitu sebagai tenaga kerja yang murah tapi sangat produktif.

Mengontrol Perubahan Sosial dengan Ilmu Sosial 

Cara pandang dan sepak terjang para filantropis raksasa ini tetang bagaimana “mendidik” masyarakat pada gilirannya cukup berperan dalam pembentukan substansi kebijakan luar negeri Amerika. Ini sangat dimungkinkan mengingat orang-orang yang aktif di yayasan adalah mereka yang pernah atau sedang menjabat posisi penting di pemerintahan,  serta lembaga-lembaga moneter internasional seperti World Bank. Salah satunya bisa disebutkan, misalnya, Robert McNamara seorang dewan penasehat Ford Foundation yang pernah menjadi presiden World Bank, juga Sekretaris Pertahanan dan salah satu perancang Perang Vietnam.

Salah satu kebijakan luar negeri yang banyak disororti dalam buku ini adalah memperbesar peran yayasan untuk bekerja lebih intensif melampaui batas-batas teritori Negara; mendirikan atau memberikan asistensi pada universitas unggulan dengan memberikan affirmasi dan penekanan pada pengembangan ilmu-ilmu sosial. Pertanyaannya, mengapa ilmu sosial? Karena melalui ilmu sosial perubahan sosial (masyarakat) itu dapat ditata secara rasional (rationally managed) (hal. 210). Prinsip penataan secara rasional ini pada dasarnya adalah pengendalian sosial yang sekaligus merupakan watak natural kekuasaan (penguasaan).

Tilikan Donald Fisher terhadap asumsi bahwa ilmu sosial dijadikan instrument kontrol perubahan membuka terang pikiran kita bahwa para filantropis ini berusaha mereproduksi ideologi konservatis-nya. Sebuah ideology yang memegang teguh semboyan sucinya: efisiensi, kontrol dan penataan. Oleh karena itu, ilmu sosial yang harus diaffirmasi adalah ilmu sosial dengan paradigma yang mendukung sembaoyan konservatisme tadi. Fisher menjelaskan paradigma yang dimaksudkan di sini adalah fungsionalisme dan behavioralisme. Paradigma yang pertama memiliki dasar asumsi bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang tersusun oleh bagian-bagian yang saling berfungsi (sehingga bergerak pada titik keseimbangan–WP). Sedangkan paradigma kedua memandang perilaku manusia sebagai entri point untuk mengontrol perubahan, mengingat perilaku manusia merupakan tindakan mekanis dan terpola sebagai respon dari stimulus tertentu.

Terhadap paradigma yang kedua ini, Peter Seybold membahas secara khusus bagaimana pendekatan behavioral dalam ilmu sosial, khususnya ilmu politik, menjadi paradigma dominan dalam analisis politik (hal. 270-303). Pemikir politik behavioralis seperti Robert Dahl dan Harold Lasswell dijadikan acuan. Menurut Seybold dengan pendekatan ini para filantropis dengan mudah mengatahui pola perilaku politik masyarakat. Dengan metode tertentu, dalam hal ini statistik, perilaku politik masyarakat dapat diukur, diprediksi dan pada akhirnya dikendalikan. Misalnya, perilaku memilih dalam pemilu. Oleh sebab itu, para filantropis dan filantropoid sangat berkepentingan untuk mengembangkan pendekatan ini. Namun kepentingan para filantropis ini bukan pada pengembangan ilmu sosial an sich, melainkan efforts of stabilizing a social structure, to preserve the status quo (hal.298).

Maka, jutaan dollar dana pun deras diguyurkan pada universitas-universitas terkemukan di seluruh belahan bumi ini; di Eropa sebut saja Oxford, London School of Economics, Cambridge; University of Bahia di Brazil, University of Ibadan di Nigeria, dan tidak luput dari sasaran pula Universitas Gajah Mada di Indonesia. Intinya, menurut Arnove yang juga memberikan catatan pengantar pada buku, sesunguhnya universitas unggulan tadi dijadikan medium untuk transfer of knowledge. Atau lebih tepatnya, kalau mengutip Geertz, para filantropis ini mencetak universitas tadi sebagai “makelar budaya”.

Dunia dan institusi pendidikan memang suatu wilayah strategis bagi para filantropis ini untuk mengoperasikan kekuasaannya. Dalam rangka kontrol sosial, pendidikan akan meredam militansi subyek-subyek yang berpotensi melawan sistem. Selanjutnya dalam konteks kepentingan kapaitalisme industrial, pendidikan merupakan investasi sosial guna menyiapkan sumberdaya manusia untuk mendukung dan menyangga keberlanjutan idustrialisasi. Maka dapat dipahami, jika target utama dari para filantropis dan sebagian besar dananya dikucurkan pada bidang pendidikan. Untuk memastikan dana ini tidak menguap sia-sia, dapat dimengerti pula ketika Ford dan Carnegie begitu berhasrat terlibat banyak dalam penentuan kebijakan-kebijakan pendidikan, baik itu di negeri sendiri maupun di negeri orang.

Dengan demikian, purna sudah kisah bagaimana suatu institusi yayasan – melalui kedok pemberian kedermawanannya itu – melakukan penaklukan masyarakat, dengan merambah dan mengontrol budayanya.

Pada akhirnya satu yang mungkin kita pertanyakan setelah membaca kisah dari buku ini adalah apakah yang dilakukan yayasan seperti Rockefeller, Carnegie, Ford dan lainnya layak disebut sebagai filantropi? Atau mungkinkah filantropi yang dimengerti sebagai pemberian secara sukarela (voluntary gift) itu mungkin dilakukan? Untuk menjawab ini mungkin baik kalau kita merenungkan pengertian dan makna pemberian (gift) menurut Derrida, bahwa tidak bisa disebut sebagai pemberian jika pemberian itu intrinsik terkandung hasrat imbal-balik, sekalipun itu hanya ucapan terima kasih. Suatu pemberian akan tetap menjadi pemberian jika apa yang telah diberikan  – secara dikehendaki – dilupakan sama sekali.

There is a gift, if there is any, only in what interrupts the system as well as the symbol, in partition  without return and without division (repartition), without being with-self of the gift-counter-gift[1].

NOTE:
[1]  Derrida, Jacques, Given Time 1: Counterfeit Money, trans. Peggy Damuf (Chicago:The University Chicago Press, 1994) hal.13

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com