Mencermati Program Transisi Energi di Dunia yang Melambat

Bagikan artikel ini

Hiruk pikuk program energi transisi yang sering didengungkan oleh para individu, organisasi maupun kepala negara perlu mendapatkan perhatian dan informasi yang berimbang. Sejak kesadaran kolektif manusia untuk menjaga lingkungan yang lebih bersih, cara pandang kita terhadap penggunaan energi menjadi berubah.

Penggunaan energi fosil yang ditengarai menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim secara perlahan mulai dikurangi. Sebaliknya, energi terbarukan yang dipromosikan mampu untuk menggantikan energi fosil, semakin mendapat momentum dan perhatian besar.

Periode dimana pengunaan energi fosil mulai dikurangi dan energi terbarukan dapat menggantikannya disebut sebagai masa transisi. Harapannya dalam masa transisi setiap negara berpartisipasi aktif sesuai dengan kemampuan masyarakat dan pemerintahannya, sehingga tidak muncul persepsi bahwa negara maju memaksakan program ini kepada negara berkembang.

Untuk melihat komitmen dari negara-negara maju yang telah menyumbang banyak terhadap terjadinya perubahan iklim, kami menulis beberapa perkembangan dan kendala program transisi energi di dunia sampai pertengahan tahun 2024. Tentu dengan menuliskan update ini kami berharap kita semua menjadi lebih realistis dalam menjalankan transisi energinya.

Pertama, Amerika Serikat yang berkomitmen untuk melakukan transisi energi lewat dekarbonisasi keliatannya sedikit agak melambat. Dekarbonisasi artinya penggunaan energi fosil masih tetap diperbolehkan selama emisi karbonnya bisa dikurangi lewat teknologi.

Salah satu program dikarbonisasi ini adalah pengembangan teknologi mesin mobil hemat bahan bakar. Truk-truk yang boros diganti dengan mesin yang lebih irit. Perluasan program ini ke sektor selain otomotiv tidak secepat yang diharapkan. Dengan inflasi yang masih sangat tinggi di AS, para pengusaha cenderung untuk lebih berhati-hati dalam belanja modal.

Selain itu program-program pengembangan untuk energi rendah karbon seperti green hydrogen juga mengalami perlambatan. Salah satu sebabnya adalah biaya produksi yang masih sangat mahal dan kemampuan dunia usaha untuk menyerap green hydrogen dengan harga yang terjangkau masih terbatas.

Kedua, Uni Eropa yang berkomitmen untuk melakukan transisi energi lewat diversifikasi usaha juga mengalami perlambatan dalam hal penggunaan kendaraan Listrik (EV) dan program penggunaan pemanas ruangan non-fosil. Energi terbarukan yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan energi di Uni Eropa belum bisa sepenuhnya dihandalkan.

Target-target penggunaan energi terbarukan yang lebih luas bisa bertambah mundur apabila dalam pemilihan umum yang akan datang menghasilkan pemimpin yang konservatif. Para pemimpin ini bisa jadi membawa isu krisis energi di Uni Eropa dalam tema-tema kampanye mereka. Akibatnya mereka akan cenderung menawarkan program untuk ketahanan energi yang berbasis energi fosil daripada melakukan transisi energi.

Tidak ketinggalan transisi energi di Inggris yang juga mengalami perubahan target. Pelarangan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak (BBM), yang semula direncanakan mulai berlaku tahun 2030, sekarang mundur ke tahun 2035. Sementara itu pelarangan pembelian gas boiler yang semula direncanakan mulai berlaku tahun 2025 juga mundur menjadi tahun 2035

Ketiga, Cina tetap melanjutkan pembangunan PLTU untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka. Menurut data yang kami peroleh, ada sekitar 240 GW PLTU baru yang sudah disetujui atau sedang dalam masa konstruksi. Sebagai perbandingan, kapasitas PLTU di Indonesia kurang dari 40 GW.

Dengan bertambahnya kapasitas PLTU di Cina menyiratkan makna lain dari transisi energi ini. Apakah mungkin Cina mendapatkan dispensasi untuk tetap menggunakan energi murah dari batubara sementara negara lain tidak? Apa mungkin juga kita maknai dengan mengatakan PLTU di Cina telah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi PLTU yang bersih? Kalau kita mau jujur, tentu tidak sulit untuk mencari jawabannya.

Keempat, India yang berencana untuk meningkatkan produksi batu bara mereka menjadi 1500 juta ton di tahun 2030. Ini berarti kenaikan produksi yang sangat signifikan dibandingkan produksi tahun 2022 yang hanya sekitar 900 juta ton. Sebagai perbandingan produksi Batubara Indonesia di tahun 2022 sekitar 680 juta ton.

Dengan peningkatan produksi yang sangat besar ini, dapat dipastikan pembangunan PLTU juga cukup masif di India. Ada sekitar 80 GW PLTU baru yang sudah disetujui atau dalam masa konstruksi. Kalau begitu bagaimana kita memaknai komitmen India dalam transisi energi ini?

Kelima, Australia belum berhasil menekan biaya produksi dari green hydrogen untuk skala industri. Dulu biaya produksi dari green hydrogen diperkirakan sekitar USD 7/kg ternyata naik menjadi USD 10/ kg. Sebagai perbandingan harga LPG sekitar USD 1/kg.

Dengan biaya produksi hydrogen yang jauh lebih mahal daripada perkiraan awal membuat green hydrogen sebagai pengganti energi fosil menjadi tidak kompetitif. Tidak mudah memang membuat hydrogen dari air dengan harga yang murah.

Bagaimana dengan negara lain seperti Vietnam dan Brasil ataupun negara-negara di Timur Tengah menyikapi transisi energi ini? Dapat dipastikan mereka juga menghadapi tantangan yang tidak mudah. Kami khawatir, tantangan-tantangan dalam transisi energi ini belum mendapatkan tempat untuk diungkap secara proporsional sehingga banyak negara yang salah dalam menyikapi masa transisi ini. Semoga bermanfaat.

Arcandra Tahar, Wamen Energi dan Sumber Daya Mineral RI periode 2016-2019

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com