Meneguhkan Kepribadian Bangsa Melawan Imperialisme Budaya

Bagikan artikel ini

PAULUS LONDO. Pengurus Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

’Apakah Kelemahan kita ?: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong” ( Presiden Soekarno,” Jangan Sekali Sekali Meninggalkan Sejarah,” Pidato HUT Proklamasi 17 Agustus 1966).

Juga untuk membangun kebudayaan baru Indonesia, kita memiliki segala syarat yang diperlukan. Kebudayaan baru itu harus berkepribadian nasional yang kuat dan harus tegas-tegas mengabdi kepada Rakyat. Dengan menapis yang lama,kita harus menciptakan yang baru. Sikap kita terhadap kebudayaan lama maupun kebudayaan asing adalah sikapnya revolusi nasional-demokratis pula: dari kebudayaan lama itu kita kikis feodalismenya, dari kebudayaan asing kita punahkan imperialismenya. …

Pada panji kebudayaan nasional kita harus kita tuliskan dengan tinta-emas K-nya Usdek kita! Kebudayaan kita haruslah kebudayaan yang revolusioner, yang seperti kukatakan di Sala tempo hari harus menjadi “duta masa dan duta massa”. Kita bukan hanya “trahing kusumo, rembesing madu”, tetapi kita juga “trahing buruh-tani-lan-prajurit, rembesing revolusi”! (Presiden Soekarno,” Tjapailah Bintang-Bintang di Langit – Tahun Berdikari.” AMANAT PRESIDEN SOEKARNO 17 AGUSTUS 1965

17 Agustus 1964, saat menyampaikan pidato kenegaraan berjudul “Tahun Vivere Pericoloso,” Bung Karno memaparkan tiga elemen utama bagi kemerdekaan bangsa, TRISAKTI, yakni:
a. Berdaulat di bidang politik;
b. Berdikari di bidang ekonomi;
c. Berkepribadian di bidang Kebudayaan.

Jauh sebelumnya, para pemuda telah mencetuskan Sumpah Pemuda yakni pengakuan ”Berbangsa satu, Indonesia Bertanah air satu, Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Dalam sejarah perkembangan peradaban umat manusia, bahasa merupakan aktualisasi kebudayaan suatu bangsa.

Tentu muncul pertanyaan: Mengapa Bung Karno menaruh perhatian serius terhadap soal kebudayaan, baik sebagai pilar penyangga kemerdekaan negara, maupun sebagai sumber energi yang menggerakkan bangsa menuju kemajuan?

Sejarah perkembangan peradaban manusia mencatat bahwa bangsa-bangsa yang berhasil tumbuh gemilang umumnya memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi. Misalnya, bangsa Romawi, Yunani, Mesir, juga negara-negara Islam di masa lampau. Demikian pula keruntuhan bangsa-bangsa tersebut, umumnya diawali dengan terjadinya proses degradasi kebudayaan.

Hingga dewasa ini pun, faktor kebudayaan tetap penting, baik bagi kelestarian hidup suatu bangsa. Kenyataan menunjukan, bahwa bangsa-bangsa yang memegang teguh nilai-nilai budayanya dapat berkembang maju, baik negara-negara di barat maupun di timur, seperti Jepang, Korea, India, dan lain-lain. Kebudayaan adalah ‘soft power’, bangsa dan negara, tidak hanya berfungsi sebagai “antibody,” untuk menangkal ancaman dari luar, tapi sekaligus “vitamin,” yang menciptakan vitalitas hidup bagi bangsa dan negara. Karena itu, pembangunan kebudayaan bukan masalah sepele yang dapat diabaikan.

