Mencari Pemimpin Di Era Babat Alas

Bagikan artikel ini
Ibarat mencari jarum jam dalam tumpukan jerami, itulah kondisi bangsa Indonesia saat ini. Sulitnya mencari sosok pemimpin ideal yang mampu membawa bangsa dari keterpurukan dan kemiskinan, justru di tengah keberlimpahan aneka sumber daya. Paradoks Indonesia.
Tatkala intelijen kesulitan ‘menciptakan’ pemimpin (karena larut dalam politik praktis). Ketika revolusi tak kunjung tiba sebab ketiadaan tokoh sentral yang dapat diterima berbagai pihak. Secara tata negara, biarlah “Sistem Politik” (dan situasi) yang kelak membidaninya. Pemimpin di strata manapun yang keluar dari situasi dan kondisi yang berkembang, misalnya, kemunculan nelayan Kholid yang berani tampil melawan korporasi, atau Si A, B, dan entah siapa lagi akan keluar dari “semak belukar”.
Publik, barangkali cuma menyodorkan kriteria atau parameter kepemimpinan sesuai tuntutan zaman. Terkait kondisi Indonesia saat ini, kriteria pemimpin yang tepat misalnya:
1. Sosok independen. Tidak terjerat masa lalu dan terbebas politik balas budi;
2. Bukan bagian dari masalah yang tengah dihadapi bangsanya. Bahkan sosok tersebut justru terzalimi oleh situasi dan kondisi yang ada;
3. “Agak-agak gila”. Artinya, memiliki keberanian di atas rata-rata guna membalik keadaan (creative destruction) dalam koridor keselamatan rakyat ialah hukum tertinggi (solus populi suprema lex esto), dan bergerak atas nama jihad;
4. Memahami dinamika aktual geopolitik global serta mumpuni berselancar di tengah gelombang batu karang;
5. Lebih memprioritaskan kepentingan perjuangan daripada sekadar “baper” dan/atau kepentingan pribadi dan golongan;
6. Track record jelas dan memiliki background religi sedemikian rupa;
7. Dan seterusnya.
Lalu, Sistem Politik seperti apa yang dapat membidani sosok pemimpin seperti kriteria di atas?
Sudah barang tentu, sistem dimaksud bukanlah Sistem Politik yang berbasis UUD NRI 1945 Produk Amandemen atau kerap disebut UUD 2002, kenapa? Sebab, selain pola pencarian pemimpin pada UUD 2002 bermodel one man ove vote alias banyak-banyakan suara; memprioritaskan popularitas dan elektabilitas ketimbang integritas, kapasitas, dan akuntabilitas; proses pemilihan yang banyak kecurangan, terlalu gaduh, serta kental akan money politics dan lainnya. Model pencarian pemimpin seperti ini identik memilih kucing dalam karung. Trial and error.
Bahwa jiwa UUD Produk Amandemen sangat individualis, liberal lagi kapitalistik. Hal ini bertolakbelakang dengan local wisdom, bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan, high cost politics, mencapakkan Pancasila sebagai filosofi bangsa dan norma hukum tertinggi di republik ini. Juga, yang perlu digarisbawahi bahwa Sistem UUD 2002 merupakan “buah atau hasil” dari peperangan asimetris (asymmetric warfare) yang digelar oleh Barat cq National Democratic Institute (NDI) pimpinan Madeleine Albright, Menlu Amerika Serikat (AS) pada masanya sebagai penjuru dan didukung banyak lembaga swadaya baik Non-Government Oragnization (NGO) dari luar (asing) maupun NGO lokal serta sekelompok “londo ireng” selaku operator.
Jadi, ketika bangsa ini gegap gempita menjalankan UUD Produk Amandemen, sebenarnya justru ia menari-menari dalam gendang yang ditabuh oleh (kepentingan) asing. Inilah yang sekarang terjadi. Namun, banyak anak bangsa ini tidak menyadari.
Kenapa?
Selain merebaknya stockholm syndrome, yakni fenomena sosial politik dimana mayoritas warga justru jatuh cinta kepada kaum penjajah yang merampas kehidupannya. Memang, kerangka kerja penjajahan supermodern kini telah berubah, yaitu: “The best way to keep a prisoner from escaping is to make sure he never knows he’s in prison” (Adrian P, 2024). Terjemahan bebasnya begini, “Cara terbaik untuk mencegah seorang tawanan melarikan diri ialah memastikan bahwa dia tidak merasa berada di penjara”.
Itulah lingkungan strategis yang bergerak liar sebagai enviromental input serta mempengaruhi benak dan cara pandang publik terhadap sesuatu.
Kembali pada judul catatan ini, retorika pun menyeruak kuat, apakah Prabowo Subianto, Presiden RI ke-8 tergolong dalam kriteria pemimpin sebagaimana parameter di atas? Retorika memang tidak untuk dijawab agar tulisan ini dilanjutkan.
Kini membahas Babat Alas (2024 – 2029) sebagai tahap yang mutlak kudu dilalui oleh bangsa ini dalam rangka menuju Indonesia Mercusuar Dunia atau Indonesia Emas 2045.
Pertanyaan filosofi muncul, mungkinkah kita mencapai Indonesia Emas di 2045 dengan Sistem UUD Produk Amandemen (1999 – 2002)? Jawabannya, nonsense! “Jauh panggang dari api”. Kenapa demikian, ada beberapa penyebab antara lain:
Pertama, bahwa isi pasal-pasal dalam UUD Produk Amandemen bertolakbelakang dengan materi dalam Pembukaan UUD. Justru semakin menjauhkan rakyat dari pencerdasan, menjauhkan warga dari kesejahteraan (kemiskinan struktural), dan lainnya;
Kedua, Indonesia hari ini, sudah Nir-Kedaulatan Rakyat yang ditandai oleh:
  • MPR selaku penjelmaan rakyat telah diturunkan statusnya dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara.
  • Dominannya unsur politik (Parpol) di parlemen dampak atas operasional Pasal 6A Ayat (2) UUD Produk Amandemen. Sehingga setiap produk UU nyaris dalam remote sembilan orang Ketua Parpol. Dan pada 2024-2029 kini justru kian mengecil yakni cuma delapan orang Ketua Parpol. Ya. “Kedaulatan rakyat telah dirampas oleh Parpol”. Bagaimana jadinya jika Parpol bersandar kepada oligarki atau korporasi?
  • Ketiadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagai unsur (kedaulatan) rakyat di MPR.
Ketiga, demokrasi liberal yang dianut UUD 2002 bertentangan dengan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila ke-4 Pancasila (Ichsanuddin Noorsy, Prahara Bangsa, 2025).
Keempat, dan lain-lain.
Dengan demikian, cara terbaik memilah, memilih dan mencari pemimpin dengan tujuh kriteria di atas tadi, tidak ada cara lain selain melalui MPR selaku lembaga tertinggi negara. Ini sesuai dengan Sila ke-4 Pancasila. Selain melibatkan segenap elemen bangsa (ada utusan daerah dan utusan golongan), tak hanya melulu perwakilan Parpol, biaya dan kegaduhan pasti menurun jauh, juga bangsa ini tidak lagi durhaka karena sejak 2002 dianggap telah meninggalkan sistem rumusan pendiri bangsa.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com