Menelisik Modus Operandi Persebaran COVID-19 oleh Elite Global

Bagikan artikel ini

Dalam sebuah artikelnya, Robert J. Burrowes melaporkan adanya bukti bahwa COVID-19 digunakan untuk melayani kepentingan kelompok elit dunia dalam mengkonsolidasikan dan memperluas kekuatannya sekaligus mengambil kendali total masyarakat global.

Bukti yang nyata adalah titik perhatian masyarakat dunia atas pandemi COVID-19, sehingga mengalihkan perhatian mereka dari banyak krisis lain yang sedang mereka hadapi, termasuk ancaman yang merupakan bahaya besar bagi kelangsungan manusia: lihat ‘Human Extinction Now Imminent and Inevitable? A Report on the State of Planet Earth’. Belum lagi motif lain yang tanpa disadari oleh elit politik dalam negeri di banyak negara. Selain itu, kegiatan-kegiatan pencegahan sedikit banyak juga terhalang oleh sejumlah aturan seperti ‘social distancing’ dan larangan pertemuan publik.

Kalau kita mencermati dengan seksama, sangat mungkin sekelompok elite global yang beroperasi melalui lembaga-lembaga keuangan internasional mengendalikan haluan pemerintahan di banyak negara. Tentu negara-negara yang selama ini berada dalam orbit pengaruh mereka. Beroperasinya “pandemi COVID-19” sebagai senjata sebenarnya merupakan langkah kejam yang diperagakan oleh elite global, karena telah mengkooptasi kebebasan dan hak asasi manusia juga menghancurkan ekonomi nasional di banyak negara.

Seperti yang dicatat oleh Helen Buyniski, dengan menggunakan contoh Undang-Undang Patriot AS, yang disahkan oleh Kongres tidak lama setelah peristiwa bendera palsu 9/11 yang menghancurkan gedung World Trade Center 1, 2 dan 7 di New York: ‘Mereka selalu menyatakan keadaan darurat, mereka terus mendeklarasikan keadaan darurat atau mencabut salah satu tindakan darurat. ‘Lihat ‘Rockefeller Blueprint For Police State Triggered By Pandemic Exposed’. Dalam kasus apa pun, melalui media korporasi yang terus-menerus mempromosikan kepanikan, kebanyakan orang lebih memilih untuk ‘mencari selamat’ dengan menerapkan pembatasan yang lebih ketat terhadap kebebasan mereka. Lihat ‘As Trump Eyes Restarting Economy, Nearly 3 in 4 Voters Support National Quarantine’.

Sebagaimana banyak diulas oleh Hendrajit dan juga peneliti-peneliti Global Future Institute (GFI) yang lain, bahwa banyak hasil penelitian yang mengungkap adanya sepak terjang kelompok elit global dengan segala modus operandinya terus mengkonsolidasikan dan memperluas kekuatannya di seluruh dunia. Oleh karena itu, GFI perlu memberikan informasi alternatif dengan menghadirkan sejumlah bukti sehingga publik tidak latah mengikuti ritme atau irama yang dimainkan oleh kelompok elit global tersebut. Oleh karena itu, GFI mendesak pemerintahan Jokowi-Ma’ruf agar meninjau ulang langkah-langkah preventif terkait COVID-19. Langkah yang diambil pemerintah sudah baik, namun lebih baik lagi kalau langkah-langkah tersebut juga ‘menyapa’ kebutuhan pokok, terutama kelompok masyarakat ekonomi lemah, yang notabene adalah sebagian besar dari masyarakat kita. Sekali lagi, pemerintah tidak boleh ragu dan gamang dalam memberlakukan setiap kebijakannya. Pemerintah harus adil, setidaknya dengan mempertimbangkan resiko yang harus juga ditanggung oleh warga bangsanya. Negara tidak boleh menjadi korban dari skenario global apapun yang berpotensi memperlemah kebangsaan kita dalam segala aspeknya, terutama lemahnya ekonomi nasional yang sudah kita rasakan sejak muncul kasus virus corona di Wuhan, Cina, belum lama ini.

Jika Anda ingin lebih memahami asal-usul, identitas, dan perilaku elit global dan mengapa hal itu menjadi suatu ‘kegilaan;, lihat ‘How the World Works’ in‘Why Activists Fail’ dan artikel seperti ‘Exposing the Giants: The Global Power Elite’ dan ‘The Global Elite is Insane Revisited’, juga banyak referensi lainnya. Untuk pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa elit dan kekerasan manusia lainnya begitu meluas, lihat Why Violence? dan Fearless Psychology and Fearful Psychology: Principles and Practice.