Satu dekade setelah Bung Karno memaparkan “Trisakti,” baru para pakar menyadari adanya fenomena penjajahan baru yang disebut “Imperialisme Budaya (Cultural Imperialism).” Adalah seorang akademisi pakar ilmu sosial politik Amerika Serikat, Herbert Schiller yang mengupas masalah tersebut dalam tulisannya berjudul “The Concept of Cultural Imperialisme Today (1975).” Menurut H Schiller, Kolonialisme-Imperialisme menemukan bentuk baru yakni Imperialisme Budaya yaitu berbagai cara dan proses yang dilakukan secara halus oleh negara-negara barat untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat – di negara-negara berkembang– agar meninggalkan nilai-nilai bangsanya sendiri dan berintegrasi ke dalam system dunia yang didominasi oleh tata nilai dunia barat.

Proses pergeseran budaya tersebut terjadi karena masyarakatnya yang tertarik, tertekan atau dipaksa. Untuk itu pihak kapitalis-imperialis kerap menyuap lembaga-lembaga sosial agar selaras atau mempromosikan nilai-nilai dan struktur dominasi system antara lain dengan membangun dominasi media masa negara barat atas media massa di dunia ketiga.

James Petras, seorang dosen, sosiolog dan kritikus pemerintah AS, tinggal di New York, mendefinisikan imperialisme budaya sebagai berikut: “Imperialisme kebudayaan berarti campur tangan secara terprogram dan kekuasaan kebudayaan pihak penguasa Barat atas rakyat, dengan tujuan menyusun kembali nilai-nilai, perilaku, lembaga-lembaga dan identitas rakyat yang telah dieksploitasi, dalam rangka menyelaraskannya dengan interes para imperialis.

Media publik adalah elemen utama dalam operasi imperialisme budaya untuk fungsi penetratif. Agar penetrasi itu berskala signifikan, maka pihak pendominasi mesti menguasai media yakni dengan cara komersialisasi penyiaran. Proses imperialisme budaya lazim diawali dengan penghancuran budaya asli masyarakat di negara-negara sasaran. Teori imperialisme budaya menjelaskan, ketika terjadi proses peniruan tersebut media Negara berkembang dari Negara maju, dan di saat itulah mulai terjadinya penghancuran budaya asli di Negara ketiga dam itu bisa terjadi karena ditopang oleh keunggulan kapital (modal/dana) serta teknologi. Dan dalam proses penetrasi budaya terdapat motif serta kepentingan politik dan ekonomi pihak penjajah.

Memang, ada kritik terhadap teori imperislisme budaya, karena dianggap terlalu memandang remeh kekuatan kekuatan audience di dalam menerima terpaan media massa dan menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap bahwa budaya yang berbeda (yang tentunya lebih maju) akan selalu membawa pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Tetapi yang jelas, terpaan informasi yang dilakukan secara terus-menerus oleh suatu budaya yang berbeda akan membawa pengaruh bagi budaya asli.

Sebagai misal, menjelang akhir abad 20, Samuel Huntington, seorang pemikir Amerika Serikat, memaparkan Teori Benturan Peradaban. Hal menandakan para ahli teori Barat sedang berusaha memaksakan pandangan-pandangan mereka dalam mencanangkan perang antara peradaban dan kebudayaan Barat melawan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Berbagai media massa Barat terus melancarkan propaganda menyerang nilai-nilai agama, kemanusiaan, dan nasionalisme, seperti perlawanan menentang penjajahan, perjuangan menegakkan keadilan, perdamaian dan sebagainya. Serangan propaganda ini dilakukan dengan metode-metode yang sangat halus, sehingga tidak terasa oleh masyarakat pada umumnya.

Dengan menghadirkan beragam film, berita dan laporan, secara tidak langsung, menyerang dan melecehkan kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa lain. Pelecehan terhadap kesucian agama dan kehormatan nasional, termasuk diantara metode lain yang digunakan oleh media-media Barat, dengan tujuan merendahkan kesucian-kesucian tersebut dalam pandangan masyarakat umum.

