Resminya, Jepang memang tidak mempunyai angkatan bersenjata dalam arti yang konvensional. Ketika Jepang menyerah kepada tentara sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat dalam Perang Dunia II, di bawah payung pasal 9 Konstitusi Jepang Pasca-Perang, berhasil melarang Jepang mempertahankan Angkatan Bersenjatanya baik di matra darat, laut dan udara.
Namun bagaimana dalam prakteknya? Pasukan Bela Diri Jepang atau Japan Self-Defense Forces (JSDF) dalam prakteknya beroperasi dan didanai persis seperti Angkatan Bersenjata konvensional. Hanya saja dengan batasan yang lebih ketat.
Kalau kita kilas balik sejenak, setelah berakhirnya Perang Dunia II yang disusul dengan menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu yang dimotori AS di Asia Pasifik, maka terjadilah perubahan besar-besaran dalam tata pemerintahan dan konstitusi. Idenya adalah, agar Jepang tidak mengulangi petualangan militernya seperti pada masa Perang Dunia II. Dengan itu, pasal 9 secara tegas melarang Jepang menggunakan kekuatan bersenjata untuk menyelesaikan sengketa internasional.
Baca juga:
When Can Japan Have a Military Again?
Namun pada 1954 ketika era Perang Dingin sedang memanas antara AS dan blok Eropa Barat yang pro Kapitalis Liberal versus Uni Soviet dan Cina yang waktu itu masih berhaluan komunisme, Jepang yang kala itu sudah berada dalam orbit pengaruh dan sekutu AS, praktis merupakan sekutu andalan AS-NATO di Asia Pasifik. Maka logis jika Jepang perlu semacam angkatan bersenjata untuk bela diri terhadap ancaman dari luar. Itulah sebabnya mengapa JSDF dibentuk.
Memang betul, JSDF hanya diproyeksikan sebagai kekuatan bersenjata untuk bertahan, namun dilarang untuk melancarkan agresi militer, kecuali jika negara tersebut merasa terancam secara langsung. Dan dalam skema Perang Dingin kala itu, AS sebagai mitra utama/major partner Jepang, merupakan pihak yang berwenang kapan Jepang dibolehkan melancarkan serangan militer ketika terancam secara langsung.
Namun ketika akhir abad ke-20 segera berlalu dan memasuki abad ke-21, konstelasi global tentu saja sudah berubah sejak berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980an dan awal 1990an. Maka aturan main pun tiba-tiba berubah. Pada 2014, Perdana Menteri saat itu Shinzo Abe menafsirkan ulang Pasal 9, yang memungkinkan Jepang untuk terlibat dalam “pertahanan diri kolektif”. Berarti, Jepang sekarang dapat membantu sekutu—seperti AS—jika mereka diserang, meskipun Jepang sendiri tidak terancam secara langsung.
Bahkan pada beberapa tahun lalu, Jepang telah meningkatkan anggaran pertahanannya, dengan alasan ancaman dari program rudal Korea Utara dan meningkatnya kehadiran militer Republik Rakyat Cina. Pada tahun 2022, Jepang mengumumkan rencana untuk menggandakan anggaran pertahanannya menjadi 2% dari PDB—sehingga sesuai dengan standar NATO. Bagi negara yang secara teknis menganut paham pasifis, itu adalah perubahan besar.
Sekadar gambaran, pada 2025, anggaran militer Jepang telah mencapai rekor 8,7 triliun yen atau sekitar 55 miliar dolar AS. Hal ini merupakan indikasi kuat bahwa Jepang berupaya meningkatkan kekuatan militernya secara maksimum.
Maka itu, menarik menelaah dan memprediksi skenario-skenario bagaimana Jepang membangun kembali kekuatan militernya.
Pertama, amandenem Pasal 9 Konstitusi Jepang. Skenario ini membutuhkan mayoritas dua pertiga di kedua majelis Diet Nasional (badan legislatif Jepang) dan referendum nasional. Sementara diskusi tentang revisi Pasal 9 telah berlangsung selama beberapa dekade, opini publik masih terbagi. Banyak warga Jepang mendukung klausul pasifis, khawatir bahwa militer penuh dapat menyeret Jepang ke dalam konflik yang tidak perlu. Namun dengan meningkatnya ketegangan regional, dukungan untuk revisi telah tumbuh.
Kedua, Penafsiran Ulang Pasal 9. Jepang dapat terus mengubah makna “pembelaan diri” untuk memungkinkan peran militer yang lebih luas. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa JSDF sudah berfungsi sebagai militer de facto dan bahwa Jepang dapat terus memperluas kemampuannya tanpa mengubah Pasal 9 secara resmi.

Bagian dalam Parlemen, badan legislatif Jepang. Foto oleh istock-tonko di iStock
Segi menarik dari tema kemungkinan bangkitnya kembali kekuatan militer Jepang, nampaknya sangat bergantung pada konstelasi geopolitik internasional, seiring dengan semakin memanasnya persaingan global AS versus Cina terutama di kawasan Asia Pasifik. Jadi, terlepas apakah Jepang menerapkan skenario pertama berupa amandemen pasal 9 konstitusi atau skenario penafsiran ulang Pasal 9, AS sebagai sekutu utama Jepang di kawasan Asia Pasifik yang sejak 2017 diubah namanya oleh Presiden Donald Trump menjadi Indo-Pasifik, sangat menentukan dalam mengartikan Perjanjian AS-Jepang pada era Perang Dingin. Saat itu, Jepang tidak memerlukan kekuatan militer dari pasukannya sendiri sebagai perlindungan. Sebab dalam klausul perjanjian itu, ketika ada suatu negara menyerang Jepang, berarti akan dipandang oleh AS sebagai serangan terhadap negaranya juga.
Namun saat ini konstelasi global di Asia Pasifik semakin bergejolak seturut semakin menajamnya konflik AS versus Cina di kawasan in, maka kebijakan luar negeri AS untuk menangkal kemungkinan invasi militer Cina ke Taiwan menjadi prioritas utama. Konsekwensi strategisnya, Jepang dibolehkan oleh AS, atau bahkan didorong, untuk mengambil peran yang lebih proaktif dalam pertahanannya sendiri. Yang bisa juga diartikan Jepang dibolehkan untuk melancarkan serangan militer ke negara-negara yang dipandang sebagai musuh bersama AS dan Jepang. Dengan demikian, Perjanjian AS-Jepang di era Perang Dingin pun diberi ruang untuk penafsiran dan pemaknaan baru.
Sehingga cepat atau lambat, Jepang pada akhirnya akan menerapkan salah satu skenario tersebut di atas, yaitu amandemen pasal 9 konstitusi, atau penafsiran ulang pasal 9, yang pada intinya Jepang akan bangkit kembali sebagai kekuatan militer seperti saat meletusnya Perang Dunia II.
Pertanyaan pentingnya, seberapa cepat dan dalam situasi seperti apa Jepang akan bangkit kembali sebagai kekuatan militer konvensional?
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)