Selain itu, untuk menyoroti kutipan singkat dari tiga cendekiawan yang disebutkan di atas, penulis terkenal dan pemenang penghargaan serta analis geopolitik Profesor Michel Chossudovsky menyatakan:

“Tendensi (persebaran COVID-19) itu Kecenderungannya menuju penguncian (lockdown) di seluruh dunia yang dipelopori oleh ketakutan dan disinformasi media. Saat ini, ratusan juta orang di seluruh dunia sedang dikunci…. Ini adalah tindakan “perang ekonomi” melawan kemanusiaan. Dengan demikian setelah program pengendalian dunia melalui persebaran COVID-19 ini berhasil, maka bisa diprediksi program selanjutnya adalah penyediaan (melalui penjualan) vaksinasi virus corona di seluruh dunia. Lihat ‘After the Lockdown: A Global Coronavirus Vaccination Program…’.

Dalam pandangan analis ekonomi dan geopolitik Peter Koenig, yang menghabiskan lebih dari 30 tahun bekerja untuk Bank Dunia dan Organisasi Kesehatan Dunia, dia mengatakan:

‘Kami bergerak menuju sebuah negara totaliter di dunia…. [yang termasuk ID2020]. Apa ID2020 yang terkenal itu? Ini adalah aliansi yang tergabung dari sekelompok mitra baik negara maupun swasta, termasuk badan-badan PBB dan masyarakat sipil. Ini adalah program ID elektronik yang menggunakan vaksinasi umum sebagai platform untuk identitas digital. Program ini memanfaatkan registrasi kelahiran dan operasi vaksinasi yang ada untuk memberi bayi baru lahir dengan identitas digital portabel dan persisten terkait biometrik…. Pengurangan populasi adalah salah satu tujuan elit di dalam WEF, Rockefeller, Rothschilds, Morgans – dan beberapa lainnya. Tujuannya: lebih sedikit orang (elit kecil) dapat hidup lebih lama dan lebih baik dengan sumber daya yang berkurang dan terbatas yang disediakan dengan murah hati oleh Mother Earth. ‘The Coronavirus COVID-19 Pandemic: The Real Danger is “Agenda ID2020”’.

Dan inilah pernyataan mengenai arti COVID-19 dari John W. Whitehead, pengacara Konstitusi AS dan penulis Battlefield America: The War On the American People:

Epidemi virus korona ini, yang telah membawa pengawasan Orwellian Cina keluar dari bayang-bayang dan menyebabkan Italia menyatakan lockdown (penguncian) secara nasional, mengancam akan membawa Negara Kepolisian Amerika ke tempat terbuka dalam skala yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Jika dan ketika penguncian nasional akhirnya terjadi – jika dan ketika kita terpaksa berlindung di tempat (dalam ‘bahasa kita’ stay at home – jika dan ketika polisi militer berpatroli di jalan-jalan – jika dan ketika pos pemeriksaan keamanan telah didirikan – jika dan ketika kemampuan media untuk menyiarkan berita itu telah dibatasi oleh sensor pemerintah – jika dan ketika sistem komunikasi publik (saluran telepon, internet, pesan teks, dll.) telah dibatasi – jika dan ketika kamp-kamp FEMA tersebut secara diam-diam dibangun pemerintah akhirnya digunakan sebagai pusat penahanan karantina bagi warga negara Amerika – jika dan ketika tim militer “ambil dan rebut” dikerahkan di tingkat lokal, negara bagian, dan federal sebagai bagian dari Kesinambungan Pemerintah yang diaktifkan berencana untuk mengisolasi siapa pun yang dicurigai terinfeksi COVID-19 – dan jika dan ketika darurat militer diberlakukan dengan sedikit protes nyata atau perlawanan dari publik – maka kita akan benar-benar memahami sejauh mana pemerintah telah sepenuhnya berhasil menanggung kebencian umum kita untuk apa pun yang berbau tirani secara terang-terangan. Lihat ‘This Is a Test: How Will the Constitution Fare During a Nationwide Lockdown?’

Inilah potret bagaimana sebuah tirani global telah menancapkan cengkeramannya dengan kuat melalui media korporasi yang berhasil menanamkan dalam nalar sadar publik bahwa COVID-19 adalah sebuah pandemi global yang yang harus ditangkal oleh masyarakat dunia. Sehingga publik, dalam hal ini termasuk negara, hanya terkonsentrasi pada upaya pencegahannya tanpa memberi porsi perhatian yang sama terhadap krisis lain yang sejatinya kian hari kian dirasakan oleh masyarakat luas, terutama dari kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Inilah kasus yang terjadi di negara kita. Terbukti rupiah terus melemah dan menurunnya daya beli masyarakat kita. Respons pemerintah dan masyarakat yang melakukan upaya pencegahan, seperti penutupan sekolah, work from home khususnya pekerja sektor formal, penundaan dan pembatalan berbagai event-event pemerintah dan swasta, membuat roda perputaran ekonomi melambat.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com