Keyakinan-keyakinan agama dan nilai-nilai nasionalisme setiap bangsa membentuk identitas bangsa tersebut dan membedakannya dari bangsa lain. Keyakinan-keyakinan seperti ini biasanya telah mengakar sangat dalam di tengah rakyat dan telah berjalin serta berkelindan dengan kebudayaan mereka. Untuk itu keyakinan-keyakinan agama dan nasionalisme rakyat setiap bangsa akan dipandang sebagai kekayaan spiritual dan tidak akan hilang dengan mudah.

Tapi yang terjadi di dunia saat ini, adalah berbagai upaya dari negara-negara adidaya merusak nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan pribumi bangsa-bangsa lain. Karena nilai-nilai tersebut akan berperan sebagai unsur penguat perlawanan dalam menghadapi serangan budaya dan ekonomi dari Barat. Berlawanan dengan lahiriyah yang mereka tampakkan, dimana mereka menunjukkan sikap hormat dan netral terhadap berbagai kebudayaan, negara-negara Barat menentang keras keberadaan berbagai macam kebudayaan, dan mereka berusaha menegakkan satu budaya dan memaksakannya kepada negara-negara lain, khususnya negara-negara berkembang.

Gencarnya pihak Barat membasmi kebudayaan-kebudayaan lain dan ajaran agama karena watak kolonialisme-imperialisme. Saat ini liberalisme Barat berperan sebagai alasan dan pendorong politik-politik permusuhan Barat terhadap bangsa-bangsa lain. Meluasnya berbagai macam ideologi seperti materialisme, individualisme, freesex, dan berbagai macam lainnya di Barat, telah menyebabkan mereka tidak lagi berpikir sehat dalam berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain, tapi mereka berusaha menguasai, memaksakan kebudayaan mereka dan menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lain.
Terutama sekali bahwa ideologi liberalisme Barat, menyebarkan pandangan materialisme dan atheisme, yang jelas bertentangan dengan agama dan kebudayaan asli berbagai bangsa. Media-media massa Barat menyebut nilai-nilai manusiawi dan agama serta kebudayaan Timur sebagai penyebab kemunduran dan berlawanan dengan kemajuan. Sebaliknya, liberalisme Barat mereka unggulkan sebagai ideologi modern dan bahkan menyebutnya sebagai batas akhir perjalanan sejarah, sebagaimana thesis Francis Fukuyama, di awal dekade 1990.
Hampir sepanjang sejarah, Indonesia terus menerus bersentuhan dengan bangsa-bangsa asing dengan beragam kebudayaannya. Namun, meski pada aspek tertentu terjadi nilai-nilai budaya yang datang dari luar diadopsi menjadi suplemen memperkaya kebudayaan nasional, namun nilai-nilai budaya asli tetap terpelihara. Nilai dasar dari budaya asli itu oleh Bung Karno disebut adalah Gotong Royong.
Meski Bung Karno secara positif berhasil mengangkat nilai-nilai budaya asli tersebut menjadi Pancasila, sebagai falsafah hidup, dan dasar negara, namun bukan berarti upaya pelemahan budaya nasional oleh pihak asing juga berakhir. Bahkan sebaliknya, serangan budaya asing justru semakin gencar.
Bukan rahasia lagi Indonesia menjadi ajang pertarungan dua fundamentalisme yakni: Fundamentalisme Pasar Bebas versus Fundamentalisme Paham Keagamaan tertentu. Secara sederhana fenomena ini tercermin dalam gaya hidup seperti pilihan tata busana, dan sebagainya. Serangan penetrasi budaya asing dilakukan dengan halus sehingga tanpa disadari telah mewabah kedalam relung pikiran masyarakat. Penyebarannya tidak hanya melalui media massa tapi juga melalui lembaga pendidikan. Umumnya yang jadi target utama serangan kebudayaan asing adalah generasi muda, sebab mereka gampang dipengaruhi melalui informasi dan penciptaan kebanggaan semu. Dengan itu, kalangan remaja dibuai dan dirangsang agar meniru gaya hidup asing yang suka kekerasan, pengumbar hawa nafsu seksual, menggunakan narkoba dan sebagainya. Jika kalangan remaja dan pemuda suatu bangsa telah menerima pemikiran sesat sebagai penuntun hidup ini berarti mereka telah terjatuh ke perangkap musuh dan akan ikut membantu mereka memusnahkan kebudayaan pribumi dan menyebarkan nilai-nilai destruktif di tengah masyarakat (sebagian besar pelaku bom bunuh diri adalah generasi muda).
