Mencegah Program Militerisasi Angkasa Luar AS

Bagikan artikel ini

Untuk menandingi keunggulan kekuatan angkatan bersenjata Cina dan yang semakin canggih, nampaknya AS akan menggalakkan kembali program militerisasi angkasa luar sebagai teater baru bagi lomba persenjataan dengan negara-negara adikuasa pesaingnya.

Indikasi tersebut mencuat pada Januari 2021 lalu ketika Jenderal Lloyd Austin sedang dinominasikan sebagai menteri pertahanan baru pada masa awal pemerintahan Joe Biden, menyatakan di depan anggota senat Kongres bahwa untuk semakin meningkatkan keunggulan militeranya terhadap Cina, AS perlu mengembangkan program yang dia sebut  ‘space-based platforms’ atau program militerisasi ruang angkasa sebagai arena baru perang militer mendatang. Dengan demikian terbentuknya pasukan militer di ruang angkasa, dipandang sebagai aset perang AS yang layak jadi prioritas.

Sebetulnya semasa masih menjabat presiden AS, Donald juga sudah mencanangkan program serupa dengan nama The Space Force sebagai domain baru dalam perang global mendatang. Dalih yang digunakan senada dengan menteri pertahanan LIoyd Austin di era Biden; untuk mengantisipasi terhadap ancaman nasional AS, maka keunggulan AS di ruang angkasa merupakan hal yang vital.

Dengan demikian, menurut penuturan Trump, adanya pasukan militer di ruang angkasa, angkatan bersenjata AS mampu menangkal agresi militer seraya menguasai seluruh medan tempur di dataran tinggi.

Maka gagasan pemerintah AS menghidupkan kembali program militerisasi angkasa luar bukan hal yang mengejutkan, hanya saja patut disayangkan bahwa Presiden Biden nampaknya tidak berkebaratan angkatan bersenjata AS menyebarkan persenjataannya ke ruang angkasa.

Rusia, dalam hal ini Presiden Putin, menyatakan bahwa rencana AS menerapkan program militerisasi angkasa sebagai teater baru peperangan mendatang, bertentangan dengan semangat dari kesepakatan the Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space. Yang kita kenal sebagai Traktat tentang Angkasa Luar. Dalam pasal IV dari Traktat yang ditandatangani pada 1967 itu, menegaskan bahwa semua pihak yang terikat dalam traktat ini dilarang untuk menempatkan persenjataan nuklir, senjata pemusnah massal maupun benda-benda langit lainnya, di orbit ruang angkasa.

Baca: Keep Weapons Out of Space — ‘The New War-Fighting Domain’

111 negara sudah menandantangani Traktat Ruang Angkasa tersebut, namun 23 negara yang menolak manandatangani treaty tersebut bisa dipastikan tidak merasa terikat pada perjanjian internasional tersebut. Padahal Traktat tersebut dipandang sebagai terobosan penting di tengah berkecamuknya Perang Dingin kala itu. Sehingga waktu itu semua pihak berharap kesepakatan tersebut akan semakin diperluas dan mengikat semakin banyak negara untuk bersama-sama mencegah program militerisasi angkasa luar itu. Namun harapan itu sama sekali tidak jadi kenyataan.

Daya tarik program militerisasi angkasa luar sebagai domain baru perang global, nampaknya terlampau penting untuk diabaikan oleh Pentagon, sehingga pada 1982 Angkatan Udara AS atas arahan dari Presiden Ronald Reagan, agar segera membentuk pasukan komando angkasa luar (Space Command). Disebut  the “Guardians of the High Frontier.”

Maka tak heran jika pada 2014 AS menentang secara total apa yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut  UN General Assembly resolution on the prevention of an arms race, untuk menciptakan zona damai di ruang angkasa.

Padahal resolusi PBB tersebut ditujukan untuk mencegah semua negara, khususnya yang punya kapasitas dalam militerisasi ruang angkasa, untuk mempersenjatai kekuatan militernya di ruang angkasa. Meskipun 178 negara mendukung resolusi tersebut sebagai sesuatu yang bagus untuk masa depan dunia, AS dan Israel menyatakan abstain. Sehingga bisa dibaca sebagai penolakan AS untuk menciptakan zona damai di ruang angkasa. Dan mendayagunakan semua sumberdaya yang ada di ruang angkasa untuk tujuan damai.

The promise of new prosperity

Sepertinya pemerintahan  Presiden Biden pun nampaknya masih bermaksud mendukung kelanjutan program militerisasi ruang angksa. Dan Biden pun sejauh ini belum membuat kebijakan untuk menghentikan program militerisasi dan penempatan persenjataan di ruang angkasa yang sudah dicanangkan oleh presiden Trump.

Jika ini berproses semakin nyata, maka AS telah menghidupkan kembali atmosfer Perang Dingin seperti pada decade 1950-an hingga 1980an. Menariknya, pihak Rusia melalui pernyataan menteri pertahanan Sergey Lavrov, menegaskan bahwa hanya melalui pencegahan terjadinya militerisasi dan perlombaan senjata di luar angkasa, maka ruang angkasa bisa didayagunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih kreatif.

Maka Rusia mendesak adanya prakarsa perundingan yang mengikat melalui mekanisme internasional dalam pengawasa senjata, sehingga mampu mencegah perlombaan senjata di ruag angkasa.

Namun Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken nampaknya punya nada suara yang agak berbeda dengan menteri pertahanan Jenderal Austin. Anthony Blinken di Jenewa, Swiss, mengatakan bahwa AS akan melibatkan semua negara, termasuk Cina dan Rusia, untuk membuat standar dan norma yang memungkinkan semua negara berperilaku penuh tanggungjawab di ruang angkasa.

Kita tunggu saja, opsi menteri pertahanan atau opsi menteri luar negeri AS yang akan dijadikan landasan presiden Biden menyusun kebijakan strategis di bidang ruang angkasa.

Diolah kembali oleh Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com