Tahun lalu postingan resensi buku ini dhapus oleh pihak yang berwenang, mungkin karena dinilai melanggar standar komunitas atau ada yang melaporkan–biasanya berdasar membaca judulnya saja tanpa menyimak keseluruhan tulisan ini. Semoga kali ini bisa “lolos sensor”.
Resensi oleh: Heri Priyatmoko Heri Priyatmoko
Judul: Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX
Penulis: Yusana Sasanti Dadtun
Penerbit: OMBAK
Cetakan: November 2016
Tebal: 160 halaman
Dalam sejarahnya, semula arak digunakan sebagai obat lelah dan penghangat badan. Namun, kegunaannya berubah untuk kesenangan dan konsumsi secara rutin. Buku ini laksana pintu bagi periset yang ingin mengupas lebih jauh aspek miras dari kacamata lain.
Fenomena sejarah mendem atau mabuk-mabukan sering luput ditangkap dan diulas oleh ilmuwan sosial. Paling banter mereka menggelarkan panggung ilmiah untuk “sohib akrab” kegiatan mabuk: judi, prostitusi, dan narkoba (candu).
Padahal, aktivitas mabuk boleh dibilang setua dengan maen maupun esek-esek. Sebuah aktivitas yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat Nusantara dari waktu ke waktu.
Dari ujung jari sejarawan Yusana Sasanti Dadtun, perjalanan miras yang meliuk ditulis dengan tajam berbekal segepok data dan optik sejarah. Biasanya, arsip kolonial berdebu mengakibatkan mata pedas dan baunya apek menusuk hidung tak jarang bikin para peneliti mundur teratur.
Namun, apa boleh bikin, demi merampungkan studi Pascasarjana Sejarah UGM sekaligus mengisi kekosongan sejarah topik miras, karya yang terdiri atas 6 bab ini pun dilahirkan.
Miras sedari dulu sudah bergentayangan di berbagai tempat. Penulis memutuskan melakukan studi kasus Batavia lantara Jakarta tempo doeloe merupakan kota pelabuhan yang sering dikunjungi barisan kapal niaga dari sekujur Nusantara dan penjuru dunia.
Pelabuhan itu menampung pula aneka jenis komoditas impor yang naik pesat sejak 1870. Dari memelototi deretan angka yang dibubuhkan dalam arsip berbahasa Belanda, penulis menemukan fakta bahwa impor minuman keras terbanyak di Pelabuhan Batavia tinimbang pelabuhan di Indonesia. Maklum, Batavia adalah kota metropolitan yang ditinggali banyak komunitas Eropa sebagai konsumen utama omben-omben tersebut.
Mengutip pustaka sezaman, Yusana merajut nama-nama miras impor sesuai dengan kadar alkohol. Antara lain, bir Inggris 5-7 persen, anggur asam 7-11 persen, anggur Bordeaux 12 persen, anggur Italia 14 persen, anggur Port 17 persen, liquer 25-30 persen, rum 45-47 persen, dan whiskey 60 persen, serta miras lokal arak 60 persen. Yang kudu dipahami, kualitas kerasnya minuman lokal belum tentu berada di bawah miras impor.
Penyuka arak pun bertingkat. Pasalnya, menenggak miras berkadar alkohol tinggi termasuk bagian dari simbol status baru kaum elite pribumi.
Sebagian kalangan pribumi bertingkah laiknya toewan kulit putih, yaitu menyantap kentang dan membasuh dahaga dengan miras. Umumnya miras jenis anggur, cognag, atau whisky yang didatangkan dari tanah Paris.
“Air api” tersebut terhitung mahal, bergengsi, serta menjadi unjukan favorit dalam pergelaran pesta mewah kelompok sosial papan atas. Budaya ngombe “banyu galak” diam-diam juga merembes dalam tubuh masyarakat pribumi kelas menengah ke bawah. Antara lain, mandor pribumi, kepala desa, pegawai kuli perkebunan, bahkan kuli perkebunan, kuli lepas di tempat pelelangan ikan, serta buruh desa.
Tidak hanya dijumpai dewasa ini, budaya mabuk pada masa lampau telah melanda barisan serdadu. Harian Batavia melaporkan, 200-300 personil militer selepas mengantongi gaji memadati ruang kantin.
Salah satu kebutuhan mereka ialah menenggak miras lokal maupun impor. Setengah gelas jenewer dinanti kehadirannya untuk dinikmati. Di sinilah gaji para serdadu sering ludes.
Ada pula cerita tentang serdadu yang mengamuk di kantin gara-gara tak sabar menunggu antrean miras yang dipesan. Setengah jam ditunggu tetap tidak datang, mereka mengamuk bagaikan anjing brutal, de jongens zijn hondsch brutaal.
Di Pasar Senen pernah terjadi pula perkelahian di antara anggota militer rendahan. Biang keroknya adalah sebotol miras yang diperebutkan. Penjaga keamanan negara kolonial rela baku hantam demi arak.
Penulis dengan pendekatan medis tak lupa menyoroti peredaran arak yang begitu gayeng di lingkungan Batavia memunculkan opini bertemali dengan dampak buruk bagi kesehatan manusia.
Semula arak digunakan sebagai obat lelah dan penghangat badan. Namun lambat laun ia digunakan pula untuk kesenangan dan konsumsi secara rutin. Kesehatan masyarakat tergerogoti dan lingkungan tidak sehat adalah risiko yang diunduh.
Memahami situasi gawat ini, pemerintah menyalakan alarm peringatan bahwa jika saban hari berkarib dengan arak, bersiaplah organ tubuhmu rusak. Misalnya, kulit ari sebelah dalam yang terletak di perencanaan akan rusak, anggota badan lumpuh, dan daya ingat berkurang.
Sekalipun berbagai pihak terus bekoar sampai mulut meniran perihal di atas, tetap saja hasilnya kurang memuaskan. Masyarakat kadung bulat menganggap arak merupakan bagian dari kawan hidup sehari-hari. Jadilah hingga sekarang pun ia tak lenyap dari peredaran.
Ringkas kata, kehadiran miras sukar dibendung demi melunasi kebutuhan kelompok wong mendem. Akhirnya pemerintah kolonial melakukan pembatasan ketat yang berlaku tahun 1873. Bahkan, pejabat Eropa mengintervensi sistem produksi miras dengan pengawasan langsung lewat para kontroler.
Buku ini laksana pintu masuk bagi periset yang ingin mengupas lebih jauh aspek miras dari kacamata lain. Misalnya, menelisik miras yang turut menyokong lestarinya makanan “sate jamu”.
Dalam dunia mabuk-mabukan, kuliner tersebut lazim untuk trambul (camilan) para pemabuk di perkampungan Kota Solo. Juga dari sudut pandang budaya melihat miras (ciu) ternyata mampu melahirkan toponimi (riwayat pemberian nama suatu daerah).
Contohnya, penamaan Jalan Ciu di Kabupaten Sukoharjo karena sepenggal jalan tersebut sering dilalui para produsen ciu dari Kampung Ngombakan dan Bekonang untuk membawa dagangannya itu ke luar kota. Yuk, mendem sejarah miras! (*).
Heri Priyatmoko. Dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma
Sumber: Jawa Pos, 27 November 2016