Konsumerisme yang didasari oleh gaya hidup hedonis termasuk fenomena lain dari budaya barat, yang kian merrasuk di masyarakat Indonesia. Ini jelas bertentangan dengan budaya masyarakat asli Indonesia yang menganjurkan hidup hemat melalui pola , konsumsi yang benar dan seimbang. Melalui media-media super power barat, dengan menggunakan berbagai fasilitas yang canggih pihak asing senantiasa berusaha agar konsumerisme menyebar seluas mungkin di tengah masyarakat Indonesia. Hal itu memang mereka perlukan agar para kapitalis mudah menjual produk-produk yang mereka hasilkan. Untuk menyukseskan tujuan mereka ini, mereka bekerjasama dengan para pengelola media massa. Dengan kata lain, media-media massa Barat terus menerus mempropagandakan kepada masyarakat di negara-negara berkembang, janji untuk memenuhi tuntutan materi mereka dan berusaha meyakinkan bahwa kemajuan dan kesejahteraan setiap orang ialah dengan mengikuti gaya hidup Barat, dan mengonsumsi sebanyak mungkin produk-produk mereka.
Untuk memaksakan kebudayaannya, negara-negara Barat kerap menggunakan tekanan-tekanan politik, ekonomi dan militer, sehingga saat ini tidak kurang dari masyarakat dunia ketiga yang berpikir bahwa jika mereka tidak mau menerima kebudayaan dan ajaran liberalisme Barat. Propaganda luas dan bervariasi i oleh berbagai media massa Barat untuk menyingkirkan semangat nasionalisme dan keyakinan agama, telah disusun sedemikian rupa sehingga telah merampas kesempatan berpikir dan mengambil keputusan yang benar untuk memilih jalan yang lurus dan logis. Dalam iklim yang dijejali dengan propaganda menyesatkan, disertai dengan rasa takut dan putus asa, hanya manusia-manusia yang memiliki tekad, berpandangan luas dan berpikiran bebas, akan mampu menolak dan menahan serangan-serangan kebudayaan Barat. Serangan informasi yang massif dan menyesatkan yang terus menerus diproduksi untuk menguasai alam pikiran masyarakat, kini mulai menggoncangkan tatanan kehidupan politik. Saat ini strategi pencitraan untuk memenangkan kompetisi politik di satu sisi, dan untuk menghancurkan lawan politik, cukup ampuh mengamputasi peranan partai-partai politik, serta lembaga politik lainnya dalam penentuan kebijakan kekuasaan negara. Akibatnya, untuk meraih kemenangan dalam pemilihan umum, partai politik terpaksa lebih mengedepankan figure-figur yang memiliki popularitas memadai, meski kompetensi dan komitmennya diragukan, ketimbang kader-kader partai yang sudah teruji, namun kurang popular.
Untuk menghadapi Perang Sosial Budaya yang terprogram dengan rapi terhadap semangat nasionalisme, maka sudah seharusnya masyarakat disadarkan akan keberadaan dirinya yakni dengan mengenali dengan baik nilai-nilai yang telah mengakar di masyarakat sendiri. Masyarakat perlu mengetahui bahwa identitas mereka yang sebenarnya berada dalam penjagaan nilai-nilai maknawi dan peradaban asli mereka. Di tahap selanjutnya,perlu mengenali tipu daya dan propaganda menyesatkan dari luar yang hendak menghancurkan kebudayaan negara-negara berkembang. Kerjasama dengan negara lain yang erat dan konstruktif, juga diperlukan dalam rangka menghadapi serangan-serangan musuh ini.
Konflik Kebudayaan di Indonesia

Di Indonesia, konflik kebudayaan mulai mencuat pada lima tahun terakhir dekade 1950an, dan menjadi konflik terbuka pada tahun 1963, sekelompok budayawan liberal mendeklarasikan “Manifesto Kebudayaan,” (manikebu) yang kemudian memancing reaksi para budayawan kerakyatan (lazim disebut Budayawan Kiri dengan organisasinya “Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Konflik kebudayaan ini kemudian dimanfaatkan oleh Amerika Serikat melalui hubungan kerjasama antara kelompok budayawan Manikebu dengan Congress of Cultural Freedom (CCF), suatu organisasi filantropi yang giat mempromosikan ide-ide kebebasan intelektual dan artistik Amerika Serikat. Kemudian diketahui bahwa CCF adalah salah satu elemen dalam jejaring CIA (Central Intellegence Agency).

CCF sangat berpengaruh mengarahkan pembangunan kebudayaan Indonesia terutama sesudah peristiwa G 30 S, yang dengan halus diarahkan agar menunjang kepentingan politik dan ekonomi Amerika Serikat. Promosi ide-ide anti komunis, kebebasan intelektual individual menarik perhatian sejumlah budayawan dan pemikir Indonesia untuk menerima gagasan-gagasan yang ditawarkan CCF. Mereka itu antara lain Muchtar Lubis, Sutan Takdir Alisyabana, Soedjatmoko, Rosihan Anwar, H B Jasin, Gunawan Muhammad, Arief Budiman, Soe Hok Gie dan Takdir Ismail. Bahkan sebelum 1965 Gunawan Muhammad sudah sering berhubungan dengan Ivan Kats, tokoh penting CCF.

Melalui karya-karya sastra dan film, budayawan Manikebu itu membangun legitimasi terhadap kekerasan politik yang terjadi menyusul peristiwa G 30 S 1965. Versi sejarah yang mereka pergunakan adalah PKI yang menjadi dalam peristiwa G 30 S. Dalam kerangka liberalism mereka menempatkan kebudayaan sebagai alat kapitalisme. Kebudayaan dijadikan komoditas, dan demokrasi dan hak asasi manusia menjadi ladang persemaian ide-ide tersebut.

CATATAN UNTUK GMNI DAN ALUMNI GMNI

Tak dapat disangkal, anggota GMNI dan Alumni GMNI sebagian besar berasal dari kelompok menengah atas yakni lapisan sosial yang memiliki kesempatan bersentuhan dengan beragam budaya baik lokal maupun yang datang dari luar. Pada lapisan ini selain masih cenderung melekat sisa-sisa budaya feodal, serta aroma budaya ambtenar (peninggalan Belanda), gaya hidup pejabat VOC yang korup, fanatisme terhadap keyakinan, juga kontaminasi berbagai paham dari luar (liberalisme, sosialisme, radikalisme, dan sebagainya). Hal ini membuka peluang penetrasi budaya di dalam diri anggota GMNI dan Alumni GMNI. Jika hal tersebut tidak disikapi secara kritis, maka GMNI dan Alumni GMNI mengalami disorientasi budaya dan terjebak ke dalam Pragmatisme. Ia akan semakin mudah mengingkari Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, seraya tetap menyerukan slogan-slogan perjuangan.

Karena itu, setiap saat GMNI dan alumni GMNI perlu introspeksi diri seraya terus merevitalisasi semangat perjuangannya. Pragmatisme akan senantiasa melemahkan perjuangan GMNI. Menyikapi hal ini, maka Nation and Character Building seyogyanya mendapat perhatian serius. Gagasan Revolusi Mental yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo sejatinya positif, namun harus disikapi secara hati-hati agar tidak menyimpang dari pemikiran Bung Karno.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com